Thursday, June 4, 2015

Passion atau Jabatan


 
Generasi yang lahir di periode tertentu sering kali memiliki ciri khas yang berbeda. Kondisi sosial, ekonomi, budaya yang tengah mewabah menjadi penyebab nya. Demi memudahkan menscreaning periode kelahiran dan ciri khas nya, para ahli membuat cluster periode kelahiran dengan istilah tertentu.
 
Generasi yang lahir di tahun 1946 – 1964 sering kali di namakan generasi Baby Boomer. Maju ke tahun 1965 – 1980, generasi yang lahir di tahun ini disebut generasi X. Kemudian generasi yang lahir di tahun  1981 – 1984 dikenal dengan generasi Y. Ada juga sebutan untuk generasi Z yang lahir pada tahun 1995 – 2009 dan generasi Alpha yang lahir di atas tahun 2009.
 
Ciri khas tiap generasi sebenarnya menjadi kekuatan bagi masing-masing generasi. Sayangnya, ciri khas tersebut kadang kala menjadi masalah saat tidak mampu mengikuti daan beradaptasi dengan ciri khas generasi lain.
 
Mereka membawa ciri khas nya, tanpa memahami ciri khas generasi lain. Sehingga yang terjadi adalah motivation error, culture error, maupun senioritas error. Dengan kata yang lebih sederhana terjadi ketidakharmonisan. Tak heran jika ada sebuah nasehat “Janganlah didik anak mu dengan cara mu dididik. Karena anak bukan anak itu bukan anakmu, anak itu adalah anak zaman”.
 
Error motivation sebagai akibat belum bertransformasi dan beradaptasi dengan generasi lain pernah saya temukan pada sebuah peristiwa. Ada orang yang termasuk generasi generasi X (1965-1980), sedang memotivasi subordinatnya. Seperti orang-orang era 1965-1980 mencari menantu, tak peduli berapa kaya nya, seberapa tampan atau cantiknya, kalau tidak PNS, bisa-bisa hanya masuk nominasi nomer dua. Begitu juga cara orang ini memotivasi subordinatnya, "Kalau Anda menunjukkan performance yang bagus nanti Anda akan saya promosikan".

Bagi generasi X, title adalah reward. Sehingga orang-orang yang lahir di era 1965-1980 lebih senang mempunyai menantu ber title PNS, atau sarjana. Dengan stereotype yang sama, bos-bos dari generasi X sering kali juga memotivasi bawahannya dengan mengiming-imingi title (jabatan). Padahal tidak semua orang bisa termotivasi dengan jabatan.

Memotivasi sub ordinat dengan jabatan tentunya juga bukan pilihan yang bijak. Sebagai mana kita ketahui jabatan itu seperti piramida, semakin ke atas semakin kecil. Apakah dengan begitu banyak karyawan yang ada harus berebut posisi yang semakin ke atas semakin sedikit? Memotivasi dengan jabatan juga menjadi hal yang berbahaya. Karyawan dengan motivasi menggebu untuk menduduki jabatan, bisa jadi melegalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Lebih parahnya lagi, jika karyawan hanya termotivasi mendapatkan jabatan, bisa jadi performance nya menurun saat sudah menempati jabatan yang menjadi tujuannya.

Bagi generasi Y (lahir tahun 1980-1995), sebenarnya mereka bisa dimotivasi dengan menempatkan karyawan pada pekerjaan panggilan hatinya. Rekan kerja saya seorang Supervisor Plant bisa menjadi contoh nyata. Jam kerja normalnya harusnya jam 07.00-17.30. Namun karena kecintaannya terhadap mesin, dia bekerja dari jam 07.00 sampai jam 23.00 bahkan lebih. Bukan satu-dua kali rekan saya ini bekerja melebihi jam normal, namun hampir setiap hari. Dan dia tidak menuntut ditambah gajinya atau dinaikkan pangkatnya.

Karyawan yang bekerja karena panggilan hatinya (passionnya) akan menunjukkan sifat pengorbanan (sacrifice). Mereka lebih memilih purpose dibandingkan posisi, lebih memilih nilai-nilai (values) dibandingkan kekayaan (numbers). Ini sangat berhubungan dengan keyakinan karyawan pada Tuhan yang maha Esa. Coba saja perhatikan Abdi Dalem Kraton Kasunanan Surakarta, meraka sudah bekerja puluhan tahun. Karir mereka mentok menjadi Abdi Dalem, gaji mereka bahkan tidak cukup membeli kebutuhan sehari-hari. Namun mereka masih bertahan bekerja dan memiliki performance yang bagus. Value mereka menjadi pedoman untuk bekerja.

Berkah Selalu
N Kuswandi

No comments:

Post a Comment