Wednesday, August 24, 2016

International Coach Federation : Managing Progress & Accountability


Dari indicator perilaku managing progress and accountability, seorang coach memiliki panduan perilaku-perilaku apa saja yang perlu dilakukan dalam managing progress and accountability. Kesemua indicator perilaku tersebut bisa dilakukan dengan dua tool berikut.

Pertama adalah Scoreboard

Saat coachee enggage dengan designing action yang dibuat maka dia akan mengeksekusi designing action yang dia buat. Dan kunci agar coachee enggange adalah dengan scoreboard yang selalu dia lihat, selalu di update dan memotivasi coachee. Ingat bahwa “orang bermain secara berbeda saat mereka melihat score”. Sudah menjadi sifat manusia saat seseorang menghitung score mereka, dia akan memberikan hasil terbaiknya.

Scoreboard adalah representasi dari designing action yang coachee buat. Bisa jadi desiging action yang dimiliki coachee dibuat di dalam buku dan berbentuk begitu formal dengan kolom-kolom yang membosankan, maka scoreboard adalah simpulan dari designing action yang sudah dibuat.

Scoreboard yang baik setidaknya memiliki tiga ciri, yang pertama adalah scoreboard tersebut haruslah mudah dilihat oleh coachee, baik berupa ukurannya, kesederhanaanya dan letaknya. Dengan kemudahan melihat scorecard, secara tidak langsung akan tumbuh motivasi instriksik dari coachee dan akan membuat coachee bermain secara berbeda saat ada score yang dilawan.

Syarat kedua agar scoreboard mampu menimbulkan enggagement adalah selalu diupdate. Pertemuan rutin yang disepakati coachee dan coach untuk melaporkan pencapaian akan menjadi sarana yang sangat baik untuk mengupdate scoreboard yang dimiliki. Bisa jadi pertemuan tersebut adalah seminggu sekali, atau bisa jadi sebulan sekali, tergantung kesepakatan antara coach dan coachee. Hal yang penting dari pertemuan rutin adalah menciptakan irama akuntabilitas.

Dan syarat ketiga dari scoreboard yang baik adalah memotivasi coachee. Scoreboard yang dibuat sendiri oleh coachee lebih menimbulkan motivasi dibandingkan saat dibuatkan coach nya. Semakin kuat coachee merasa bahwa scoreboard tersebut milikinya, semakin besar keinginannya untuk mengambil alih kepemilikan atas scoreboard tersebut.  

Scoreboard yang memotivasi juga bisa ditandai dengan kemampuan untuk langsung memberitahu coachee, apakah coachee sedang kalah atau sedang menang? Saat scoreboard tidak mampu menunjukan posisi kekalahan atau kemenangan coachee maka itu bukanlah scoreboard, namun hanya data belaka. Dan ingat motivasi tidak akan tumbuh saat coachee tidak mengetahui apakah dirinya sedang kalah atau sedang menang, orang selalu bermain secara berbeda saat melihat angka.

Seorang coachee memiliki goal untuk bisa diterima di salah satu perusahaan multinasional dari Amerika. Saat ini dia sedang semester enam dan sedang menyelesaikan kuliah. Setelah proses coaching, dia membuat designing action sebagai berikut :


Dengan designing action yang dibuat oleh coachee di atas, maka contoh scoreboard yang mengaplikasikan ketiga syarat di atas adalah sebagai berikut :



Perhatikan gambar diatas, scoreboard tersebut memenuhi ketiga ciri scoreboard yang baik. Syarat pertama mudah dilihat, dipenuhi dari kesederhanaannya yang hanya berbentuk speedometer, bentuk yang familiar ditemui baik di sepeda motor maupun di dalam mobil. Coachee juga dapat memprint di kertas yang besar dan menempel dashboard tersebut di tempat yang mudah dilihat oleh coachee sendiri. Sehingga coachee dapat memonitor sendiri perkembangannya.

