Tuesday, September 30, 2014

Kisah Trust and Believe Ibrahim

 
 
Sudah bukan rahasia, jika Nabi Ibrahim semenjak kecil terkenal dengan kekritisannya. Peritiwa pencarian Tuhan menjadi salah satu bukti kekritisannya. Begitu juga dengan peristiwa perusakan berhala-berhala raja Namrud. Alih-alih "memaki" raja Namrud dan pengikutnya, Ibrahim menggunakan "bang" untuk membuka kesesatan berfikir mereka.
 
Bisa jadi peristiwa Idul Adha adalah jalan lain Allah untuk menunjukan kekritisan Ibrahim. Bukankah Allah memberikan Ibrahim mimpi untuk menyembelih anak nya "Ismail". Kekritisan pertama Ibrahim muncul dengan mempertanyakan, apakah benar mimpi ini berasal dari Allah? Allah kemudian membuktikan kebenaran mimpi itu dengan mimpi yang berulang selama tiga hari.
 
Kekritisan Ibrahim muncul lagi saat dia berdiskusi dengan anak nya Ismail. "Duh Ismail, apa pendapatmu tentang mimpi bapak?" Begitu mungkin dialog yang terjadi antara bapak dan anak itu. "Wahai bapak ku, jika ini memang perintah Allah lakukanlah?"
 
Dan cerita pun berujung dengan kegembiraan. Allah menerima korban Ibrahim, dengan simbol digantinya Ismail dengan kambing.
 
Coba kita tinjau lebih jauh. Berbeda dengan pencarian yang dilakukan ayah nya, Ismail laksana tidak memiliki daya kritis. Atau sebaliknya, Ismail lah yang memiliki kepekaan tajam dengan perintah Allah.
 
Jika dilihat dari sudut pandang trust dan believe, bisa jadi akan muncul tafsir berbeda yang layaknya kita dengar. Secara harfiah trust dan believe memiliki arti yang sama, yaitu percaya. Namun secara maknawi, kedua istilah tadi memiliki arti yang berbeda.
 
Ada istilah "Believing is seeing and seeing is believing". "Believing is seeing" adalah gambaran sejati believe, tanpa didahului bukti orang percaya. Sebaliknya istilah "seeing is believing" adalah gambaran trust. Orang perlu bukti dahulu baru kemudian orang baru percaya, itulah trust.
 
Saat Ibrahim membutuhkan bukti kebenaran mimpi nya, itulah trust. Saat Ibrahim perlu berdiskusi dengan Ismail untuk semakin meyakinkan langkahnya, itulah trust. Sebaliknya saat Ismail tanpa "babibu" menyetujui bapak nya itulah believe. Ismail sudah begitu believe pada bapaknya, dan Ismail juga believe pada Allah yang tidak akan menyia-nyiakannya.
 
Ibrahim sebenarnya tidak selalu menggunakan trust to the god dalam hidupnya. Peristiwa Siti Hajar dan Ismail yang ditinggalkan di padang pasir Mekah adalah bukti Ibrahim menggunakan believe nya.
 
Sesuai dengan definisinya, trust yang membutuhkan bukti berarti butuh pengalaman nyata yang diterima oleh logika. Sedangkan believe bisa jadi adalah akumulasi trusts atau kumpulan bukti-bukti logika yang masuk ke dalam pikiran tak sadar manusia.
 
Dengan kata lain trust yang membutuhkan bukti dikelola lapisan terluar otak bernama neokortek. Dan believe yang masuk ke dalam alam bawah tak sadar diatur oleh lapisan tengah bernama lymbic system.
 
Selain dari akumulasi trust, believe bisa jadi muncul tanpa didahului akumulasi trust. Peran ini diambil oleh bagian otak yang disinyalir sebagai "hati nurani manusia". Terletak di lapisan terdalam lymbic system, para ahli menamakannya sebagai God Spot.

