Tuesday, June 30, 2015

Pay For Performance



Pay kedua adalah pay for performance, artinya seorang karyawan akan dibayar berdasarkan performance yang dihasilkan. Semakin besar performance yang dihasilkan, semakin besar pula remuneration yang diterima. Tentu saja performance appraisal menjadi fokus utama dari tipe remuneration pay for performance. Bahasan tentang performance appraisal dapat Anda baca lagi di artikel sebelumnya “Performance Appraisal Redifine”.

Tujuan utama dari pay for performance adalah memberikan motivasi bagi karyawan. Bagi yang performance nya bagus dipeberikan penghargaan dengan paket remunerasi yang baik. Sebaliknya bagi karyawan yang performance nya jelek dihukum dengan paket remunerasi yang jelek juga. Bayangkan saja seandainya ada karyawan yang memiliki performance berbeda namun dibayar sama, akibatnya bisa jadi karyawan yang performance nya bagus akan terdemotivasi dan menurunkan performance nya. Disinilah peran pay for performance muncul.

Jika pay for position cenderung pada kompenen remuneration compentation atau gaji dan cenderung fix, maka pay for performance bisa digunakan untuk mendesign benefit yang cenderung flexible mengikuti pencapaian performance. Benefit yang dimaksud adalah bonus performance. Beberapa perusahaan menerapkan pemberian bonus performance tersebut dilakukan secara berkala tahunan. Di beberapa perusahaan lain menerapkan pemberian bonus performance dalam jangka bulanan, triwulanan ataupun quarter. Penetapan jangka pemberian bonus ini tentunya dipengaruhi oleh kondisi dan strategi perusahaan.

Selain diterapkan dalam pemberian bonus, praktek pay for performance juga bisa diterapkan untuk kenaikan gaji. Perusahaan biasanya sudah memiliki standar kenaikan gaji dengan performance yang dihasilkan. Karyawan yang memiliki performance 100% sesuai target tentunya memiliki kenaikan gaji yang berbeda dengan karyawan yang memiliki performance diatas 100% atau malah dibawah 100%. Penetapan besaran pemberian kenaikan gaji ini tentunya dipengaruhi oleh kondisi dan strategi perusahaan.

Thursday, June 25, 2015

Pay For Position



Dengan menggunakan konsep pay for position artinya seorang karyawan dibayar berdasarkan posisi atau jabatan. Dengan ada nya pay for position berarti akan ada perbedaan remuneration di tiap level jabatan. Penentuan pay for positition untuk level jabatan dari bawah ke atas, mulai dari  front liner yang bekerja di garis depan, team leader para front liner, supervisor, ataupun manager tentunya terlihat perbedaan nya dengan jelas. Challenge menerapkan pay for position adalah menentukan compentation dan benefit yang diterima untuk level yang sama, contohnya sama-sama supervisor, satunya supervisor produksi dan satu nya supervisor marketing, mana yang perlu dibayar lebih bahal oleh perusahaan? Atau sama-sama seorang manager, satu nya manager HRD dan satu nya manager keuangan, mana yang harus dibayar lebih tinggi?

Job grading adalah jawaban atas pertanyaan tadi. Perusahaan perlu memberikan penilaian bobot pekerjaan pada semua posisi. Semekin tinggi nilai bobot posisi maka semakin besar juga compensation dan benefit yang diterima. Ada tiga parameter yang digunakan untuk melihat bobot posisi, pertama Know How atau competency yang dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan. Semakin komplek competency yang dibutuhkan semakin tinggi nilai know how yang diberikan. Perusahaan bisa menggunakan skala 1-5 untuk menentukan kompleksitas competency yang dibutuhkan. Nilai satu menggambarkan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh semua orang dan tidak dibutuhkan kompleksitas competency, contoh nya seperti office boy. Semakin ke atas nilai nya menggambarkan pekerjaan tersebut hanya bisa dilakukan sedikit orang saja sehingga membutuhkan kompleksitas competency yang tinggi.