Selain memenuhi syarat pertama, scoreboard tersebut juga memenuhi syarat kedua, yaitu selalu di update. Coachee dan coach bisa saja menyepakati bahwa setiap bulan, mereka akan bertemu dan berdiskusi eksekusi dari desigining action. Saat pertemuan tersebut, coachee bisa membawa scoreboard nya dan mengupdate pencapaian ekskusi designing action nya.

Scoreboard diatas juga memenuhi syarat scoreboard ketiga beripa memotivasi dengan langsung langsung mengetahui kekalahan atau kemenangan. Semua orang aware, merah adalah tanda stop, larangan dan bahasa lainnya adalah kekalahan, sedangan kuning adalah titik berhati-hati, dan hijau adalah kemenangan. Setelah update dilakukan secara berkala, maka coachee dapat langsung mengetahui dimana posisinya saat ini, apakah kalah atau menang? Saat coachee melihat setiap hari posisi nya saat ini, di saat itulah coachee akan memainkan permainan yang berbeda.

Thursday, August 4, 2016

Apa itu Coaching?


Banyak ahli mendefinisikan tentang coaching. Dan salah satu dari banyak definisi tentang coaching, salah satu definisi tentang coaching diberikan oleh John Whitmore yang merupakan seorang Business Coach nomer satu yang diakui oleh Independent Newspaper dan penerima penghargaan President’s Award dari International Coach Federation. Menurut John Whitmore, coaching adalah membuka potensi seseorang untuk memaksimalkan pertumbuhan coachee (orang yang diberi coaching).  

Definisi dari John Whitmore ini kemudian diadaptasi menjadi definisi coaching yang dikeluarkan oleh  International Coach Federation (ICF) yang merupakan salah satu organisasi professional coaching yang memiliki kredibilitas tinggi dan jaringan di seluruh dunia. Didirikan oleh seorang professional coach bernama Thomas J. Leonard pada tahun 1995 dengan semangat membangun komunitas professional coaching di Amerika Utara. Saat ini, ICF memiliki 126 chapter diseluruh dunia dengan 25.000 member dan terus bertambah setidaknya 500 orang per tahun, menjadikan ICF sebagai organisasi professional coaching terbesar dan terkredible di seluruh dunia. Adapsi definini coaching  dari John Whitmore yang dikeluarkan ICF sendiri menjadi coaching adalah proses kemitraan dengan coachee untuk memprovokasi proses berfikir coachee secara kreatif dan menginspirasi untuk memaksimalkan potensi dan performance coachee.

Dari definisi tersebut, ada tiga kata kunci yang yang bisa digarisbawahi. Pertama adalah kemitraan, kedua adalah memprovokasi cara berfikir dan ketiga adalah memaksimalkan potensi dan performance. Kata kunci pertama “kemitraan” yang menjadikan coaching menjadi pembeda dengan tool-tool pengembangan yang lain. Seperti sudah kita ketahui, beberapa tool pengembangan yang familiar didengar diantaranya adalah training, conseling, mentoring dan consulting. Keempat tool pengembangan diri ini dikembangkan dengan bintang utamanya adalah pihak pertama (trainernya, konselornya, mentornya ataupun konsultannya), berbeda dengan coaching, karena proses kemitraan maka bintang utamanya adalah pihak kedua (coachee nya).

Perhatikan saja, jika Anda mengikuti pelatihan, siapa yang menjadi bintangnya? Atau saat Anda mengikuti konseling, mana yang berperan paling dominan? Ataupun saat Anda mendapatkan service consulting dan mentoring, siapa yang lebih pintar? Sebaliknya, saat Anda mendapatkan coaching, maka fokus nya bukan di coach nya namun di coachee nya, coachee nya lah yang pintar menemukan jalannya sendiri, coachee nya sendiri yang menemukan solusi dan memutuskan solusi mana yang akan diambil dan diimplementasikan.

