Wednesday, December 30, 2015

Memenangkan Negosiasi : Higher Authority


Beberapa bulan yang lalu, punya project untuk renovasi kios. Rencananya akan digunakan untuk kios susu. Walaupun susu nya akan dijual dengan selisih harga 5-15 ribu dari Indomart bukan berarti kios yang didesign menjadi murahan. Biar berasa berkelas, designnya dibuat dengan model cat belang nya sapi dan pintu depan menggunakan kaca partisi.

Berhubung baru dua bulan di Narogong-Bogor, tentu saja saya belum tahu pasaran harga membuat kaca partisi. Sebagai suami yang diberi julukan “Orang Cina yang terjebak dalam tubuh Jawa” oleh Istri, berasa menjadi kewajiban untuk mencari harga partisi paling murah. Apa daya mengejar waktu date line pembuatan kios Susu yang semakin dekat, dan kesibukan menjadi pekerja, akhirnya hanya satu kios Aluminium dan Kaca saja yang bisa saya datangi.

Kaget juga saya mengetahui untuk membuat kaca partisi ukuran 2 M2 harganya mencapai Rp 3,5 juta. Padahal belum ada enam bulan yang lalu, saya membuat partisi di Rembang dengan ukuran 3,5 M x 1,5 M dengan harga Rp 3 Juta. “Jangan-jangan saya dikerjai”, begitu pikir saya.

Bagusnya, ini adalah saat yang tepat untuk mengaplikasikan salah satu technic negosiasi. Technic atau gambit yang muncul seketika adalah higher authority atau mengkaskalate keputusan pada pihak yang lebih tinggi. Tiap lelaki sadar bahwa higher authority di atasnya adalah istri. Sehingga, saat  penjual memberikan harga Rp 3,5 juta, saya langsung berkata “nanti saya diskusikan dengan istri ya, harga nya terlalu mahal buat kami”. Saya pun minta no HP penjual dan meninggalkan no HP saya.

Satu jam berikutnya, saya SMS kepenjual partisi “harganya bisa turun kan, istri saya bandingin dengan toko lain yang kemarin habis pasang partisi di Rembang. Selisihnya terlalu jauh”. Padahal, sebenarnya tidak ada diskusi sama sekali dengan istri saya untuk negosiasi penurunan harg. Penjualnya pun membalas “paling saya bisa turunkan Rp 300.000 ribu”.  

Selama satu jam berikutnya saya tidak membalas SMS penjual. Tiba-tiba penjualnya SMS lagi “untuk perkenalan boleh lah saya turunin Rp 200.000 lagi”. Saya pun membalas “beri saya waktu untuk diskusi dengan istri ya, ni istri ngotot pengen survey ke kios aluminium yang lain”. Sebenarnya juga saya dan istri diam saja dirubah, dengan harga menjadi Rp 3 juta, saya dan istri sudah merasa puas. Namun, karena ingin mempraktekan gambit higher authority jawaban SMS itulah yang saya kasih ke penjual. Sesaat setelah menerima SMS dari saya, penjualnya langsung membalas dengan “Ya sudahlah pak, saya turunin Rp 200.000,- lagi”.  

Keajaiban gambir higher authority pun terjadi. Dari Rp 3,5 juta yang ditawarkan, hasil akhirnya saya dapat harga Rp 2,8 juta. Lumayan bisa turun sampai Rp 700.000,-. Dua higher authority yang saya gunakan dinegosiasi di atas adalah istri dan kios sebelah.

Sebagai negosiator Anda memang harus selalu memiliki higher authority. Beberapa kali, saat bekerja di area Comrel dan harus bernegosiasi dengan para “preman” yang menyamar menjadi third party, gambit higher authority ini menyelamatkan saya.  Karena dengan menggunakan gambit ini, saya bisa menekan orang tanpa menimbulkan konfrontasi. Saya yakin para negosiator ulung disini juga pernah menggunakan gambit higher authority. “Ini sudah keputusan management, tugas saya hanya mensosialisasikan saja. Kalau bapak tidak terima atau marah, janganlah kepada saya”. Sehingga manfaatnya, hubungan baik antara Anda dan mitra negosiasi masih bisa tetap terjaga.

Manfaat lain dari melakukan higher authority adalah dengan berpura-pura tidak memiliki wewenang mengambil keputusan karena wewenang dipegang oleh autoritas yang lebih tinggi, mitra negosiasi Anda tidak punya kesempatan untuk menekan Anda segera mengambil keputusan. Keuntungan waktu ini sangat bermanfaat bagi negosiator, saat mitra negosiasi berfokus untuk segera meng-goal-kan negosiasi, Anda memiliki waktu untuk memikirkan strategi lain.

Manfaat ketiga dari higher authority adalah Anda bisa menjual nama autoritas yang lebih tinggi dari Anda, dimana mitra negosiasi merasa power yang dimiliki higher authority juga lebih tinggi, sehingga kemungkinan didengar lebih besar. Logikanya saja, keputusan yang diberikan manager berasa harus dijalankan dibandingakn dengan keputusan yang dibuat oleh rekan sekerja.

Satu hal yang prlu diperhatikan dari gambit higher authority adalah Anda perlu memastikan bahwa higher authority yang Anda sebutkan adalah entitas atau badan yang tidak jelas seperti komite penentu harga, management, komite pemasaran, dll. Tujuannya untuk menghindari prasangka dari mitra negosiasi seperti “kalau bukan Anda yang memutuskan, kenapa saya harus presentasi pada Anda”. Tujuan lainnya adalah menghindari konfrontrasi langsung dengan higher authority. Contohnya jika higher authority Anda jelas, sepert manager A, bisa jadi saat ada orang yang tidak puas dengan hasil negosiasi kemudian mencari manager A, karena jelas orang nya. Kalau entitasnya tidak jelas, seperti management, maka orang yang tidak puas tadi akan bingung, management siapa yang harus saya cari.

Berkah selalu

N Kuswandi

Tuesday, December 1, 2015

Memenangkan Negosiasi : Memanfaatkan Alam Bawah Sadar-4


Masih ingat, bahwa perilaku-perilaku kita dipengaruhi oleh pikiran bawah sadar. Dicatatan-catatan sebelumnya tentang memenangkan negosiasi dengan memanfaatkan alam bawah tak sadar. Di catatan kali ini, Anda juga akan mempelajari satu trik lagi dalam memanfaatkan alam bawah sadar.