Parameter kedua untuk menetapkan job grading adalah Problem Solving. Semakin tinggi tantangan pemikiran yang dibutuhkan untuk mengevaluasi, menciptakan, menjelaskan dan mengambil soluasi suatu masalah akan semakin tinggi bobot nilai pekerjaan tersebut. Sebaliknya, semakin rendah tantangan untuk mengevaluasi, menciptakan, menjelaskan dan mengambil soluasi suatu masalah maka akan semakin rendah juga bobot nilai pekerjaan tersebut. Contohnya adalah membandingkan antara supervisor keuangan dengan supervisor maintenance. Tentunya seorang supervisor maintenance yang memiliki kompleksitas tantangan lebih besar dalam pekerjaannya memiliki bobot nilai pekerjaan yang lebih tinggi dari supervisor keuangan.

Accountability menjadi parameter ketiga dalam menetapkan job grading pekerjaan. Accountability adalah hasil dan konsekuensi dari suatu tindakan atau keputusan yang telah dibuat. Mudah nya perusahaan perlu mengukur seberapa besar kebebasan posisi tersebut untuk bertindak, apa dampak jabatan terhadap hasil kerja, dan dampak pekerjaan terhadap hasil kerja. Semakin besar accountability nya akan semakin besar juga nilai bobot pekerjaan. Contohnya adalah membandingkan bobot pekerjaan team leader general affair dengan team leader accounting. Perusahaan bisa melihat membandingkan asset yang dikelola oleh kedua team leader tadi, semakin besar asset yang dikelola semakin besar pula bobot nya. Perusahaan juga perlu melihat jika kedua team leader tadi melakukan kesalahan, mana yang berdampak lebih besar bagi perusahaan. Semakin besar dampaknya semakin besar pula nilai bobot pekerjaan.

Setelah mendapatkan hasil job grading perusahaan juga perlu melihat remunerasi yang diberikan oleh perusahaan sejenis. Fungsinya adalah antisipasi jangan sampai talent yang melakukan pekerjaan yang sama menerima remunerasi yang tidak kompetitip dibandingkan dengan perusahaan sejenis. Fungsi kedua adalah untuk menarik talent dari perusahaan lain. Semakin kompetitif remunerasi yang dibuat akan memungkinkan meretain talent perusahaan dan menarik talent dari perusahaan lain.

Perusahaan konsultasi seperti Kelly Service, Hay, ataupun Mercer memiliki data salary survey yang bisa digunakan oleh perusahaan untuk membandingkan compentation yang diberikan. Data salary survey tersebut berisi, patokan gaji paling rendah dan paling tinggi yang diberikan perusahaan untuk posisi tertentu. Dengan melihat data tersebut perusahan bisa menentukan posisi yang diambil untuk menentukan persentil compentation yang akan diberikan kepada karyawan. Apakah berada di titik paling rendah dari hasil salary survey atau titik persentil 0%? Atau menempatkan diri di posisi tengah-tengah dari data salary survey atau persentil 50%? Atau malah memposisikan diri sebagai perusahaan dengan pemberian compentation paling tinggi dengan menempatkan diri di posisi teratas atau persentil 100%
 
Berkah Selalu
N Kuswandi

Saturday, June 20, 2015

Sisi Lain


 
 
Apakah benar, sebutan talent adalah pemberian dari Tuhan? Apakah memang hanya orang-orang pintar saja yang bisa menguasai hard maupun soft competency? Jika benar berarti Tuhan Maha Tidak Adil. syukur lah, Tuhan memberikan keunikan kepada setiaop ciptaannya. Sehingga semua orang punya kesempatan untuk mengembangkan competency nya dan menjadi seorang talent.

Salah satu  orang yang menjawab pertanyaan dan membuktikan pertanyaan tersebut dengan perbuatan adalah Prof. Yohanes Suryo. Beliau adalah salah satu tokoh Indonesia yang selalu membawa siswa-siswa Indonesia meraih juara di olimpiade Sains baik Matematika maupun Fisika dengan tingkat seluruh dunia. Tak terkecuali di tahun 2006, Prof. Yohanes Suryo juga berhasil membawa Indonesia menjadi juara umum sedunia lomba Fisika dengan mengalahkan 86 negara.