Perbedaan lainnya terletak pada kata kunci definisi coaching yang kedua, memprovokasi pikiran. Training, mentoring, conseling dan consulting adalah tool pengembangan diri yang sifatnya searah. Saat Anda mendapatkan training, Anda diminta untuk mengimplementasikan apa yang sudah dibawa oleh trainer. Begitu juga saat Anda melakukan mentoring, consulting ataupun consulting, prosesnya searah dan cenderung direct atau telling dari pihak pertama kepada client nya. Sebaliknya, saat Anda melakukan proses coaching, coach akan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang kreaktif untuk menggali (seeking) dan memaksimalkan potensi yang Anda miliki.

Berkah Selalu
N Kuswandi

Friday, July 29, 2016

Coaching Designing Action Excecution



Tahukah Anda, hanya ada 10% organisasi di Amerika Serikat yang memiliki rencana strategis dan berhasil mengimplementasikan rencana tersebut dalam operasional bisnis mereka (Kaplan & Norton, 2004). Ram Charan bahkan dalam penelitiannya menemukan bahwa 70% kegagalan strategi yang dimiliki perusahaan bukan karena kurangnya orang-orang pintar atau kurang baiknya strategi, namun karena  eksekusi.

Setidaknya terdapat empat hambatan pokok dalam eksekusi strategi, yaitu hambatan visi dan misi, hambatan orang, hambatan manajemen, dan hambatan sumberdaya. W. Chan, penulis buku Ocean Strategy menganalogikan hambatan tadi kedalam empat rintangan, yakni rintangan kognitif (terjebak status quo), rintangan sumber daya, rintangan motivasional dan rintangan politik.

Penelitian yang dilakukan oleh Kaplan dan Norton serta Ram Charan bisa menjadi gambaran lain seberapa besar eksekusi hasil coaching yang dilakukan coachee?

Sampai saat ini, saya belum menemukan riset yang menjelaskan berapa banyak hasil coaching dieksekusi oleh coachee nya. Namun, dari pengalaman saya sebagai seorang coach, coachee mampu menganalisa masalahnya, membuat keputusan dan action plan sebagai hasil coaching adalah “one think”, mengeksekusi apa yang dihasilkan selama sesi coaching adalah “the other think”.

Eksekusi hasil coaching di kehidupan nyata coachee akan menguji seberapa gigih dan kuatnya mental coachee. Saat mengeksekusi apa yang coachee sudah putuskan bisa jadi coachee akan berhubungan dengan orang-orang yang tidak support dengan action plan yang dia buat, coachee terjebak dalam status quo, mendapat rintangan secara politik, atau masalah motivational coachee untuk mengeksekusi hasil coaching yang sudah coachee rumuskan sendiri.

Disinilah terlihat jelas kenapa International Coach Federation mensyaratkan seorang professional coach harus memiliki competency managing progress and accountability. Seorang coach diharapkan mampu mempertahankan perhatian pada hal yang penting bagi coachee, dan memberikan tanggung jawab kepada coachee untuk mengambil tindakan.

Bagaimana cara melakukan hal tersebut? Tidak lain dan tidak bukan, caranya adalah dengan memberikan feedback. Ada dua macam feedback yang bisa diberikan seorang coach. Feedback pertama berhubungan dengan acknowledgment atau pengakuan atas hal positif yang dilakukan coachee. Feedback jenis ini disebut sebagai positif feedback. Feedback kedua berhubungan dengan improvement untuk mengingatkan coachee saat mulai keluar jalur track yang sudah dibuat. Feedback jenis ini disebut improvement feedback.

Apapun feedback yang diberikan, seorang coach perlu mengingat tiga unsur penting dari feedback. Unsur pertama adalah timely, atau tepat waktu. Feedback haruslah diberikan secepat mungkin. Jika coachee komit mengeksekusi action plan hasil coaching ataupun tidak komitmen mengeksekusi, maka feedback secepat mungkin harus diberikan. Jangan sampai tindakan yang dilakukan hari ini, feedback yang diberikan satu atau dua bulan berikutnya. Bisa dibayangkan bisa jadi coachee sudah lupa dengan peristiwa tersebut. Apalagi feedback yang sifatnya improvement feedback, bisa-bisa karena durasi feedback nya terlalu lama, coachee berkali-kali melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan action plan hasil coaching. Atau karena durasinya sudah terlalu lama improvement feedback pun malah menjadi adu argumentasi, “enggak saya tidak melakukan itu” begitu kata coachee nya karena sudah lupa.

