Friday, July 29, 2016

Coaching Designing Action Excecution



Tahukah Anda, hanya ada 10% organisasi di Amerika Serikat yang memiliki rencana strategis dan berhasil mengimplementasikan rencana tersebut dalam operasional bisnis mereka (Kaplan & Norton, 2004). Ram Charan bahkan dalam penelitiannya menemukan bahwa 70% kegagalan strategi yang dimiliki perusahaan bukan karena kurangnya orang-orang pintar atau kurang baiknya strategi, namun karena  eksekusi.

Setidaknya terdapat empat hambatan pokok dalam eksekusi strategi, yaitu hambatan visi dan misi, hambatan orang, hambatan manajemen, dan hambatan sumberdaya. W. Chan, penulis buku Ocean Strategy menganalogikan hambatan tadi kedalam empat rintangan, yakni rintangan kognitif (terjebak status quo), rintangan sumber daya, rintangan motivasional dan rintangan politik.

Penelitian yang dilakukan oleh Kaplan dan Norton serta Ram Charan bisa menjadi gambaran lain seberapa besar eksekusi hasil coaching yang dilakukan coachee?

Sampai saat ini, saya belum menemukan riset yang menjelaskan berapa banyak hasil coaching dieksekusi oleh coachee nya. Namun, dari pengalaman saya sebagai seorang coach, coachee mampu menganalisa masalahnya, membuat keputusan dan action plan sebagai hasil coaching adalah “one think”, mengeksekusi apa yang dihasilkan selama sesi coaching adalah “the other think”.

Eksekusi hasil coaching di kehidupan nyata coachee akan menguji seberapa gigih dan kuatnya mental coachee. Saat mengeksekusi apa yang coachee sudah putuskan bisa jadi coachee akan berhubungan dengan orang-orang yang tidak support dengan action plan yang dia buat, coachee terjebak dalam status quo, mendapat rintangan secara politik, atau masalah motivational coachee untuk mengeksekusi hasil coaching yang sudah coachee rumuskan sendiri.

Disinilah terlihat jelas kenapa International Coach Federation mensyaratkan seorang professional coach harus memiliki competency managing progress and accountability. Seorang coach diharapkan mampu mempertahankan perhatian pada hal yang penting bagi coachee, dan memberikan tanggung jawab kepada coachee untuk mengambil tindakan.

Bagaimana cara melakukan hal tersebut? Tidak lain dan tidak bukan, caranya adalah dengan memberikan feedback. Ada dua macam feedback yang bisa diberikan seorang coach. Feedback pertama berhubungan dengan acknowledgment atau pengakuan atas hal positif yang dilakukan coachee. Feedback jenis ini disebut sebagai positif feedback. Feedback kedua berhubungan dengan improvement untuk mengingatkan coachee saat mulai keluar jalur track yang sudah dibuat. Feedback jenis ini disebut improvement feedback.

Apapun feedback yang diberikan, seorang coach perlu mengingat tiga unsur penting dari feedback. Unsur pertama adalah timely, atau tepat waktu. Feedback haruslah diberikan secepat mungkin. Jika coachee komit mengeksekusi action plan hasil coaching ataupun tidak komitmen mengeksekusi, maka feedback secepat mungkin harus diberikan. Jangan sampai tindakan yang dilakukan hari ini, feedback yang diberikan satu atau dua bulan berikutnya. Bisa dibayangkan bisa jadi coachee sudah lupa dengan peristiwa tersebut. Apalagi feedback yang sifatnya improvement feedback, bisa-bisa karena durasi feedback nya terlalu lama, coachee berkali-kali melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan action plan hasil coaching. Atau karena durasinya sudah terlalu lama improvement feedback pun malah menjadi adu argumentasi, “enggak saya tidak melakukan itu” begitu kata coachee nya karena sudah lupa.

Unsur kedua yang harus dimiliki saat memberikan feedback adalah unsur specific, artinya feedback yang diberikan harus menggambarkan secara perilaku spesifik yang diberikan feedback. Tujuannya adalah agar coachee memiliki kejelasan perilaku mana yang diapresiasi (acknowledgement) dan perilaku mana yang perlu ditingkatkan. Saat perilaku yang diberi feedback jelas, maka coachee memiliki kejelasan mana perilaku yang perlu dipertahankan, ditingkatkan ataupun diperbaiki.

Dan unsur ketiga dari feedback adalah balance. Maksudnya adalah feedback yang diberikan haruslah mengandung unsur keseimbangan antara positif feedback dan improvement feedback. Tentunya Anda bisa membayangkan, jika seorang coachee hanya mendapatkan positif feedback atas apa yang dia lakukan. Terlalu banyak memberikan positif feedback menyebabkan standard yang dimiliki coachee menjadi rendah. Sebaliknya, saat improvement feedback mendominasi feedback-feedback yang diberikan maka yang terjadi adalah coachee menjadi frustasi. “Apapun yang saya lakukan kok selalu salah dimata coach saya”, begitu pikiran coachee kita. Jadi pastikan Anda selalu memberikan feedback secara seimbang. Jelilah dalam mengobservasi coachee untuk menemukan perilaku-perilaku mana yang bisa Anda beri positif feedback dan improvement feedback.
Berkah Selalu
N Kuswandi
People & Organization Performance Coach