Suatu ketika, Prof. Yohanes Suryo ditantang untuk tidak hanya mengurusi anak-anak pintar saja, namun anak-anak yang tidak dianggap pintar atau di cap bodoh juga perlu diurusi. Menjawab tantangan tersebut, Prof. Yohanes Surya berkata bahwa “sebenarnya tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang belum menemukan guru dan metode yang tepat”.

Ingin membuktikan jawabannya, Prof. Yohanes pergi ke Papua menghadap Gubernur Papua. Beliau berkata ke Gubernur Papua, “carikan saya siswa yang paling bodoh di Papua dan akan saya didik menjadi juara Matematika”. Gubernur Papua tentu saja sangat menyambut gembira tawaran yang diberikan Prof. Yohanes, dengan mencari 14 siswa terbodoh yang akan dididik Prof. Yohanes Surya.

Banyak di antara anak-anak Papua yang paling bodoh yang dipilih Sang Gubernur berasal dari kampung terpencil yang bahkan penduduk kampung tersebut masih menggunakan koteka. Bahkan, saking semangatnya Gubernur Papua menyambut niat baik kepada Prof. Yohanes, sang Gubernur mencarikan murid terbodoh yang salah satunya adalah siswa kelas dua Sekolah Dasar yang selama empat tahun tidak naik kelas. Prof. Yohanes juga bercerita pertama kali mengajar siswa-siswa yang dianggap bodoh, penjumlahan tiga ditambah lima saja harus dijumlahkan dengan sempoa.

Melalui Yohanes Surya Institute, siswa-siswa yang dicap bodoh tadi kemudian dididik. Setelah enam bulan mengikuti pendidikan, anak-anak tadi sudah menguasai mata pelajaran dari kelas 1 sd 6 SD. Setelah empat tahun menjalani pendidikan di Yohanes Surya Intitute, di tahun 2011 mereka diberikan kesempatan untuk mengikuti perlombaan Sains Matematika se Asia. Hasilnya sungguh membanggakan, mereka berhasil merebut emas, perak dan perunggu.

Saking berhasilnya program pendidikan Yohanes Surya Institute untuk anak-anak Papua ini, mereka hampir selalu menyapu penghargaan di lomba-lomba sains. Sampai-sampai Prof. Yahanes Surya bercerita saat ada lomba Sains di Malang, beliau mendengar ada anak Jakarta yang menceletuk, “yah ada anak Papua lagi, pasti kalah deh”. Akhirnya, beliau memang berhasil membuktikan perkataannya, “Tidak Ada Siswa yang Bodoh, yang Ada Hanyalah Siswa yang Belum Menemukan Guru dan Metode Belajar yang tepat”.

Memperkuat quote yang disampaikan Prof. Yohanes Suryo, bukankah banyak tokoh-tokoh dunia yang sebenarnya punya perjalanan hidup sebagai orang yang dicap sebagai siswa bodoh. Salah satunya adalah Adam Khoo yang berasal dari Singapura.

Saat masih kelas empat SD, Adam Khoo pernah tidak naik kelas dan dikeluarkan dari sekolah. Dia pun masuk ke SD terburuk di Singapura. Ketika akan masuk SMP, Adam Khoo ditolah oleh enam SMP terbaik di Singapura, sehingga membuat diri nya bersekolah lagi di SMP terburuk di Singapura.