Unsur kedua yang harus dimiliki saat memberikan feedback adalah unsur specific, artinya feedback yang diberikan harus menggambarkan secara perilaku spesifik yang diberikan feedback. Tujuannya adalah agar coachee memiliki kejelasan perilaku mana yang diapresiasi (acknowledgement) dan perilaku mana yang perlu ditingkatkan. Saat perilaku yang diberi feedback jelas, maka coachee memiliki kejelasan mana perilaku yang perlu dipertahankan, ditingkatkan ataupun diperbaiki.

Dan unsur ketiga dari feedback adalah balance. Maksudnya adalah feedback yang diberikan haruslah mengandung unsur keseimbangan antara positif feedback dan improvement feedback. Tentunya Anda bisa membayangkan, jika seorang coachee hanya mendapatkan positif feedback atas apa yang dia lakukan. Terlalu banyak memberikan positif feedback menyebabkan standard yang dimiliki coachee menjadi rendah. Sebaliknya, saat improvement feedback mendominasi feedback-feedback yang diberikan maka yang terjadi adalah coachee menjadi frustasi. “Apapun yang saya lakukan kok selalu salah dimata coach saya”, begitu pikiran coachee kita. Jadi pastikan Anda selalu memberikan feedback secara seimbang. Jelilah dalam mengobservasi coachee untuk menemukan perilaku-perilaku mana yang bisa Anda beri positif feedback dan improvement feedback.
Berkah Selalu
N Kuswandi
People & Organization Performance Coach

Wednesday, June 29, 2016

International Coach Federation -3th Competency : C Membuatmu Dipercaya Di Awal – I Membuatmu di RO



Di catatan sebelumnya, saya berbagi tentang rumus mendapatkan trust. Dimana, trust ini menjadi salah satu core competency yang harus dimiliki oleh seorang coach. Mari ingat kembali rumus trust berupa T= C x R x I. Dimana C adalah capable atau competency, R nya adalah reliable atau konsistensi, dan I nya adalah intimacy.

Trust akan memungkinkan coachee mengeluarkan semua unek-unek, dan berada dalam kondisi gelombang otak alfa, sehingga ide-ide segar dapat dimunculkan.

Trust juga akan memungkinkan kita sebagai seorang professional coach, mendapatkan coachee. Kondisi pertama yang akan Anda alami adalah Anda mendapatkan coachee baru yang ingin mencoba mendapatkan coaching dari Anda. Kondisi kedua berupa Anda mendapatkan coachee yang sebelumnya sudah mendapatkan coaching dari Anda, sehingga ini adalah repet order coaching untuk Anda.

Pada kondisi pertama, terlihat bahwa coachee yang sedang menginginkan service Anda sebagai seorang coach memperlihatkan bahwa coachee mempercayai Anda. Jika coachee tadi sebelumnya tidak memiliki faktor kedekatan dengan Anda (faktor intimacy), maka bisa dipastikan coachee tersebut memilih Anda karena melihat profesionalime Anda. Bisa jadi coachee melihat sertifikasi yang Anda miliki, membership di asosiasi professional coaching. Jika kita kembalikan ke rumus trust, artinya coachee mempercayai Anda karena faktor competency yang Anda miliki.

Bagaimana dengan coachee yang Anda dapatkan dari repet order? Ternyata faktor competency menjadi nomer dua setelah faktor intimacy. Analogi gampangnya adalah sebagai berikut, Anda mendatangi seorang dokter yang belum Anda kenal. Alasannya boleh dipastikan karena Anda percaya dengan keahlian yang dimiliki dokter tersebut. Setelah Anda diperiksa dokter tersebut, Anda melihat memang dokter tersebut expert dibidang penyakit Anda. Namun, saat melakukan pemeriksaan, dokter tersebut sama sekali tidak ada chemistry dengan Anda. Sehingga selama diperiksa Anda merasa tidak nyaman. Walaupun Anda percaya dengan keahlian dokter yang memerika Anda.