Pertanyaannya kapan perlu menuntut bukti hingga ketemu trust dan kapan tanpa bukti pun sudah terlahir believe? Sebenarnya menjadi tak penting "when" nya saat "how" nya didahului dengan positive thinking. Dan tentunya buah dari positive thinking adalah positive action. Bukankah itu yang diajarkan Ibrahim dan Ismail?
 
Berkah Selalu
N Kuswandi

Saturday, September 27, 2014

Being Trusting & Inspired Trusted

"Kita menginginkan pemimpin yg Jujur dan Tegas. Namun siapkah Anda dipimpin pemimpin yang Jujur dan Tegas?" - Jowoki
 
 
 
Jika ada yang menyebut Microsoft maka yang terlintas adalah Bill Gate. Jika ada yang menyebut Apple maka yang terlintas adalah Steve Job. Dan jika ada yang menyebut Intel maka orang akan teringat Andy Groove.
 
Catatan ini akan dimulai dari kisah kesuksesan Andy Groove. Di tahun 1990, Intel memiliki CEO baru bernama Andy Groove. Selama 11 tahun memimpin Intel sampai tahun 200, Andy Groove menjadi legenda baru Intel.
 
Di tangannya, Intel mengalami masa emas pertamanya. Selama 11 tahun, tangan "Midas" nya membuat saham intel tumbuh 1600 kali dibanding pertama kali Andy Groove memimpin. Dan di tangan Andy Groove, Intel menjadi corporasi software prosesor dengan aset mencapai $272,2 Miliar di akhir periode kepemimpinan nya.
 
"Keberhasilan Intel adalah Cermin Keberhasilan Andy Groove"
 
Di 26 Maret 2001, Andy Groove memutuskan mengundurkan diri. Walaupun sudah turun keprabon, peran Andy Groove di dalam Intel masih sangat berpengaruh. Andy layaknya legenda hidup yang akan dimintai nasehatnya saat Intel mengambil keputusan-keputusan sulit.
 
Perusahaan sebesar Intel tentunya tidak akan main-main mengkader orang untuk meneruskan kepemimpinan Andy Groove. Dengan penuh pertimbangan melihat prestasi (performance) dan potensi yang unggul, para pemegang saham akhirnya memutuskan mengkader Craig Barrett untuk meneruskan kepemimpinan Andy Groove.
 
Setelah kaderisasi yang lama, Craig Barrett akhirnya mendapat kesempatan memimpin Intel saat Andy Groove lengser keprabon. Selama 4 tahun memimpin Intel, Craig Barrett kehilangan dua customer kakap nya. Microsoft yang selama ini memakai Intel beralih ke prosesor IBM. Dan customer kakap lain nya, Dell juga berpaling hati ke prosesor AMD.
 
Apa yang membuat Intel kehilangan dua customer terbesarnya? Analisanya bisa dilakukan dari banyak sisi. Satu hal yang terlihat nyata adalah "perubahan arah bisnis yang dilakukan Craig Barrett". Selama empat tahun memimpin, Craig Barrett berinovasi mengubah core business intel tidak hanya memproduksi semi konduktor, namun Craig mendiversi bisnis Intel dan memperluas lini produksinya selain produk semikonduktor. Walaupun hanya sedikit sekali produk baru ini yang akhirnya memetik sukses.
 
Apa yang terjadi dengan Intel? Coba kita arahkan perubahan yang terjadi di Intel dengan konsep yang ditawarkan "Pakar Perubahan Indonesia". Menurut Renal Khasali, setidaknya dibutuhkan lima hal untuk membuat arah perubahan smooth dan sustain, visi - motivasi - skill - resource - action plan. Bisa jadi gagalnya product Intel dari sisi Skill dimulai dari perubahan arah bisnis tidak diikuti up grade skill karyawan nya.
 
Bisa jadi dari sudut pandang yang berbeda, aspek visi. Selama karyawan belum melihat manfaat dari tujuan perubahan maka karyawan tidak memberikan seluruh hati nya mengikuti perubahan. Challenge nya memang menjadi menunjukan bukti manfaat perubahan yang secara fisik memang belum ada.
 