Ada banyak metode untuk membuka pintu menuju alam bawah tak sadar, salah satu nya adalah dengan gerakan. Mari kita mulai pembahasan ini dengan hasil riset yang dilakukan oleh Paul Ekman dan Wallace Freisen serta dibantu oleh Robert Levenson. Penelitiannya dimulai dengan mengumpulkan sejumlah relawan dan kemudian dibagi dalam 2 kelompok.

Kelompok pertama diminta untuk memperagakan ekspresi wajah dengan emosi-emosi menyusahkan semacam sedih, marah, dan takut. Sedangkan kelompok kedua diminta untuk mengingat dan meresapi kembali kejadian buruk dan pengalaman pahit yang pernah mereka alami. Selama kedua kelompok tersebut melakukan instruksi peneliti, mereka dihubungkan dengan sensor temperatur tubuh dan pengukur laju denyut jantung. Hasilnya cukup mengejutkan, kedua kelompok mengalami kenaikan laju denyut jantung dan temperatur yang sama persis. Gejala fisiologis yang mereka alami tidak berbeda.

Kelompok pertama yang hanya sekedar memperagakan ekpresi wajah sedih ternyata tanda-tanda fisiologisnya menunjukan hal yang sama seperti orang yang mengenang pengalaman pahit. Bedanya kelompok pertama memulainya dari ekpresi wajah menjalar ke tanda fisiologis, sedangkan kelompok kedua memulainya dari hati kemudian efeknya menjalar ke ekspresi wajah.

Agar semakin meyakinkan hasil riset tersebut, berselang beberapa lama, beberapa Psikolog Jerman mencoba riset yang senada. Dan hasilnya juga tidak jauh berbeda. Kedua penelitian tersebut berkesimpulan sama. Proses yang selama ini diyakini bahwa ekspresi wajah merupakan output dari kondisi hati ternyata berlaku juga sebaliknya. Ternyata kondisi hati senang atau sedih itu bisa diciptakan melaui ekspresi wajah.

Penelitian ini bisa diterapkan dalam negosiasi, untuk menciptakan hasil kondisi fisiologis tertentu, negosiator bisa menstimulus mitra negosiasi melakukan gerakan tertentu. Stimulus yang bisa dilakukan untuk menciptakan kondisi fisiologis yang memungkinkan mitra negosiasi membuka alam bawah tak sadar adalah dengan gerakan tangan. Caranya sederhana, saat bernegosiasi pastikan tangan Anda hidup atau bergerak. Bukan layaknya gerakan Tukul Arwana, namun dengan gerakan tangan ke bawah kemudian ke atas.

Praktekan saja sendiri ke diri Anda, saat Anda menurunkan tangan Anda, fisiologis apa yang Anda rasa tiba-tiba berbeda? Santai, santai dan santai bukan. Saat kondisi santai inilah otak manusia berada dalam gelombang otak Alpha. Gelombang ini berada pada frekuensi 8 – 12 Hz, sehingga memungkinkan orang berada dalam kondisi tenang. Dengan kondisi seperti ini, mitra negosiasi Anda akan lebih logis mengambil keputusan.

Sebaliknya, saat gerakan tangan dimulai dari bawah ke atas, kondisi fisiologis apa yang Anda rasakan? Tegang bukan. Kondisi seperti ini berarti otak manusia berada dalam gelombang otak Beta. Frekuensi nya berapa pada 12-25 Hz, sehingga membuat mitra negosiasi Anda berkonsentrasi penuh menghadapi Anda. Tentu saja kondisi ini tidak ideal saat melakukan negosiasi.

 

Berkah selalu

N Kuswandi

Saturday, July 25, 2015

Memenangkan Negosiasi : Memanfaatkan Alam Bawah Sadar - 3


“OK sangat menarik memanfaatkan alam bawah sadar untuk memenangkan negosiasi, ada lagi gak selain “anggukan”. Pake teori dulu ya biar masuk akal, jika berdiskusi tentang alam bawah tak sadar, ada satu kata yang akan Anda kenal, yaitu Anchor. Secara bahasa anchor berarti jangkar, pemberat untuk memastikan kapal tidak terbawa arus air saat berlabuh. Dalam konteks unconsciousness (alam bawah sadar), anchor adalah hubungan antara stimulus dengan respon emosional tertentu, baik stimulusnya disengaja ataupun tidak.
 
Anchor dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya ada orang yang saat gugup menyentuh tangan nya untuk meredakan kegugupannya. Ada juga orang yang membuat anchor dengan benda, orang Indonesia mengenalnya sebagai jimat. “Saat saya menyentuh gelang yang saya pake, tiba-tiba timbul kepercayaan diri”, walaupun sebenarnya di gelang tersebut gak ada apa-apa, hanya sugesti diri nya saja.

Anchor ini bisa terjadi secara sengaja atau tidak sengaja. Ada yang sengaja membuat, seperti jimat tadi. Dan ada yang tidak sengaja dibuat seperti mengusap tangan saat gugup tersebut. Anchor yang baik setidaknya mengandung lima unsur yang disingkat dengan P.U.R.I.T. Huruf P singkatan dari Pure (murni) artinya anchor yang efektif hanya boleh menyimpan satu emosi atau satu respond saja, seperti respond bahagia saja, atau percaya diri saja. Contoh saat menyentuk jempol akan berapa bahagia. Huruf U nya singkatan dari unique (unik) artinya anchor yang digunakan memiliki nilai unik bagi individu.  R nya singkatan dari Repetitive (pengulangan), salah satu menembus alam bawah sadar adalah dengan repetisi, sehingga dengan merepetisi anchor akan menyebabkan informasi masuk ke dalam bawah sadar. I nya singkatan dari Intensive, mirip-mirip dengan repetisi, intensive berarti ada program berulang berkelanjutan. Dan T nya adalah Timing (ketepatan waktu), saat mendapat emosi atau respond yang ingin di anchor tanpa menunggu lama-lama langsung disimpan dengan menjadi anchor.

Dalam kontek negosiasi, anchor yang dapat diamati adalah anggukan yang kemarin sudah kita bahas di artikel sebelumnya. Dan anchor lain yang bisa digunakan adalah salaman. Saat Anda deal negosiasi apa yang Anda akan lakukan? Benar sekali, hampir disemua budaya, orang aakan berjabat tangan sesaat setelah negosiasi deal.