Jika Anda berada dalam kondisi di atas, apakah trust Anda terhadap dokter tersebut akan naik dibandingkan dengan kunjungan pertama? Atau jika Anda memiliki option dokter lain dengan keahlian yang sama, apakah Anda akan kembali pada dokter yang pertama? Kebanyakan dari kita akan menjawab pertanyaan pertama dengan tentu saja trust nya akan berkurang dan tentu saja kalau ada dokter lain, saya memilih dokter lain.

Begitu juga dengan peran kita sebagai seorang coach, memang competency akan membuat kita kebanjiran coachee yang mencoba service kita, namun intimacy lah yang akan membuat coachee melakukan repet order service kita. Tak heran ada sebuah kata bijak yang berkata “competency akan membawa Anda memasuki pintu perusahaan, dan intimacy yang akan membawa Anda menuju posisi berikutnya”

Tetap bertumbuh competency dan jangan lupakan intimacy

N Kuswandi
People & Organization Performance Coach

Monday, June 20, 2016

International Coach Federation : Coaching Meningkatkan Productivity


Coaching, sebuah pendekatan people development yang mulai dikenal di Indonesia.  Im_Possible, Acara yang dipandu Merry Riana di Metro TV menjadi salah satu jalan dikenalnya coaching di Indonesia. Perhatikan saja, tag name presenter yang membawakan acara tersebut. Team creative Merry Riana tidak menggunakan tag name trainer, motivator, consulting, dan sebagainya, namun team creative Merry Riana menggunakan  tag name “coach”, bagi setiap pengisi acara di  Im_Possible.

Penonton acara tersebut yang belum pernah mendengar istilah coach pun bertanya-tanya, apa itu coach? Dan orang-orang mulai mencari tahu tentang coach dan coaching. Ujung-ujung nya, pengembangan diri yang mereka lakukan pun mulai beralih dari training ke coaching.

Salah satu alasan perpindahan mereka bisa jadi karena sebuah riset yang menunjukan seberapa besar impact coaching dibandingkan dengan metode pengembangan diri lain. Penelitian yang dilakukan oleh Olivero. D, Bane K.D dan Kopelmen, R.E pada tahun 1997 menunjukan hal tersebut. Mereka membandingkan antara training dan coaching. Hasil penelitian mereka menunjukan bahwa development yang dilakukan dengan hanya menggunakan training saja akan berdampak 22,4% terhadap productivity. Sedangkan development yang dibarengi dengan coaching akan meningkatkan productivity sebesar 88%.

Pertanyaannya adalah kenapa training yang dibarengi dengan coaching mampu meningkatkan productivity lebih besar dibanding training saja?

Jawaban nya berhubungan dengan waktu dan memory. People development baik itu training ataupun coaching tentunya bertujuan untuk meningkatkan competency yang ujung-ujungnya adalah meningkatkan productivity. Seseorang dikatakan memiliki competency jika memiliki keahliah (skill), pengetahuan (knowledge) dan dalam keseharian menunjukan keahlian dan pengetahuan tersebut -behavior. Keahlian seseorang dalam melakukan sesuatu dipengaruhi oleh muscle memory (otot-otot nya me-memory keahlian yang dimiliki). Sedangkan pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh brain memory (otak me-memory pengetahuan yang dimiliki).

Dengan melakukan training maka seseorang dilatih untuk memiliki keahlian dan pengetahuan tertentu. Sayangnya training hanya dilakukan dengan durasi yang tidak lama, berkisar antara satu sampai lima hari. Sehingga muscle memory dan brain memory tidak memiliki waktu yang lama untuk dilatih. Akibatnya tentu saja competency yang diharapkan tidak bisa full terpenuhi. Bandingkan dengan training yang kemudian dibarengi coaching pasca training. Secara durasi tentu saja lebih panjang, sehingga kemungkinan untuk menginsert keahlian dan pengetahuan baru lebih memungkinkan orang menjadi lebih kompeten. Atau dalam bahasa lain, proses coaching mewajibkan seorang coach & coachee melakukan managing process & accountability dari action log coaching yang dibuat coachee. Dengan accountability action log tersebut, semakin memungkinkan orang mendapatkan competency yang dibutuhkan. Sehingga tak heran jika training yang dibarengi dengan coaching akan memberikan impact yang lebih besar.