Urusan nya akan menjadi "Being Trusting - Mempercayai" dan "Inspired Trusted - Dipercayai". Sayang nya, karyawan Intel memilih tidak mempercayai arah perubahan Craig Barrett. Saat visi nya tidak dipercayai, yang terjadi karyawan akan menolak untuk berubah.
 
Agar visi nya mudah diterima maka orang yang membuat visi perlu menjadi orang yang "dipercayai - inspired trusted". Menariknya agar orang itu "dipercaya - Inspired Trusted" maka pertama kali orang perlu "mempercayai orang lain - Being Trusting".
 
Pertanyaannya bagaimana cara nya agar bisa Being Trusting - Mempercayai dan Inspired Trusted - Dipercayai? Tunggu catatan berikut nya ya
 
Berkah Selalu
N Kuswandi

Tuesday, September 23, 2014

Customer Service KAI Purwojaya : DEMI Tuhan

 
 
 
Setelah dibawah kepemimpinan Ignasius Johan memang terlihat sekali bagaimana customer excellence di KA semakin baik dari hari ke hari. Dua dari empat pilar customer excellence (accessibility - process - people - solution) sudah bisa kita rasakan.
 
Pilar pertama yang saya rasakan dari sisi solution. Masalah yang bagi saya menjengkelkan kalau naik KA zaman dahulu adalah rebutan kursi dan jam karet. Masalah itu solve bagi saya, walaupun jam sampainya masih perlu improvement, paling tidak jam berangkatnya hampir selalu tepat waktu. Pilar solusi lain yang bagi saya juga meningkat dilihat dari sisi fisik KA nya yg semakin super (One I like it from Executive Purwojaya Train is Semar Picture).
 
Pilar kedua yang meningkat cukup signifikan adalah pilar process. Keluarga saya menggunakan KA semenjak sebelum saya lahir. Rutin kalau mau berangkat ke Blitar (kampung halaman bapak dan ibu), transportasi favorite nya adalah KA. Proses yang menjengkelkan bagi saya adalah, walaupun rumah kami 10 menit dari stasiun KA, kami harus datang 1 jam sebelum nya untuk mengantri tiket. Sebagai anak kecil, 1 jam itu waktu yang lama. Satu jam itu sebanding dengan dua film kartun.
 
Sekarang, tiket bisa dibeli jauh-jauh hari. Pake aplikasi di HP pun bisa. Dan hari ini di gambir, saya gak perlu antri ngeprint tiket. Ada self service ngeprint sendiri, ada 5 computer plus printernya yang bisa dipake penumpang untuk ngeprint tiket nya sendiri.
Pagi ini saya pengen memperhatikan pilar people nya. Saya pun mengirim SMS ke customer service (CS) on train "Pak minta tolong AC nya dikecilin saya kedinginan". Satu point untuk people nya saat dengan cepat CS nya merespon SMS saya "akan saya koordinasikan dengan teknisi".
 
SMS datang lagi dari CS "Saya sdh koordinasikan dgn teknisi KA kami, mohon maaf kami cek eks 3 tidak merasa kedinginan, terimakasih". Minus satu point untuk CS. "Oke pak, dingin memang subjective. Kedinginan itu memang subjective. Dan saya subjective kedinginan".
 
Beberapa saat kemudian CS nya datang mendekati saya, "Mohon maaf, bapak kedinginan ya? Posisi power AC nya sudah ditengah pak. Kalau kelebihan yang lain kedinginan, kalau dikecilin yang lain kepanasan". Satu point positif karena mau copy darat, dan satu point negatif karena menyamakan saya dengan penumpang lain.
 