Anchor ini bisa dimanfaatkan saat bernegosiasi. Teknisnya begini, tentu saja saat bernegosiasi jual beli contohnya, penjual dan pembeli memiliki espektasi harganya masing-masing. Espektasi penjual bisa jadi di harga 15 juta, dan sebagai pembeli espektasi Anda bisa jadi di harga 10 juta. Saat membeli barang, tentunya Anda sudah memiliki batas maksimal harga, anggap saja batas maksimal harga Anda di angka 12 juta.

 Tawar menawar terjadi, penjual menurunkan harga ke 14 juta, Anda meningkatkan tawaran ke 11 juta. Negosiasi masih terus terjadi, pembeli menawarkan harga 13 juta, ingat batasan Anda 12 juta. Namun tiba-tiba Anda jabat tangannya sambil berkata “Ok deal, 12 juta”. Penjual biasanya akan protes dan sambil tertawa, “13 juta bro”, jangan lepaskan tangannya dan ulangi kata-katanya “Ok 12 juta, saya bayar cash ya”

“Apakah jurus ini akan selalu berhasil?” Belum tentu, senjata yang tepat dibutuhkan untuk memenangkan peperangan tertentu. Ada kalanya teknik ini akan berhasil pada orang tertentu, jadi memang perlu berguru seribu satu macam jurus sakti negosiasi. Selamat mencoba.

 
Berkah selalu
N Kuswandi

Monday, July 20, 2015

Memenangkan Negosiasi : Memanfaatkan Alam Bawah Tak Sadar - 2


Kalau di tulisan sebelumnya, saya sudah share bagaimana teori memanfaatkan alam bawah tak sadar, maka kita sekarang akan diskusi prakteknya. Salah satu penelitian yang membuat saya tertarik tentang penggunaan alam bawah tak sadar dilakukan oleh Jason Silva, seorang ilmuan sekaligus pemandu acara Brain Game. Penelitiannya sederhana,”bagaimana bernegosiasi dengan orang untuk mau mengungkapkan berapa pendapatannya dalam satu tahun?” Seperti common sense yang kita tahu, orang-orang barat sangat tabu berbicara tentang keluarga, pekerjaan dan pendapatan pada orang yang tidak akrab dengan mereka. Sehingga penelitian ini cukup challenging, dan sebuah pencapaian jika Jason Silva mampu membuat object penelitiannya mau menceritakan berapa banyak pendapatannya dalam satu tahun.

Dibuatlah kemudian dua kelompok. Di kelompok pertama, dengan mendekati orang per orang, Jason bertanya kepada satu per satu orang, “kalau boleh tahu, berapa pendapatanmu dalam satu tahun?” Seperti yang sudah diduga, Jason mendapatkan penolakan, negosiasi yang dilakukannya gagal.

Bagaimana dengan kelompok kedua, di kelompok ke dua, Jason tidak memodifikasi pertanyaan maupun intonasi suaranya. Jason hanya memodifikasi gerakan kepalanya. Jika di kelompok pertama, kepala Jason diam saja, di kelompok kedua, saat berbicara Jason juga menggerakan kepalanya dengan mengangguk-angguk, seperti tanda setuju. Keajaiban terjadi saat Jason melakukan hal tersebut, semua peserta di kelompok kedua mau memberi tahukan jumlah pengghasilan dalam satu tahun.

Bagaimana mungkin keajaiban bisa terjadi? Jawabnya karena Jason Silva memanfaatkan alam bawah tak sadar orang yang diajak bernegosiasi. Albert Mahrebian seorang pakar komunikasi memang pernah meneliti bahwa isi pesan hanya berdampak 7% saja dalam kesuksesan berkomunikasi, 38% sisanya berasal dari intonasi dan 55% kesuksesan komunikasi dipengaruhi oleh gesture. Jason Silva memanfaatkan pengetahuan ini, semua orang setuju bahwa anggukan adalah bentuk persetujuan. Dan memori itu tersimpan dalam alam bawah tak sadar, tidak perlu mengingat bahwa orang mengangguk tanda setuju. Secara otomatis otak manusia membaca anggukan adalah tanda persetujuan.

Saat Jason Silva menggangguk, maka akan memancing  memori alam bawah tak sadar, bahwa anggukan adalah persetujuan. Jika dianalisa lebih jauh lagi, Jason Silva sebenarnya juga menggunakan hukum Reciprocation (timbal-balik). Dengan memberi anggukan maka Jason Silva mengharapkan hukum reciprocation terjadi dengan balasan anggukan dari orang yang diajaknya bernegosiasi.

Beberapa orang secara sadar ataupun tak sadar sebenarnya juga menggunakan pendekatan yang hampir sama dengan yang dilakukan Jason Silva. Pernah kah Anda menemukan orang yang saat Anda ajak bernegosiasi dia membenarkan, walaupun dengan kata dan intonasi kecil “heem” atau “iya”. Saat Anda berbicara mitra negosiasi Anda mengambil jeda kalimat Anda dengan “heem”, “iya”, dan kata-kata lain yang sejenis. Beware, secara tak langsung sebenarnya mitra negosiasi Anda sedang mempengaruhi Anda. Masih ingat catatan saya sebelumnya “Memenangkan Negosiasi”, untuk berkata benar. Dia sedang memanggil alam bawah tak sadar Anda untuk ikut berkata “benar” pada sudut pandangnya.

  

Berkah selalu
N Kuswandi

Wednesday, July 15, 2015

Intrinsic Rewards Culture : Believe - Ritual - Power & Control - Symbole


Kelly Service pada tahun 2013 membuat sebuah survey survey tentang Employee Retention and Enggagement. Hasilnya orang mereferensikan peluang kerja pada temannya dipengaruhi oleh faktor company culture (26%), personal opportunity to growth (21%), interesting or work challenge (17%), dan work life balance (14%), remuneration (10%). Faktor pertama sampai dengan keempat adalah bentuk intrinsic rewards dan faktor kelima adalah bentuk extrinsic rewards.
 