Pada tahun 1989, seorang psychologist  bernama Hermann Ebbinghaus melakukan penelitian tentang berapa lama orang bisa me-memory pengetahuan dan keahlian baru. Hasil penelitian Ebbinghaus tersebut dikenal sebagai Ebbinghaus Forgetting Curve. Ebbinghaus menunjukan di dalam curva tersebut bahwa 60% pengetahuan dan keahlian yang dipelajari akan hilang setelah satu jam. Menariknya lagi, setelah 31 hari setelah orang mempelajari pengetahuan dan keahlian baru, memory yang masih disimpan hanya sebanyak 21%.






Jika forgetting curve tadi diterapkan dalam proses training, maka seperti kita ketahui  pada umumnya setelah orang  mengembangkan diri dengan training tidak ada follow up. Sehingga keahlian dan pengetahuan yang dipelajari di dalam kelas training pelan-pelan akan hilang. Hingga pada hari ketiga puluh satu, memory yang disimpan tinggal 21% saja.

Bagaimana dengan coaching? Seperti sudah dibahas diatas bahwa coaching akan memperpanjang waktu menginsert pengetahuan dan ketrampilan baru, dengan managing progress dan accountability action log yang dibuat coachee. Dengan melakukan ini maka coach akan membantu coachee semakin memory pengetahuan dan keahlian yang dipelajari. Coach akan mengingatkan coachee memory pengetahuan dan keahlian yang dipelajari. Dan seperti kita tahu dengan melakukan repetisi pengetahuan dan keahlian yang dimiliki akan semakin membuat memory tertanam dan tahan lama.


Sumber

Olivero. D, Bane K.D dan Kopelmen, R.E (1997), Combining Coaching & Training Improves Productivity, Public Personal Management, Vol 26, Issue 4, Winter, p. 461


Berkah selalu

N Kuswandi

Saturday, June 4, 2016

International Coach Federation - 3th Competency : Establish Trust & Intimacy





Jika diartikan trust dan believe memiliki arti yang similar, yaitu kepercayaan. Begitu juga dengan kata faith yang juga berarti kepercayaan. Menariknya, dari beberapa kata yang berartikepercayaan”, International Coach Federation tidak menggunakan kata believe ataupun faith, namun menggunakan kata trust dalam competency ketiga sebagai seorang professional coach, yaitu Establish Trust and Intimacy.



Kenapa trust, bukannya believe ataupun faith?



Setelah saya susuri asal kata dari trust – believe – faith akhirnya saya menemukan jawabannya. Kata trust hanya digunakan untuk kepercayaan yang berasal dari adanya bukti. Sedangkan, orang yang mempercayai sesuatu tanpa membutuhkan bukti, kata believe dan faith lah yang digunakan.



Dalam kontek coaching, dimana coachee akan melakukan proses kemitraan hingga tidak jarang informasi bersifat rahasia bisa saja diucapkan oleh coachee, maka coachee membutuhkan orang yang terbukti dapat dipercaya. Dan trust lah yang akhirnya dapat menggambarkan kebutuhan coachee untuk berbagi cerita pada orang yang terbukti dapat dipercaya, bukan hanya kepada orang yang diyakini dapat dipercaya (believe atau faith).



Track record kita lah yang kemudian menjadi bukti, apakah Anda dapat dipercaya atau tidak coachee Anda.



Kenapa dibutuhkan coach yang dipercayai coachee?