"Oke pak, saya paham. Ada alternatif buat saya?" Begitu tanya saya. "Bapak bisa pindah ke kelas bisnis atau menunggu di restorasi sampai agak siang pak". "Saya disini saja pak, biar saya memilihh kursi empuk tapi kedinginan ini saja". Minus satu point untuk solusinya. "Baik pak, ada lagi yang bisa dibantu?" Dalam hati saya "come on pak, bapak belum memuaskan saya untuk permintaan pertama. Kok pengen pindah gaya?" Minus satu untuk pertanyaannya
 
Akumulasi nya, 1-1+1-1-1-1 dan hasilnya -2. Tentunya service satu orang tidak bisa menjadi dasar bagus buruk nya customer excellence pilar people. Di satu sisi akan menjadi pembelajaran bagus bagi kita.
 
SOP memang menjadi standar untuk menjamin sebuah pelayanan itu good. Dan CS on train tadi sebenarnya sudah memberikan pelayanan bagus sesuai SOP. Memposisikan pengaturan swit AC pada posisi middle.
 
Sayang nya sebagai customer, saya menuntut standar yang lebih tinggi. Sandar greet, standar excellence. Dan memang musuhnya good adalah greet, dan musuhnya greet adalah excellence. Agar memenuhi standar ini, mau tidak mau CS perlu meng-customize SOP ketiap customer yang ditemui.
 
Bagaimana cara nya mengcustomize SOP tanpa menyalahi SOP? Ini lah challenge nya. Salah satu trick nya adalah dengan DEMI - Dengarkan - Empati - Maaf - Ikuti dengan tindakan.
 
Dengarkan keluhan customer, "saya kedinginan. Bukan customer lain, tapi saya yang kedinginan". Empati, masuk kepikiran dan hati customer. Salah satu trick nya dengan summarize, yaitu mengambil inti keluhan dan menyampaikan lagi ke customer dengan bahasa yang sama. "Bapak, kedinginan ya?" Dengan pertanyaan ini maka saya akan menjawab "Iya pak, saya kurus makanya gak tahan dengan dingin"
 
Lakukan empati lagi dengan teknik parafrase yaitu mengambil inti keluhan dan menyampaikan lagi ke customer dengan bahasa yang berbeda "Kalau gemuk lemaknya banyak jadi nya tahan dingin ya pak?" Dengan pertanyaan ini saya akan menjawab "Iya pak". See dari keluhan awal AC nya terlalu dingin, ternyata masalah nya adalah berat badan. Solusinya pun lebih customize akhirnya
 
Setelah tahu akar masalahnya berikan huruf "M-maaf". "Maaf pak, saya sudah periksa di kontrol AC. Posisi nya sudah sesuai dengan SOP kami. Namun, karena bapak kedinginan, khusus untuk bapak saya akan meminjamkan selimut". Andai CS nya menjawab begini, alangkah terasa spesialnya saya ini.
 
Dan huruf terakhir adalah I-Ikuti dengan tindakan nyata. "Terimakasih mas, cocok banget. Saya tunggu ya selimutnya". Dan CS pun menjawab "Baik pak, tunggu sebentar ya pak". Beberapa saat berikutnya, selimut pun diantarkan.
 
Itulah pelayanan istimewa, melebihi SOP. Itulah pelayanan istimewa, yang dibuat khusus untuk Anda. Dan bukan kah, barang yang dibuat khusus dan limited edition harga nya lebih mahal? Begitu juga dengan harga jual customer excellent yang Anda buat khusus untuk customer Anda.
 
Berkah selalu
N Kuswandi

Wednesday, September 17, 2014

Personal Branding dan Tabungan Emosi


 
Dr. Noorman (Oxford University) dalam penelitiannya menemukan bahwa orang yang sering berkomunikasi menjadikan proses otaknya semakin cepat mengolah informasi. Dan tentunya salah satu cara untuk berkomunikasi adalah bertemu dengan orang.

Disisi lain bertemu dengan orang berarti sedang membangun personal branding. Dan dengan branding membuat orang bekerja tanpa bekerja. Di awal tahun 1990, Nokia adalah branding Hand Phone yang sangat popular. Peristiwa mengejutkan saat Microsoft akhirnya membeli Nokia. Menariknya dari $7,2 Miliar uang yang dikeluarkan Microsoft untuk membeli Nokia, hanya $2,2 Miliar saja yang digunakan untuk membeli asset fisik Nokia, $5 Miliar sisanya digunakan Microsoft untuk membeli Brand Nokia.