Apa yang terjadi berikutnya? Apakah Adam Khoo menjadi people dengan kelompok dead wood (low potency & low performance). Kehidupannya berubah 180 derajat, saat berusia 26 tahun, Adam Khoo sudah memiliki bisnis dengan total omset sebesar $ 20 Juta per tahun. Adam Khoo juga mematok bayaran $10.000/jam untuk tiap training yang mengundang dirinya. Dan siswa terbodoh tadi juga menjadi consultant dengan dengan klien para manager dan top manager perusahan di Singapura.
Berkah Selalu
N Kuswandi

Monday, June 15, 2015

3Es: Formula Ajaib Pengembangan Diri


 
“Jika seseorang rela mengosongkan dompetnya demi kepalanya, maka tidak ada orang yang mampu merenggut itu darinya. Investasi pengetahuan (leher ke atas) selalu mendapatkan hasil yang lebih baik dan berlipat-lipat!” Benjamin Franklin

Investasi terbaik adalah investasi leher ke atas atau pengembangan diri. Investasi yang tidak hanya akan dipetik buahnya oleh perusahaan namun juga oleh karyawan sendiri. Menyadari hal tersebut, Holcim Academy yang bertransformasi menjadi People & Organization Performance (POP) selalu memperbaiki diri untuk memberikan service terbaik bagi seluruh karyawan.

Berguru para Starbuck, Kita ingat bahwa sebelum tahun 2012 kesuksesan pengembangan diri diukur dari keberhasilan mencapai 40 jam training per tahun, kemudian di tahun 2013 naik menjadi 50 jam training per tahun. Hasil observasi POP, menunjukkan banyak karyawan yang telah mendapatkan manfaat dari model pengembangan tersebut. Banyak karyawan yang promosi menduduki posisi lebih tinggi, bekerja sesuai dengan passion yang dimiliki, ataupun mengaplikasikan pengembangan diri yang didapat dengan membuka usaha bisnis di luar Holcim. Walaupun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa masih ada karyawan yang belum mendapatkan manfaat langsung dari model pengembangan tersebut.

Memasuki tahun 2014 dan 2015, perubahan terjadi dimana-mana. Kompetitor semakin banyak, pertumbuhan ekonomi melambat, sehingga berdampak langsung pada bisnis Holcim. Perubahan tersebut tentunya membuat POP juga perlu ikut berbenah, model pengembangan diri yang awalnya berbasis jam training per tahun di-review lagi efektivitasnya.

In class training atau education dengan target 50 jam per tahun yang menjadi fokus tahun-tahun sebelumnya ternyata hanya berdampak 10% saja terhadap pengembangan diri karyawan. Dan program-program exposure seperti coaching, employee transfer, dan feedback berdampak 20% terhadap pengembangan diri karyawan. Dampak sisanya, 70% dihasilkan dari program experience seperti project assignment, project improvement, ataupun on the job training. Kajian ini tentunya menjawab sebuah pertanyaan, “kenapa investasi pengembangan diri yang begitu besar tidak berbanding lurus dengan lamanya karyawan mengikuti pelatihan?” Karena memang fokus education sebagai metode pengembangan diri hanya berdampak 10% saja terhadap karyawan.

Dengan semangat membantu karyawan bertumbuh, POP mengubah model pengembangan diri karyawan, yang awalnya berfokus pada in class training, menjadi pendekatan dengan fokus experience. Model pengembangan diri ini diberi nama 3Es, Experience-Exposure-Education. Menggunakan model pengembangan diri ini, karyawan lebih diajak meng-explore dirinya untuk mendapatkan best practice dari expert (coach) dan bahkan bisa merasakan langsung pengalaman (experience) nyata dengan melakukan on the job training, job assignment ataupun dengan project improvement. Efektifitas model pengembangan diri menggunakan 3Es dalam juga digambarkan dengan filosofi Confucius "Apa yang saya dengar, saya lupa. Apa yang saya lihat, saya ingat. Apa yang saya kerjakan, saya pahami".

Selain memiliki keunggulan efektivitas, K. David Hirschey, seorang ahli HR dari Minnesota juga mengklaim bahwa konsep 3Es juga memiliki kelebihan dalam hal efficiency cost dan waktu. Dari segi cost, fokus pada in class training membutuhkan biaya yang lebih mahal dari pada hasil pengembangan diri menggunakan program-program experience. Sedangkan perbandingan reduce time, jika keahlian atau best practice tertentu dipelajari dalam kelas membutuhkan beribu-ribu jam in class training, maka best practice tersebut bisa didapat dalam waktu yang lebih singkat dengan melakukan exposure dan experience.