Menariknya perusahaan lebih tertarik untuk meretain employee dengan cara 10% saja, atau dengan terfokus pada extrisic rewards. Padahal 90% sisanya berbicara tentang intrinsic rewards. Memang intrinsic rewards sendiri adalah bahasan yang cukup menarik, karena kadang kala bintrinsic rewards terasa bedanya saat intrinsic rewards menjadi policy dan menjadi culture.
Pendirian training center contohnya, policy nya pada awal berdirinya training center bisa jadi orang-orang yang diberi kesempatan untuk dididik di training center tersebut merasa mendapat apresiasi atas kinerjanya. Namun setelah training center tersebut sudah berdiri lama, 7 tahun contohnya. Karyawan yang mendapat apresiasi training di training center tidak terasa lagi sebagai sebuah apresiasi, bagi orang tersebut apresiasi adalah saat mendapat training external di luar training center.
Sebaliknya, saat training tersebut "pura-pura" nya sebagai surprice atas achievement yang dilakukan, rasanya akan berbeda. Coba saja rasakan sendiri, "apa perasaan Anda jika mengetahui achievement saya yang bagus akan mendapat bonus yang sudah ditatapkan, dibandingkan dengan tiba-tiba saja ada yang memberi hadiah?" Bagaimana kita membuat surprice-surprice tersebut lah yang sebaiknya dibuat budaya oleh perusahaan.

Bagaimana caranya untuk membudayakan intrinsic rewards tersebut? Salah satu pendekatan yang sering dipakai berasal dari pendekatan psikologis. Agas budaya terjadi setidaknya ada empat unsur yang perlu dibuat, yaitu believe, ritual, symbole, power & control.
 

Pendekatan tersebut didasari dari dinamika psikologis manusia yang terdiri dari value (dikenal juga sebagai mind set atau believe system), motif, attitude, dan behavior. Dinamika psikologis ini secara sederhana dapat digambarkan dengan sebuah contoh sederhana. Setiap orang memiliki hal yang dipercaya atau lingkaran value, contohnya ada orang yang begitu percaya mencuri itu berdosa, tidak baik dan merugikan orang lain. Suatu ketika anak nya sakit dan tidak memiliki uang. Peristiwa ini mendari dorongan atau lingkaran motif baginya. Pikirannya kemudian menimbang-nimbang (lingkaran attitude), “apa yang akan saya lakukan untuk mengobati anak saya? Apakah saya mencuri atau saya berhutang atau kerja serabutan?” Sebuah penelitian menunjukan probalitas peristiwa tersebut 85% orang tersebut akhirnya tidak mencuri (lingkaran behavior), dan 15% akhirnya bertindak (lingkaran behavior) mencuri.
Penanaman budaya memberikan intrinsic rewards pada dasarnya menyasar lingkaran value, sehingga diharapkan walaupun ada dorongan (lingkaran motif) yang tidak sesuai dengan value, lingkaran attitude nya akan berfikir untuk mengarahkan ke value yang dimiliki dan berperilaku sesuai dengan value yang dimiliki. Sederhananya jika orang sudah tertanam bahwa memberikan intrinsic rewards adalah hal penting, bahkan saat ada dorongan agar tidak memberikan intrinsic rewards yang terjadi tetap saja orang memberikan intrinsic rewatds. Menanamkan budaya tadi dapat dilakukan dari lingkaran paling luar atau behavior dan atau lingkaran paling dalam atau lingkaran value.
Salah satu cara untuk menanamkan budaya dari lingkaran dalam (lingkaran value) adalah dengan menanamkan believe dan menggunakan symbole. Sedangkan menanamkan budaya dari lingkaran luar atau lingkaran behavior adalah dengan ritual, power & control.
Believe adalah membuat orang percaya bahwa yang dilakukan penting dan bermanfaat bagi dirinya. Secara umum orang bergerak saat memahami manfaat yang dilakukan. Sehingga di tahap awal membangun culture intrinsic rewards, perusahaan perlu menanamkan alasan kenapa memberikan intrinsic rewards itu penting. Caranya bisa berbagai macam, contohnya dengan melakukan kampanye melalui spanduk, selebaran, menunjuk change agent, melakukan training, one on one coaching, dan cara-cara lain.
Keberhasilan penanaman believe ini akan ditandai dengan sebuah kalimat “Saya percaya memberi intrinsic rewards akan sangat bermanfaat, namun bagaimana caranya?” Disinilah peran unsur kedua pembentukan budaya - ritual akan terlihat. Ritual adalah menetapkan aktifitas keseharian yang perlu dilakukan. Ada pepatah Jawa “witing tresno jalaran soko kulino – orang jatuh cinta karena terbiasa”, artinya dengan terbiasa melakukan ritual tertentu maka yang pada awalnya tidak suka menjadi suka, dan bahkan jika tidak dilakukan akan terasa ada yang kurang.
Agar employee terbiasa memberikan intrinsic rewards, perusahaan perlu menetapkan ritual atau kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada terciptanya culture intrinsic rewards. Contohnya ritual yang bisa dibuat seperti sebelum atau sesudah meeting ada intrinsic rewards talk. Teknisnya, minta salah satu peserta untuk menceritakan satu hal baik yang dilakukan oleh sub ordinate atau peer nya dan apa yang dilakukan untuk mengapresiasi hal baik tersebut.
Ritual lain yang bisa dibuat yaitu dengan membuat appreciation awards days. Teknisnya setiap department memilih satu orang yang dianggap paling ringan terlibat membangun culture intrinsic rewards. Kemudian perwakilan dari tiap department tersebut dikompetisikan untuk memilih satu orang paling berkontribusi dalam membangun intrinsic rewards.
Pada awalnya, orang yang tidak terbiasa memberikan intrinsic rewards kemudian tiba-tiba diminta untuk memberikan intrinsic rewards pastinya akan ada kecanggungan. Dan bisa jadi para karyawan tersebut tidak melakukan ritual yang ditetapkan. Untuk memastikan ritual ini berjalan, power & control berperan penting. Pada tahap awal membangun culture, memang butuh seorang polisi yang bertugas memastikan ritual-ritual berjalan dengan baik. Jika digambarkan dalam sebuah fase perkembangan, fase awal ini disebut fase dependent, fase berikutnya adalah independent dan fase terakhir adalah interdependent. Ciri-ciri perkembangan internalisasi culture intrinsic rewards tersebut akan terlihat seperti gambar berikut.
 