Banyak alasan kenapa kita perlu menjadi coach yang dipercayai coachee. Salah satu alasan yang sangat menggugah bagi saya adalah alasan behaviour change. As we know, coaching adalah salah satu tool pengembangan diri dan satu dari empat indikator pengembangan diri menurut Kirkpatrick adalah behaviour change (tiga lainnya adalah happy reaction, knowledge yang lebih baik, dan usaha yang lebih efektif dan efisien). Dan every body know, untuk mengubah perilaku orang sangat lah sulit. Apalagi kalau perilaku tersebut dipengaruhi oleh alam bawah tak sadar.



Selalu menjadi diskusi menarik bagi para ahli psikologis untuk mencari cara mengubah perilaku seseorang. Diskusi tersebut akhirnya menghasilkan beberapa aliran psikologi untuk memodifikasi perilaku seseorang. Secara garis besar, aliran tersebut fokus pada lapisan-lapisan dinamika psikologis seseorang. Aliran pertama fokus pada lapisan dinamika psikologis paling bawah, yaitu un consciousness mind atau alam bawah tak sadar (termasuk didalamnya value – believe, mind set), aliran psikologis yang fokus pada lapisan ini diantaranya adalah psychoanalysis. Ada juga aliran psikologi yang fokus pada lapisan kedua dari bawah, yaitu motif. Aliran psikologi yang fokus pada lapisan ini dikenal dengan nama psikologi humanistis, dimana salah satu tokohnya adalah Abraham Maslow yang terkenal dengan Piramida Kebutuhan Maslow nya.



Aliran berikutnya fokus pada lapisan ketiga dari bawah, yaitu lapisan dinamika psikologis berupa attitude atau sikap. Dan aliran ini dikenal dunia psikologi sebagai aliran psikologi kognitif. Aliran lainnya berfokus pada lapisan dinamika psikologis paling atas, berupa behavior. Aliran psikologi ini dikenal sebagai aliran behavioristik.



Semua aliran psikologi berbicara tentang bagaimana caranya membantu orang untuk memodifikasi perilakunya. Aliran psychoanalysis contohnya berkeyakinan bahwa perilaku seseorang dapat dirubah jika alam bawah tak sadarnya dirubah. Aliran humanistis berkata lain, bahwa perilaku seseorang dapat dirubah jika motif nya dirubah. Sedangkan aliran kognitif berkeyakinan, tanpa merubah alam bawah tak sadar, ataupun motif, perilaku  seseorang masih bisa dirubah selama seseorang mendapatkan informasi yang akan merubah sikap (penilaiannya). Dan aliran behaviour juga memiliki hasil riset nya sendiri, yaitu tidak perlu seseorang dirubah alam bawah tak sadar nya, motif nya, ataupun attitude nya, untuk mengubah behaviour langsung saja berikan reward dan punishment.



Saya yakin, sebagai orang non psikologi, Anda semakin bingung memahami treatment-treatment dan keyakinan yang dimiliki tiap aliran psikologi. Trust me, bahwa seluruh aliran psikologi tersebut baik psychoanalysis, humanistis, kognitif dan behaviour telah berhasil menunjukan pendekatan mereka mampu memodifikasi perilaku orang.



Kemudian apa hubungannya dengan trust?

Hubungannya, ternyata semua keberhasilan pendekatan modifikasi perilaku dalam psikologi tersebut dipengaruhi oleh faktor kunci, yaitu trust.



Mari kita buktikan. Salah satu teknik modifikasi perilaku psychoanalysis adalah hypnotherapy, dan tahukah Anda bahwa hipnoterapi hanya bekerja jika terapisnya adalah orang yang Anda percayai? Pendekatan kognitif salah satunya bernama Rational Emotive Therapy, dan tahukah Anda keberhasilan tharapy ini dipengaruhi oleh percaya atau tidak nya Anda pada therapyst. Pendekatan modifikasi perilaku dari behavioristik bernama modeling, dan tahukah Anda bahwa object modeling hanyalah orang yang Anda percayai.



Hal ini membuktikan bahwa trust sangat penting untuk menentukan apakah Anda menjadi orang yang berpengaruh dalam membantu orang bertumbuh yang ditandai dengan perubahan perilaku yang dilakukan sebelum dan setelah coaching. So be trusted and being trusting



Berkah Selalu
N Kuswandi