Program pengembangan ini sendiri akan di-launch pada tanggal 30 Juni 2015. Seluruh karyawan akan terlibat pada launching tersebut, ditandai dengan menggunakan pendekatan 3Es dalam menyusun Individual Development Plan. Tersedia tiga opsi yang bisa dipilih karyawan, experience only, exposure & experience, atau paket lengkap education-exposure dan experience. Agar motivasi karyawan untuk mengembangkan diri menuju jalan kesuksesannya sendiri tercapai, POP juga akan memberikan external motivation berupa annual best achievement pada karyawan yang berkomitmen mengembangkan diri.
 
Berkah Selalu
N Kuswandi

Tuesday, June 9, 2015

On Tract Your Passion


 
“Anda tidak akan bisa menghubungkan dot - dot dengan menatap ke depan : Anda hanya dapat menghubungkan dot saat melihat ke belakang. Jadi Anda perlu yakin bahwa entah bagaimana dot tersebut akan saling berhubungan di kemudian hari” (Steve Job)

 

Kalimat di atas adalah penggalan pidato yang disampaikan Stve Job, CEO dan pendiri Apple dan Pixar, pada acara wisuda Stanford pada tanggal 12 Juni 2005. Dan kalimat di atas adalah salah satu dari beberapa penggalan pidato yang cukup mengguncang.

Pengalaman seorang rekan bisa jadi menggambarkan penggalan kalimat Steve Job tersebut. Saat kuliah, rekan kerja saya adalah mahasiswa cemerlang, namun dia saat ini bekerja di area yang bukan menjadi passion nya. Lulus kuliah sebenarnya dia masih idealis mencari dan menciptakan pekerjaan yang sesuai dengan passion nya. Namun, lapar perut memaksanya mengambil langkah menerima pekerjaan yang dirasa bukan passion nya. Akhirnya dia merasa tidak menghasilkan performance kerja yang maksimal.

Memang kadang kala perusahaan memiliki dilema, ada kebutuhan untuk menempatkan talent di posisi tertentu. Walaupun perusahaan sadar jika ditempatkan diposisi tersebut, talent kehilangan passion nya, akibatnya performannya bisa langsung turun drastis.

Bagaimana cara nya agar posisi yang kososng tersebut dapat diisi oleh talent yang tidak punya passion di area tersebut namun motivasi nya masih tetap terjaga? Disinilah tugas seorang leader untuk memberikan coaching atau bimbingan. Sebelum talent dipindahkan ke posisi tersebut dan selama talent berada di posisi tersebut, diskusi coaching antara leader dengan talent perlu tetap dijaga.

Berikut bahan coaching yang bisa digunakan leader untuk mengcoach talent nya. 

Apakah benar Anda sendiri tidak bekerja sesuai dengan passion kita? Padahal Tuhan berjanji, "Tidak ada ciptaannya yang sia-sia", tidak perduli apa passion Anda dan apa yang Anda lakukan sekarang. Setiap apa yang kita lakukan saat ini sebenarnya mengantarkan dan membentuk passion kita di masa depan. Anda hanya bisa melihat ketidaksia-siaan tersebut melalui pandangan masa lalu, bukan pandangan saat ini ataupun pandangan masa depan. Ini lah yang di maksud Steve Job dalam penggalan pidatonya, atau disebut sebagai connecting the dot.

Syarat agar dot – dot tersebut saling terkoneksi hanya ada dua. Syarat pertama "kerjakan apa pun hari ini dengan maksimal". Kita dikenal orang dengan apa yang kita kerjakan hari ini. Mungkin hari ini kita merasa tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan passion kita. Tapi ingat orang lain melihat kita. Suatu ketika siapa tahu orang-orang yang bekerja sama dengan kita menjadi orang yang berada dalam range passion kita. Bayangkan saat sekarang kita dikenal sebagai orang yang buruk, image ini akan menempel bahkan saat kita sudah beralih ke jalur yang benar untuk mengejar passion kita. Tentunya sangat susah mengubah image walaupun performance di pekerjaan yang sesuai passion kita sudah semakin membaik.