Tentunya polisi yang mengawal policy tentang membangun culture intrinsic rewards tersebut tidak bisa hadir setiap waktu. Padahal karyawan perlu didampingi agar terbiasa dan terinternalisasi, disinilah peran symbole menjadi penting. Misalnya saja ada orang yang menggunakan peci sebagai symbole agama Islam, ada pengaruh tidak langsung saat kita menggenakan peci terasa ada yang ngawasi sehingga lebih berhati-hati.
Begitu juga dengan symbole yang dipakai sebagai representasi ritual, believe ataupun policy. Secara tidak sadar, alam bawah sadar bekerja mempengaruhi orang yang melihat symbole tersebut untuk mengikuti symbole tersebut. Jika perusahaan Anda memiliki kedekatan dengan budaya local, Anda bisa menggunakan tokoh-tokoh budaya local sebagai symbole. Contohnya saja tokoh Petruk yang mendapat julukan Petruk Kantong Bolong. Julukan tersebut didapatkan Petruk dari sifat nya yang suka berderma.
Perusahaan kemudian bisa memasang animasi Petruk tersebut di tempat-tempat yang mudah dilihat karyawan. Tentu saja agar pesannya tersampaikan, perusahaan bisa membuat ritual dengan blas cerita si Petruk yang suka berderma dan karyawan diminta untuk meniru tokoh si Petruk dengan berderma intrinsic rewards.
Berkah Selalu
N Kuswandi

Friday, July 10, 2015

Talent Development System


Apa sistem yang cocok untuk mengembangkan para talent perusahaan saya? Begitulah mungkin pertanyaan para leader di perusahaan yang didirikan oleh penemu hebat dunia, Thomas Alfa Edison. Perusahaan yang berumur lebih dari 100 tahun, dan masih berdiri, bahkan masuk dalam 500 Fortune Company. Perusahaan multinasional tersebut bernama General Electric (GE).

Para leader GE pun kemudian menyusun sebuah sistem yang memungkinkan para talent nya berkembang dan terus berkembang. Sistem itu kemudian didokumentasikan Ram Charan, Stepen Drotter,  dan James Noel dalam buku yang berjudul The Leadership Pipeline. Model pengembangan ini tentunya bisa menjadi benchmark yang baik untuk membuat sistem development untuk talent diperusahaan lain.

 


Gambar diatas menunjukan Pipeline Leadership yang dikembangkan oleh GE. Bentuknya yang seperti pipa yang saling berhubungan atau bersambungan menjadikan sistem development GE akhirnya sebagai Pipeline Leadership. Dimulai dari pipa Managing Self to managing other, dilanjutkan dengan pipa Managing other to managing manager, Managing manager to managing function manager, Function manager to business manager, Business manager to group manager, dan diakhiri Group manager to enterprise manager.

Dengan menggunakan pendekatan Leadership Pipeline, hal penting yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah membuat matrix competency dan program development sesuai dengan matrix development, dari masing-masing pipa. Detail competency ditiap jenjang dapat And abaca di buku The Leadership Pipeline.

Jenjang
Competency
Development Program
Managing Self
Communication
Education : In Class Training, Case Study of Cummunication
Exposure : Coaching to Leader That Expert in Communication
Experience : On The Job Training Leading a Team

 

Perhatikan table di atas sebagai contoh. Fokus development talent yang awalnya berasal dari level managing self dan diproyeksi untuk kedepannya mengisi posisi untuk managing other adalah effective communication to the team. Selain komunikasi, mereka juga harus mampu membuat rencana jangka pendek, sedang dan jangka panjang. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah managing conflict yang akan terjadi.

Tujuan utama dari development level ini adalah menjadikan para talent tersebut tidak hanya seorang bos tapi seorang leader. Sama-sama seorang pemimpin namun mempunyai perilaku berbeda. Seorang bos memandang keberhasilan team karena dirinya, dan kegagalan team karena salah team. Sedangkan seorang leader berperilaku sebaliknya, "Tidak ada bawahan yang jelek, yang ada adalah atasan yang buruk". Artinya, saat team berhasil, leader melihat keberhasilan sebagai kontribusi team. Dan saat team gagal, leader berkaca pada dirinya sendiri.

Competency tersebut diterjemahkan kedalam matrix development yang berisi development program apa yang sesuai dengan competency yang hendak ditembak. Sebagai contoh di table atas, competency yang akan ditembak adalah communication, di matrix development terlihat ada tiga model development, mulai dari education, exposure dan experience. Program development berupa experience dengan on the job training untuk melead sebuah team.

On the job training dipilih untuk membiasakan talent terlibat menjadi leader team. Tentu saja, saat belajar menjadi seorang leader, trainee masih didampingi oleh seorang coach, sehingga dibutuhkan juga program development dengan exposure melalui coaching dengan orang yang expert berkomunikasi memimpin team. Dengan melakukan coaching ini, coach akan langsung bisa memberikan feedback atau masukan ketika talent membuat kesalaan komunikasi ataupun melakukan komunikasi dengan bagus.

Selain experience, dan exposure, program development lain yang bisa dipakai adalah education. Caranya adalah dengan memberikan inclass training dengan materi Communication. Metode inclas training nya nya bisa case study dengan mengumpullkan para talent tiap dua minggu sekali untuk sharing, saling memotivasi dan berdiskusi kasus-kasus komunikasi dan conflict yang disebabkan oleh komunikasi yang dialami selama dua minggu terakhir.

Saat matrix competency ini sudah dimiliki perusahaan, akan sangat memudahkan perusahaan untuk menentukan model development yang akan dilakukan. Dengan melihat hasil scorching dan identification, tentunya perusahaan akan mendapatkan profil talent, untuk diposisikan dengan tepat. Bisa posisi ke atas ataupun ke samping. Dengan memiliki matrix competency, perusahaan langsung bisa melihat dan menentukan program development yang cocok bagi talent nya.
 
Berkah Selalu
N Kuswandi

Sunday, July 5, 2015

Pay For Person




Dan pay terakhir adalah pay for person. Jenis remunerasi dengan berfokus pay for person menitikberatkan pada membayar orang karena karakteristik unik seseorang. Artinya, meski memegang jabatan dan posisi yang sama – katakanlah sama-sama sebagai asisten manajer – namun dua orang ini memiliki gaji yang berbeda. Level kompetensi yang dimiliki lah yang menjadi pembeda gaji ke dua orang tersebut. Seorang karyawan yang dinilai lebih kompeten idealnya memiliki level gaji yang lebih tinggi dibanding mereka yang kompetensi nya lebih rendah.