Walaupun memang personal branding dibangun dengan jangka waktu yang tidak sebentar. Namun, personal branding kita selalu dimulai dari pengalaman nyata atau tindakan yang kita lakukan. Layaknya sebuah tabungan, tindakan yang kita lakukan ibarat menabung “emosi” kepada orang lain.

Tabungan yang baik ditandai dengan bertindak positive yang menghasilkan emosi positive pada orang yang terkena dampak tindakan yang dilakukan. Sebaliknya, tabungan yang buruk ditandai dengan tindakan negative yang menghasilkan emosi negative pada orang yang terkena dampak perilaku yang dilakukan.

Jika tindakan positive dan emosi positive adalah menabung, maka tindakan negative dan emosi negative adalah mengambil uang. Seperti logika menyimpan dan berhutang di bank. Uang yang disimpan maupun hutang yang diambil akan mendatangkan bunga. Menariknya bunga dari hutang selalu lebih tinggi dari pada bunga uang yang disimpan di bank. Begitu juga dengan emosi yang kita tabung pada bank tiap orang yang terkena dampak tindakan yang dilakukan. Emosi negative bunga nya lebih besar dari pada emosi positive.

Total akumulasi tabungan tabungan emosi ini lah yang akhirnya melahirkan branding bagi kita. Saat tabungan emosi lebih banyak positive maka personal branding yang dimiliki cenderung positive. Sebaliknya saat tabungan emosi yang dimiliki lebih banyak negative maka lahirlah branding negative.

Seorang atasan yang terbiasa memberikan negative feedback (celaan) pada bawahannya tanpa mengimbangi dengan positive feedback (pujian) ibarat sedang menabung tabungan emosi negative. Sehingga branding yang muncul adalah si bos tukang kritik. Saat suatu ketika, atasan ini memberikan positive feedback kepada bawahannya, dengan branding yang dimiliki si Bos, bawahannya menganggap positive feedback yang diberikan hanyalah sebuah celaan lain dengan cara yang lebih halus.

Masuk akal kan

Berkah selalu
N Kuswandi

Friday, September 5, 2014

Logika Hak Sepatu

 
 
Anak ke dua saya-Gibran Baghawanta (1 th), punya "obsesi" dengan sepatu kakak nya. Gibran senang sekali nyoba sepatu kakak nya, walaupun tentu saja tiap kali sepatu kakaknya dipakai, baru melangkah lima langkah sudah copot.
 
La wong sepatunya kegedean. Saya perhatikan lagi cara melangkahnya juga unik, maklum baru belajar jalan. Gibran memulai melangkah dengan tumit nya baru telapak kaki nya. Hasilnya setiap kali mau melangkah tumitnya dulu yang diangkat keat...as baru telapak kaki nya, tentu saja membuat Gibran terjatuh.
 
Kalau memakai sepatu, tumit itu berada diatas "hak" sepatu. Lucu nya kebiasaannya jalan dengan berdiri diatas tumit duluan juga dilakukan saat memakai sepatu. Gibran mendahulukan melangkah dengan mengangkat tumit diatas "hak" sepatu baru telapak kaki nya, hasilnya Gibran jatuh dengan lucu.
 
Iseng-iseng, saya mencoba berjalan dengan menggunakan "hak" sepatu saja, tanpa menggunakan telapak sepatu yang lain. Lima menit berjalan kok ya rasa nya tidak enak. Keisengan kedua, memulai berjalan dengan bagian hak sepatu dahulu, baru telapak sepatu bagian depan. Begitu seterusnya, hak sepatu dilanjut telapak sepatu bagian depan. Eh rasanya ternyata juga aneh dan tidak enak.
 