Mengerjakan pekerjaan yang bukan passion kita dengan maksimal juga penting untuk membangun karakter. Saat kita mengerjakan pekerjaan yang tidak kita sukai dengan maksimal berarti kita memperbagus karakter yang kita punyai. Bagaimana tidak, pekerjaan yang kita tidak senangi saja menghasilkan hasil yang maksimal apalagi pekerjaan yang kita senangi atau sesuai dengan passion kita. Harus diingat juga bahwa untuk menjadi seorang talent, selain harus memiliki passion terhadap yang dikerjakan, juga harus memiliki karakter dan competency terhadap pekerjaan yang dilakukan

Kolonel Sander adalah contoh yang baik bagi para pengejar passion. Semenjak usia 6 tahun, Sander kecil sangat suka menggoreng ayam. Namun, wajib militer memaksanya meninggalkan kecintaan menggoreng ayam untuk menunaikan kewajiban sebagai warga negara. Bukan nya seperti pemuda-pemuda lain yang setelah menyelesaikan wajib militer beralih profesi, Sander tetap berkarir di dunia militer dan menunjukkan prestasi yang baik. Karir nya pun menanjak hingga menjadi seorang kolonel. Setelah merasa cukup berproses di dunia militer, Sander yang berusia 40 tahun kembali mengejar passion nya yang sudah lama ditinggalkan, menggoreng ayam. Dari dunia militer, Sander mendapatkan character disiplin dan tidak mudah menyerah yang mengantarkannya pada kesuksesan. Walaupun berkali-kali resep Kentucky Freed Chicken nya ditolak, Kolonel Sander tidak putus asa. Lahir lah kemudian resep rahasia yang mengantarkannya menjadi pemilik waralaba yang tersebar di hampir semua negara.

Syarat kedua yaitu keep on track. Tak peduli apa yang Anda lakukan saat ini, tetapkan goal yang ingin Anda capai. Seperti jalur pesawat terbang yang sudah ter track di navigasi pilot, seperti itulah seharusnya kita mengejar passion. Walaupun pesawat sudah punya track navigasi, pesawat sangat jarang selalu tepat berada di jalur navigasi. Ada kala nya pesawat melenceng dari jalur navigasi, tugas menara kontrol lah yang kemudian selalu mengingatkan untuk kembali ke jalur yang benar. Karena memang susah berada di jalur yang benar. Kita juga perlu menara kontrol untuk mengingatkan saat kita mulai keluar dari jalur passion. Menara kontrol itu bernama tulisan dan orang lain. Selalu tulis goal Anda, dan ceritakan ke orang lain. Catatan mengingatkan kita untuk tidak lupa, dan orang lain akan tahu passion kita dan kadang kala menggelitik kita saat mulai keluar dari track passion.

Di akhir catatan ini, saya ingin bercerita tentang pengalaman pribadi saya mengejar passion. Semenjak SMP, saya sudah menetapkan jalur passion saya adalah WTS (Writer-Trainer-Speaker). Merintis passion tadi, di SMP dan SMA saya membuat Perkumpulan Pecinta Anak dan Mentoring untuk Teenager. Kegiatan utama kami adalah menjadi pendongeng untuk anak-anak dan menjadi mentor untuk para teenager. Di Perguruan Tinggi, saya kemudian mendirikan Lembaga Psikologi Terapan spesialis untuk out bound training. Masih mengejar passion, lulus kuliah, saya melamar di sebuah perusahaan dengan posisi sebagai Management Trainee. Awalnya saya mengira, tugas Management Trainee adalah mengurusi trainee (sebutan bagi para peserta pelatihan). Namun ternyata saya salah, ternyata Management Trainee bertugas untuk belajar bisnis proses perusahaan untuk disiapkan menjadi future leader.