Sama seperti pay for position ataupun pay for performance, tujuan utama nya adalah memberikan motivasi kepada karyawan. Bayangkan saja seandainya ada dua orang karyawan yang sama-sama menempati posisi yang sama. Karyawan pertama sangat ahli dan memiliki skill maupun knowledge yang lebih bagus dari pada karyawan ke dua, namun kedua karyawan tersebut dibayar sama. Akibatnya karyawan pertama tadi walaupun tahu dan bisa bisa jadi terdemotivasi dan tidak melakukan yang dia bisa dan tahu.

Pada prakteknya, penerapan pay for person ini sulit dilakukan, karena pola semacam diatas mensyaratkan perusahaan untuk memiliki profil kompetensi yang jelas untuk setiap posisi. Dan yang tak kalah penting, perusahaan juga memiliki mekanisme yang sistematis dan obyektif untuk melakukan penilaian kompetensi secara reguler. Dua hal ini cukup kompleks untuk diterapkan, terutama dalam hal harus melakukan penilaian kompetensi karyawan secara lengkap dan reguler. Sehingga tidak banyak perusahaan yang bisa menerapkan konsep pay for person (competency-based pay) secara optimal.

Best practice yang sering kali dilakukan oleh perusahaan untuk mensiasati kedua kendala tersebut adalah dengan mengkompensasi pay for person atau competency based pay dengan masa kerja. Semakin lama masa kerjanya maka akan semakin orang dibayar mahal. Hal ini dikarenakan perusahaan sering kali megasumsikan, semakin lama seseorang bekerja maka semakin ahli atau semakin kompeten orang tersebut di dalam pekerjaannya. Tentu saja asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar, karena bisa jadi karyawan yang baru bekerja satu tahun memiliki skill dan knowledge sebanding dengan orang yang memiliki pengalaman sepuluh tahun bahkan lebih.

Best practice lain yang juga sering dilakukan oleh perusahaan adalah dengan mengkompensasi pay for person atau competency based pay dengan jenjang pendidikan. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dimiliki karyawan dibayar lebih mahal oleh perusahaan. Asumsi yang muncul adalah semakin tinggi jenjang pendidikannya, maka akan semakin tinggi pula skill dan knowledge yang dimiliki. Tentu saja asumsi ini tidak sepenuhnya benar, karena ada orang-orang yang bisa jadi hanya lulus dari SMA, namun memiliki skill dan knowledge melebihi lulusan S1 ataupun S2.

Berkah Selalu
N Kuswandi

Tuesday, June 30, 2015

Pay For Performance



Pay kedua adalah pay for performance, artinya seorang karyawan akan dibayar berdasarkan performance yang dihasilkan. Semakin besar performance yang dihasilkan, semakin besar pula remuneration yang diterima. Tentu saja performance appraisal menjadi fokus utama dari tipe remuneration pay for performance. Bahasan tentang performance appraisal dapat Anda baca lagi di artikel sebelumnya “Performance Appraisal Redifine”.

Tujuan utama dari pay for performance adalah memberikan motivasi bagi karyawan. Bagi yang performance nya bagus dipeberikan penghargaan dengan paket remunerasi yang baik. Sebaliknya bagi karyawan yang performance nya jelek dihukum dengan paket remunerasi yang jelek juga. Bayangkan saja seandainya ada karyawan yang memiliki performance berbeda namun dibayar sama, akibatnya bisa jadi karyawan yang performance nya bagus akan terdemotivasi dan menurunkan performance nya. Disinilah peran pay for performance muncul.

Jika pay for position cenderung pada kompenen remuneration compentation atau gaji dan cenderung fix, maka pay for performance bisa digunakan untuk mendesign benefit yang cenderung flexible mengikuti pencapaian performance. Benefit yang dimaksud adalah bonus performance. Beberapa perusahaan menerapkan pemberian bonus performance tersebut dilakukan secara berkala tahunan. Di beberapa perusahaan lain menerapkan pemberian bonus performance dalam jangka bulanan, triwulanan ataupun quarter. Penetapan jangka pemberian bonus ini tentunya dipengaruhi oleh kondisi dan strategi perusahaan.

Selain diterapkan dalam pemberian bonus, praktek pay for performance juga bisa diterapkan untuk kenaikan gaji. Perusahaan biasanya sudah memiliki standar kenaikan gaji dengan performance yang dihasilkan. Karyawan yang memiliki performance 100% sesuai target tentunya memiliki kenaikan gaji yang berbeda dengan karyawan yang memiliki performance diatas 100% atau malah dibawah 100%. Penetapan besaran pemberian kenaikan gaji ini tentunya dipengaruhi oleh kondisi dan strategi perusahaan.

Thursday, June 25, 2015

Pay For Position



Dengan menggunakan konsep pay for position artinya seorang karyawan dibayar berdasarkan posisi atau jabatan. Dengan ada nya pay for position berarti akan ada perbedaan remuneration di tiap level jabatan. Penentuan pay for positition untuk level jabatan dari bawah ke atas, mulai dari  front liner yang bekerja di garis depan, team leader para front liner, supervisor, ataupun manager tentunya terlihat perbedaan nya dengan jelas. Challenge menerapkan pay for position adalah menentukan compentation dan benefit yang diterima untuk level yang sama, contohnya sama-sama supervisor, satunya supervisor produksi dan satu nya supervisor marketing, mana yang perlu dibayar lebih bahal oleh perusahaan? Atau sama-sama seorang manager, satu nya manager HRD dan satu nya manager keuangan, mana yang harus dibayar lebih tinggi?

Job grading adalah jawaban atas pertanyaan tadi. Perusahaan perlu memberikan penilaian bobot pekerjaan pada semua posisi. Semekin tinggi nilai bobot posisi maka semakin besar juga compensation dan benefit yang diterima. Ada tiga parameter yang digunakan untuk melihat bobot posisi, pertama Know How atau competency yang dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan. Semakin komplek competency yang dibutuhkan semakin tinggi nilai know how yang diberikan. Perusahaan bisa menggunakan skala 1-5 untuk menentukan kompleksitas competency yang dibutuhkan. Nilai satu menggambarkan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh semua orang dan tidak dibutuhkan kompleksitas competency, contoh nya seperti office boy. Semakin ke atas nilai nya menggambarkan pekerjaan tersebut hanya bisa dilakukan sedikit orang saja sehingga membutuhkan kompleksitas competency yang tinggi.