Apa hikmah nya? Hak sepatu adalah simbol "Hak" dan telapak sepatu bagian depan adalah simbol "Kewajiban". Saat "Melangkah", langkah yang aman dan enak dimulai dari telapak sepatu bagian depan "kewajiban", dan kemudian diikuti dengan bagian "hak". Dan saat "Berdiri" yang paling enak dan bertahan lama dengan menggunakan telapak sepatu bagian depan "kewajiban" dan hak sepatu secara bersamaan.
 
Orang bodoh yang menuntut orang lain melangkah dengan "kewajiban" baru "hak", tapi diri nya sendiri berdiri dengan "hak" dan melupakan sepatunya punya telapak sepatu bagian depan.
 
Berkah selalu
N Kuswandi

Tuesday, September 2, 2014

Lifetime Employment VS Lifetime Employability


 

 
Seminggu ini baru bermasalah dengan isu penyediaan lapangan kerja. Diskusi yang terjadi dengan teman-teman yang baru saja lulus kuliah. Perasaaan seperti lulus di saat yang salah, lulus kok gak dapat kerja-kerja. Keluhan yang berbanding terbalik dengan keluhan para HRD Recruiter.
Teman saya ini nampak tidak percaya saat saya bilang, dulu selama kerja di PT. Bukit Makmur Mandiri Utama pernah pegang bagian Recruitment, dan tantanga...n terbesar saya adalah mencari kandidat yang melamar. Bukan bermaksud membandingkan dengan pengalaman saya, kesimpulan saya lebih susah nyari orang yang mau direkrut dari pada mencari pekerjaan.
 
Apa yang terjadi sebenarnya? Ada istilah Lifetime Employment dan Lifetime Employability. Beberapa orang susah menemukan pekerjaan yang cocok dan ada orang yang selalu dicari pekerjaan. Orang yang susah mencari pekerjaan biasanya akan selalu hidup dalam kehidupan menjadi pekerja. Selama hidupnya diabadikan untuk menjadi pekerja atau istilah nya Lifetime Employment, sepanjang hidup menjadi pekerja.
 
Sebaliknya orang-orang yang selalu dicari pekerjaan, hidupnya terasa ringan. Saat sudah memiliki pekerjaan ada saja orang yang menawari pekerjaan yang lebih baik. Saat tiba-tiba keluar dari perusahaan, sudah ada orang yang menunggu untuk menghire. Orang-orang ini seakan selama hidup nya selalu tersedia pekerjaan lebih baik yang selalu menunggu. Orang-orang ini disebut sebagai Lifetime Employability.
 
Apa yang membuat mereka menjadi orang-orang yang selama hidupnya tinggal memilih pekerjaan? Jawabannya adalah personal empowerment, mengempower diri sendiri untuk proaktif atas diri nya. Saat orang lain hanya mempelajari materi kuliah, orang ini mengempower diri nya untuk belajar aplikasi ilmu kuliah di tempat kerja dengan magang, mentoring dengan orang yang mengaplikasikan di tempat kerja. Saat teman-teman nya sibuk dengan euphoria darah muda kuliah, orang ini sudah berfikir masa depan dan menyiapkan diri menyongsong masa depan.
 
Bukankah Lifetime Employability terjadi saat ada kesempatan dan kesiapaan? Contoh sederhananya, ada lowongan HRD maka ini adalah kesempatan. Di lowongan itu disyaratkan punya pengalaman minimal 3 tahun, bagi teman-teman yang belum lulus bisa jadi belum punya kesiapan. Bandingkan dengan mahasiswa yang mengempower diri nya, bisa jadi dengan selama kuliah dia mendaftar magang atau ikut biro psikologi yang menjadikannya punya pengalaman 3 tahun. Kesiapan mahasiswa yang mengempower diri nya ditambah dengan kesempatan yang muncul maka lahirlah Lifetime Employability.
 
Akhirnya pilihannya tergantung kepada Anda, mencari pekerjaan seumur hidup “Lifetime Employment” atau dicari pekerjaan seumur hidup “Lifetime Employability”. Nasib Anda bukan tanggungjawab orang lain.
 
Berkah Selalu
N Kuswandi