Lulus sebagai Management Trainee, saya di tempatkan di posisi Recruitment Officer. Satu setengah tahun berikutnya saya di rotasi untuk memegang posisi Personel Officer. Menggunakan dua rumus tadi, saya tetap bekerja dengan maksimal dan on track dengan passion. Saya selalu menceritakan passion saya di dunia pelatihan pada rekan-rekan sekerja maupun ke atasan saya. Hingga akhirnya, di tahun ketiga saya mutasi ke cabang lain dengan posisi General Affair Officer. Di cabang ini, dengan rumus pertama, bekerja dengan maksimal di area kita, mengantarkan saya menjadi Best continuous improvement all site di tahun 2011. Akhirnya di bulan Desember 2012, passion saya terwujud. Di bulan itu saya di mutasikan lagi ke head office sebagai Learning and Development Analyst. Bagaimana jadi nya saat saya tidak perform di area sebelumnya? Bisa jadi passion saya tidak didengar orang. Dan bagaimana jadinya jika saya lupa dengan passion saya dan puas di area General Affair, yang  telah diakui orang dengan Best Continuous Improvement?

Steve Jobs juga mengalami hal yang sama. Dari kecil, Steve Jobs tertarik dengan computer. Hingga akhirnya Steve Jobs memutuskan kuliah di Reed Colleage Portland. Enam bulan berikutnya Steve Jobs kehabisan dana untuk kuliah, hingga memakasaknya untuk drop out dari kampus yang dicintainya.

Setelah droup out, Steve Jobs banting stir belajar kaligrafi. Artinya Steve Job menyimpang dari passion nya sendiri.  Dengan syarat pertama saat keluar dari passion, yaitu mengerjakan apa pun hari ini dengan maksimal, Steve Jobs memaksimalkan diri untuk belajar kaligrafi. Dan dot itu pun tersambung, karena dulu Steve Jobs belajar kaligrafi, sekarang kita bisa menikmati berbagai pilihan jenis dan model huruf di computer. Karena memang Steve Jobs lah orang pertama yang memasukan model-model huruf ke dalam computer.

Walaupun sempat menyimpang dari passion nya, dari computer ke kaligrafi, Steve Jobs tetap on tract dengan goal passion nya. Bersama Steve Wosniak, Steve Jobs membangun kerajaan Apple dari garasi rumahnya. Perusahaan yang dirintisnya berlahan-lahan mulai membesar. Sayangnya saat Steve Jobs berada di puncak karir nya bersama Apple, dia dipecat oleh orang yang dihire nya sendiri.

Steve Jobs pun sempat putus asa, namun dengan menggunakan syarat ke dua, on track your passion, Steve Jobs kembali lagi mengejar passion nya. Dia membuat perusahaan baru dengan nama Pixar.

Connecting the dot pun terjadi lagi. Apple yang mulai kehilangan sinarnya mencari technology yang bisa menyelamatkan Apple. Ternyata technology itu hanya dimiliki oleh Pixar, perusahaan baru yang didirikan oleh Steve Jobs. Dibelilah Pixar oleh Apple, dan kembalilah Steve Jobs keperusahaan yang dibangunnya bersama Steve Wozniak.

Berkah Selalu
N Kuswandi

Thursday, June 4, 2015

Passion atau Jabatan


 
Generasi yang lahir di periode tertentu sering kali memiliki ciri khas yang berbeda. Kondisi sosial, ekonomi, budaya yang tengah mewabah menjadi penyebab nya. Demi memudahkan menscreaning periode kelahiran dan ciri khas nya, para ahli membuat cluster periode kelahiran dengan istilah tertentu.
 
Generasi yang lahir di tahun 1946 – 1964 sering kali di namakan generasi Baby Boomer. Maju ke tahun 1965 – 1980, generasi yang lahir di tahun ini disebut generasi X. Kemudian generasi yang lahir di tahun  1981 – 1984 dikenal dengan generasi Y. Ada juga sebutan untuk generasi Z yang lahir pada tahun 1995 – 2009 dan generasi Alpha yang lahir di atas tahun 2009.
 