Parameter kedua untuk menetapkan job grading adalah Problem Solving. Semakin tinggi tantangan pemikiran yang dibutuhkan untuk mengevaluasi, menciptakan, menjelaskan dan mengambil soluasi suatu masalah akan semakin tinggi bobot nilai pekerjaan tersebut. Sebaliknya, semakin rendah tantangan untuk mengevaluasi, menciptakan, menjelaskan dan mengambil soluasi suatu masalah maka akan semakin rendah juga bobot nilai pekerjaan tersebut. Contohnya adalah membandingkan antara supervisor keuangan dengan supervisor maintenance. Tentunya seorang supervisor maintenance yang memiliki kompleksitas tantangan lebih besar dalam pekerjaannya memiliki bobot nilai pekerjaan yang lebih tinggi dari supervisor keuangan.

Accountability menjadi parameter ketiga dalam menetapkan job grading pekerjaan. Accountability adalah hasil dan konsekuensi dari suatu tindakan atau keputusan yang telah dibuat. Mudah nya perusahaan perlu mengukur seberapa besar kebebasan posisi tersebut untuk bertindak, apa dampak jabatan terhadap hasil kerja, dan dampak pekerjaan terhadap hasil kerja. Semakin besar accountability nya akan semakin besar juga nilai bobot pekerjaan. Contohnya adalah membandingkan bobot pekerjaan team leader general affair dengan team leader accounting. Perusahaan bisa melihat membandingkan asset yang dikelola oleh kedua team leader tadi, semakin besar asset yang dikelola semakin besar pula bobot nya. Perusahaan juga perlu melihat jika kedua team leader tadi melakukan kesalahan, mana yang berdampak lebih besar bagi perusahaan. Semakin besar dampaknya semakin besar pula nilai bobot pekerjaan.

Setelah mendapatkan hasil job grading perusahaan juga perlu melihat remunerasi yang diberikan oleh perusahaan sejenis. Fungsinya adalah antisipasi jangan sampai talent yang melakukan pekerjaan yang sama menerima remunerasi yang tidak kompetitip dibandingkan dengan perusahaan sejenis. Fungsi kedua adalah untuk menarik talent dari perusahaan lain. Semakin kompetitif remunerasi yang dibuat akan memungkinkan meretain talent perusahaan dan menarik talent dari perusahaan lain.

Perusahaan konsultasi seperti Kelly Service, Hay, ataupun Mercer memiliki data salary survey yang bisa digunakan oleh perusahaan untuk membandingkan compentation yang diberikan. Data salary survey tersebut berisi, patokan gaji paling rendah dan paling tinggi yang diberikan perusahaan untuk posisi tertentu. Dengan melihat data tersebut perusahan bisa menentukan posisi yang diambil untuk menentukan persentil compentation yang akan diberikan kepada karyawan. Apakah berada di titik paling rendah dari hasil salary survey atau titik persentil 0%? Atau menempatkan diri di posisi tengah-tengah dari data salary survey atau persentil 50%? Atau malah memposisikan diri sebagai perusahaan dengan pemberian compentation paling tinggi dengan menempatkan diri di posisi teratas atau persentil 100%
 
Berkah Selalu
N Kuswandi

Saturday, June 20, 2015

Sisi Lain


 
 
Apakah benar, sebutan talent adalah pemberian dari Tuhan? Apakah memang hanya orang-orang pintar saja yang bisa menguasai hard maupun soft competency? Jika benar berarti Tuhan Maha Tidak Adil. syukur lah, Tuhan memberikan keunikan kepada setiaop ciptaannya. Sehingga semua orang punya kesempatan untuk mengembangkan competency nya dan menjadi seorang talent.

Salah satu  orang yang menjawab pertanyaan dan membuktikan pertanyaan tersebut dengan perbuatan adalah Prof. Yohanes Suryo. Beliau adalah salah satu tokoh Indonesia yang selalu membawa siswa-siswa Indonesia meraih juara di olimpiade Sains baik Matematika maupun Fisika dengan tingkat seluruh dunia. Tak terkecuali di tahun 2006, Prof. Yohanes Suryo juga berhasil membawa Indonesia menjadi juara umum sedunia lomba Fisika dengan mengalahkan 86 negara.

Suatu ketika, Prof. Yohanes Suryo ditantang untuk tidak hanya mengurusi anak-anak pintar saja, namun anak-anak yang tidak dianggap pintar atau di cap bodoh juga perlu diurusi. Menjawab tantangan tersebut, Prof. Yohanes Surya berkata bahwa “sebenarnya tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang belum menemukan guru dan metode yang tepat”.

Ingin membuktikan jawabannya, Prof. Yohanes pergi ke Papua menghadap Gubernur Papua. Beliau berkata ke Gubernur Papua, “carikan saya siswa yang paling bodoh di Papua dan akan saya didik menjadi juara Matematika”. Gubernur Papua tentu saja sangat menyambut gembira tawaran yang diberikan Prof. Yohanes, dengan mencari 14 siswa terbodoh yang akan dididik Prof. Yohanes Surya.

Banyak di antara anak-anak Papua yang paling bodoh yang dipilih Sang Gubernur berasal dari kampung terpencil yang bahkan penduduk kampung tersebut masih menggunakan koteka. Bahkan, saking semangatnya Gubernur Papua menyambut niat baik kepada Prof. Yohanes, sang Gubernur mencarikan murid terbodoh yang salah satunya adalah siswa kelas dua Sekolah Dasar yang selama empat tahun tidak naik kelas. Prof. Yohanes juga bercerita pertama kali mengajar siswa-siswa yang dianggap bodoh, penjumlahan tiga ditambah lima saja harus dijumlahkan dengan sempoa.

Melalui Yohanes Surya Institute, siswa-siswa yang dicap bodoh tadi kemudian dididik. Setelah enam bulan mengikuti pendidikan, anak-anak tadi sudah menguasai mata pelajaran dari kelas 1 sd 6 SD. Setelah empat tahun menjalani pendidikan di Yohanes Surya Intitute, di tahun 2011 mereka diberikan kesempatan untuk mengikuti perlombaan Sains Matematika se Asia. Hasilnya sungguh membanggakan, mereka berhasil merebut emas, perak dan perunggu.

Saking berhasilnya program pendidikan Yohanes Surya Institute untuk anak-anak Papua ini, mereka hampir selalu menyapu penghargaan di lomba-lomba sains. Sampai-sampai Prof. Yahanes Surya bercerita saat ada lomba Sains di Malang, beliau mendengar ada anak Jakarta yang menceletuk, “yah ada anak Papua lagi, pasti kalah deh”. Akhirnya, beliau memang berhasil membuktikan perkataannya, “Tidak Ada Siswa yang Bodoh, yang Ada Hanyalah Siswa yang Belum Menemukan Guru dan Metode Belajar yang tepat”.

Memperkuat quote yang disampaikan Prof. Yohanes Suryo, bukankah banyak tokoh-tokoh dunia yang sebenarnya punya perjalanan hidup sebagai orang yang dicap sebagai siswa bodoh. Salah satunya adalah Adam Khoo yang berasal dari Singapura.

Saat masih kelas empat SD, Adam Khoo pernah tidak naik kelas dan dikeluarkan dari sekolah. Dia pun masuk ke SD terburuk di Singapura. Ketika akan masuk SMP, Adam Khoo ditolah oleh enam SMP terbaik di Singapura, sehingga membuat diri nya bersekolah lagi di SMP terburuk di Singapura.

Apa yang terjadi berikutnya? Apakah Adam Khoo menjadi people dengan kelompok dead wood (low potency & low performance). Kehidupannya berubah 180 derajat, saat berusia 26 tahun, Adam Khoo sudah memiliki bisnis dengan total omset sebesar $ 20 Juta per tahun. Adam Khoo juga mematok bayaran $10.000/jam untuk tiap training yang mengundang dirinya. Dan siswa terbodoh tadi juga menjadi consultant dengan dengan klien para manager dan top manager perusahan di Singapura.
Berkah Selalu
N Kuswandi

Monday, June 15, 2015

3Es: Formula Ajaib Pengembangan Diri


 
“Jika seseorang rela mengosongkan dompetnya demi kepalanya, maka tidak ada orang yang mampu merenggut itu darinya. Investasi pengetahuan (leher ke atas) selalu mendapatkan hasil yang lebih baik dan berlipat-lipat!” Benjamin Franklin

Investasi terbaik adalah investasi leher ke atas atau pengembangan diri. Investasi yang tidak hanya akan dipetik buahnya oleh perusahaan namun juga oleh karyawan sendiri. Menyadari hal tersebut, Holcim Academy yang bertransformasi menjadi People & Organization Performance (POP) selalu memperbaiki diri untuk memberikan service terbaik bagi seluruh karyawan.

Berguru para Starbuck, Kita ingat bahwa sebelum tahun 2012 kesuksesan pengembangan diri diukur dari keberhasilan mencapai 40 jam training per tahun, kemudian di tahun 2013 naik menjadi 50 jam training per tahun. Hasil observasi POP, menunjukkan banyak karyawan yang telah mendapatkan manfaat dari model pengembangan tersebut. Banyak karyawan yang promosi menduduki posisi lebih tinggi, bekerja sesuai dengan passion yang dimiliki, ataupun mengaplikasikan pengembangan diri yang didapat dengan membuka usaha bisnis di luar Holcim. Walaupun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa masih ada karyawan yang belum mendapatkan manfaat langsung dari model pengembangan tersebut.

Memasuki tahun 2014 dan 2015, perubahan terjadi dimana-mana. Kompetitor semakin banyak, pertumbuhan ekonomi melambat, sehingga berdampak langsung pada bisnis Holcim. Perubahan tersebut tentunya membuat POP juga perlu ikut berbenah, model pengembangan diri yang awalnya berbasis jam training per tahun di-review lagi efektivitasnya.

In class training atau education dengan target 50 jam per tahun yang menjadi fokus tahun-tahun sebelumnya ternyata hanya berdampak 10% saja terhadap pengembangan diri karyawan. Dan program-program exposure seperti coaching, employee transfer, dan feedback berdampak 20% terhadap pengembangan diri karyawan. Dampak sisanya, 70% dihasilkan dari program experience seperti project assignment, project improvement, ataupun on the job training. Kajian ini tentunya menjawab sebuah pertanyaan, “kenapa investasi pengembangan diri yang begitu besar tidak berbanding lurus dengan lamanya karyawan mengikuti pelatihan?” Karena memang fokus education sebagai metode pengembangan diri hanya berdampak 10% saja terhadap karyawan.

Dengan semangat membantu karyawan bertumbuh, POP mengubah model pengembangan diri karyawan, yang awalnya berfokus pada in class training, menjadi pendekatan dengan fokus experience. Model pengembangan diri ini diberi nama 3Es, Experience-Exposure-Education. Menggunakan model pengembangan diri ini, karyawan lebih diajak meng-explore dirinya untuk mendapatkan best practice dari expert (coach) dan bahkan bisa merasakan langsung pengalaman (experience) nyata dengan melakukan on the job training, job assignment ataupun dengan project improvement. Efektifitas model pengembangan diri menggunakan 3Es dalam juga digambarkan dengan filosofi Confucius "Apa yang saya dengar, saya lupa. Apa yang saya lihat, saya ingat. Apa yang saya kerjakan, saya pahami".

Selain memiliki keunggulan efektivitas, K. David Hirschey, seorang ahli HR dari Minnesota juga mengklaim bahwa konsep 3Es juga memiliki kelebihan dalam hal efficiency cost dan waktu. Dari segi cost, fokus pada in class training membutuhkan biaya yang lebih mahal dari pada hasil pengembangan diri menggunakan program-program experience. Sedangkan perbandingan reduce time, jika keahlian atau best practice tertentu dipelajari dalam kelas membutuhkan beribu-ribu jam in class training, maka best practice tersebut bisa didapat dalam waktu yang lebih singkat dengan melakukan exposure dan experience.

Program pengembangan ini sendiri akan di-launch pada tanggal 30 Juni 2015. Seluruh karyawan akan terlibat pada launching tersebut, ditandai dengan menggunakan pendekatan 3Es dalam menyusun Individual Development Plan. Tersedia tiga opsi yang bisa dipilih karyawan, experience only, exposure & experience, atau paket lengkap education-exposure dan experience. Agar motivasi karyawan untuk mengembangkan diri menuju jalan kesuksesannya sendiri tercapai, POP juga akan memberikan external motivation berupa annual best achievement pada karyawan yang berkomitmen mengembangkan diri.
 
Berkah Selalu
N Kuswandi