Ciri khas tiap generasi sebenarnya menjadi kekuatan bagi masing-masing generasi. Sayangnya, ciri khas tersebut kadang kala menjadi masalah saat tidak mampu mengikuti daan beradaptasi dengan ciri khas generasi lain.
 
Mereka membawa ciri khas nya, tanpa memahami ciri khas generasi lain. Sehingga yang terjadi adalah motivation error, culture error, maupun senioritas error. Dengan kata yang lebih sederhana terjadi ketidakharmonisan. Tak heran jika ada sebuah nasehat “Janganlah didik anak mu dengan cara mu dididik. Karena anak bukan anak itu bukan anakmu, anak itu adalah anak zaman”.
 
Error motivation sebagai akibat belum bertransformasi dan beradaptasi dengan generasi lain pernah saya temukan pada sebuah peristiwa. Ada orang yang termasuk generasi generasi X (1965-1980), sedang memotivasi subordinatnya. Seperti orang-orang era 1965-1980 mencari menantu, tak peduli berapa kaya nya, seberapa tampan atau cantiknya, kalau tidak PNS, bisa-bisa hanya masuk nominasi nomer dua. Begitu juga cara orang ini memotivasi subordinatnya, "Kalau Anda menunjukkan performance yang bagus nanti Anda akan saya promosikan".

Bagi generasi X, title adalah reward. Sehingga orang-orang yang lahir di era 1965-1980 lebih senang mempunyai menantu ber title PNS, atau sarjana. Dengan stereotype yang sama, bos-bos dari generasi X sering kali juga memotivasi bawahannya dengan mengiming-imingi title (jabatan). Padahal tidak semua orang bisa termotivasi dengan jabatan.

Memotivasi sub ordinat dengan jabatan tentunya juga bukan pilihan yang bijak. Sebagai mana kita ketahui jabatan itu seperti piramida, semakin ke atas semakin kecil. Apakah dengan begitu banyak karyawan yang ada harus berebut posisi yang semakin ke atas semakin sedikit? Memotivasi dengan jabatan juga menjadi hal yang berbahaya. Karyawan dengan motivasi menggebu untuk menduduki jabatan, bisa jadi melegalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Lebih parahnya lagi, jika karyawan hanya termotivasi mendapatkan jabatan, bisa jadi performance nya menurun saat sudah menempati jabatan yang menjadi tujuannya.

Bagi generasi Y (lahir tahun 1980-1995), sebenarnya mereka bisa dimotivasi dengan menempatkan karyawan pada pekerjaan panggilan hatinya. Rekan kerja saya seorang Supervisor Plant bisa menjadi contoh nyata. Jam kerja normalnya harusnya jam 07.00-17.30. Namun karena kecintaannya terhadap mesin, dia bekerja dari jam 07.00 sampai jam 23.00 bahkan lebih. Bukan satu-dua kali rekan saya ini bekerja melebihi jam normal, namun hampir setiap hari. Dan dia tidak menuntut ditambah gajinya atau dinaikkan pangkatnya.

Karyawan yang bekerja karena panggilan hatinya (passionnya) akan menunjukkan sifat pengorbanan (sacrifice). Mereka lebih memilih purpose dibandingkan posisi, lebih memilih nilai-nilai (values) dibandingkan kekayaan (numbers). Ini sangat berhubungan dengan keyakinan karyawan pada Tuhan yang maha Esa. Coba saja perhatikan Abdi Dalem Kraton Kasunanan Surakarta, meraka sudah bekerja puluhan tahun. Karir mereka mentok menjadi Abdi Dalem, gaji mereka bahkan tidak cukup membeli kebutuhan sehari-hari. Namun mereka masih bertahan bekerja dan memiliki performance yang bagus. Value mereka menjadi pedoman untuk bekerja.

Berkah Selalu
N Kuswandi