Saturday, July 25, 2015

Memenangkan Negosiasi : Memanfaatkan Alam Bawah Sadar - 3


“OK sangat menarik memanfaatkan alam bawah sadar untuk memenangkan negosiasi, ada lagi gak selain “anggukan”. Pake teori dulu ya biar masuk akal, jika berdiskusi tentang alam bawah tak sadar, ada satu kata yang akan Anda kenal, yaitu Anchor. Secara bahasa anchor berarti jangkar, pemberat untuk memastikan kapal tidak terbawa arus air saat berlabuh. Dalam konteks unconsciousness (alam bawah sadar), anchor adalah hubungan antara stimulus dengan respon emosional tertentu, baik stimulusnya disengaja ataupun tidak.
 
Anchor dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya ada orang yang saat gugup menyentuh tangan nya untuk meredakan kegugupannya. Ada juga orang yang membuat anchor dengan benda, orang Indonesia mengenalnya sebagai jimat. “Saat saya menyentuh gelang yang saya pake, tiba-tiba timbul kepercayaan diri”, walaupun sebenarnya di gelang tersebut gak ada apa-apa, hanya sugesti diri nya saja.

Anchor ini bisa terjadi secara sengaja atau tidak sengaja. Ada yang sengaja membuat, seperti jimat tadi. Dan ada yang tidak sengaja dibuat seperti mengusap tangan saat gugup tersebut. Anchor yang baik setidaknya mengandung lima unsur yang disingkat dengan P.U.R.I.T. Huruf P singkatan dari Pure (murni) artinya anchor yang efektif hanya boleh menyimpan satu emosi atau satu respond saja, seperti respond bahagia saja, atau percaya diri saja. Contoh saat menyentuk jempol akan berapa bahagia. Huruf U nya singkatan dari unique (unik) artinya anchor yang digunakan memiliki nilai unik bagi individu.  R nya singkatan dari Repetitive (pengulangan), salah satu menembus alam bawah sadar adalah dengan repetisi, sehingga dengan merepetisi anchor akan menyebabkan informasi masuk ke dalam bawah sadar. I nya singkatan dari Intensive, mirip-mirip dengan repetisi, intensive berarti ada program berulang berkelanjutan. Dan T nya adalah Timing (ketepatan waktu), saat mendapat emosi atau respond yang ingin di anchor tanpa menunggu lama-lama langsung disimpan dengan menjadi anchor.

Dalam kontek negosiasi, anchor yang dapat diamati adalah anggukan yang kemarin sudah kita bahas di artikel sebelumnya. Dan anchor lain yang bisa digunakan adalah salaman. Saat Anda deal negosiasi apa yang Anda akan lakukan? Benar sekali, hampir disemua budaya, orang aakan berjabat tangan sesaat setelah negosiasi deal.

Anchor ini bisa dimanfaatkan saat bernegosiasi. Teknisnya begini, tentu saja saat bernegosiasi jual beli contohnya, penjual dan pembeli memiliki espektasi harganya masing-masing. Espektasi penjual bisa jadi di harga 15 juta, dan sebagai pembeli espektasi Anda bisa jadi di harga 10 juta. Saat membeli barang, tentunya Anda sudah memiliki batas maksimal harga, anggap saja batas maksimal harga Anda di angka 12 juta.

 Tawar menawar terjadi, penjual menurunkan harga ke 14 juta, Anda meningkatkan tawaran ke 11 juta. Negosiasi masih terus terjadi, pembeli menawarkan harga 13 juta, ingat batasan Anda 12 juta. Namun tiba-tiba Anda jabat tangannya sambil berkata “Ok deal, 12 juta”. Penjual biasanya akan protes dan sambil tertawa, “13 juta bro”, jangan lepaskan tangannya dan ulangi kata-katanya “Ok 12 juta, saya bayar cash ya”

“Apakah jurus ini akan selalu berhasil?” Belum tentu, senjata yang tepat dibutuhkan untuk memenangkan peperangan tertentu. Ada kalanya teknik ini akan berhasil pada orang tertentu, jadi memang perlu berguru seribu satu macam jurus sakti negosiasi. Selamat mencoba.

 
Berkah selalu
N Kuswandi

Monday, July 20, 2015

Memenangkan Negosiasi : Memanfaatkan Alam Bawah Tak Sadar - 2


Kalau di tulisan sebelumnya, saya sudah share bagaimana teori memanfaatkan alam bawah tak sadar, maka kita sekarang akan diskusi prakteknya. Salah satu penelitian yang membuat saya tertarik tentang penggunaan alam bawah tak sadar dilakukan oleh Jason Silva, seorang ilmuan sekaligus pemandu acara Brain Game. Penelitiannya sederhana,”bagaimana bernegosiasi dengan orang untuk mau mengungkapkan berapa pendapatannya dalam satu tahun?” Seperti common sense yang kita tahu, orang-orang barat sangat tabu berbicara tentang keluarga, pekerjaan dan pendapatan pada orang yang tidak akrab dengan mereka. Sehingga penelitian ini cukup challenging, dan sebuah pencapaian jika Jason Silva mampu membuat object penelitiannya mau menceritakan berapa banyak pendapatannya dalam satu tahun.

Dibuatlah kemudian dua kelompok. Di kelompok pertama, dengan mendekati orang per orang, Jason bertanya kepada satu per satu orang, “kalau boleh tahu, berapa pendapatanmu dalam satu tahun?” Seperti yang sudah diduga, Jason mendapatkan penolakan, negosiasi yang dilakukannya gagal.

Bagaimana dengan kelompok kedua, di kelompok ke dua, Jason tidak memodifikasi pertanyaan maupun intonasi suaranya. Jason hanya memodifikasi gerakan kepalanya. Jika di kelompok pertama, kepala Jason diam saja, di kelompok kedua, saat berbicara Jason juga menggerakan kepalanya dengan mengangguk-angguk, seperti tanda setuju. Keajaiban terjadi saat Jason melakukan hal tersebut, semua peserta di kelompok kedua mau memberi tahukan jumlah pengghasilan dalam satu tahun.

Bagaimana mungkin keajaiban bisa terjadi? Jawabnya karena Jason Silva memanfaatkan alam bawah tak sadar orang yang diajak bernegosiasi. Albert Mahrebian seorang pakar komunikasi memang pernah meneliti bahwa isi pesan hanya berdampak 7% saja dalam kesuksesan berkomunikasi, 38% sisanya berasal dari intonasi dan 55% kesuksesan komunikasi dipengaruhi oleh gesture. Jason Silva memanfaatkan pengetahuan ini, semua orang setuju bahwa anggukan adalah bentuk persetujuan. Dan memori itu tersimpan dalam alam bawah tak sadar, tidak perlu mengingat bahwa orang mengangguk tanda setuju. Secara otomatis otak manusia membaca anggukan adalah tanda persetujuan.

Saat Jason Silva menggangguk, maka akan memancing  memori alam bawah tak sadar, bahwa anggukan adalah persetujuan. Jika dianalisa lebih jauh lagi, Jason Silva sebenarnya juga menggunakan hukum Reciprocation (timbal-balik). Dengan memberi anggukan maka Jason Silva mengharapkan hukum reciprocation terjadi dengan balasan anggukan dari orang yang diajaknya bernegosiasi.

Beberapa orang secara sadar ataupun tak sadar sebenarnya juga menggunakan pendekatan yang hampir sama dengan yang dilakukan Jason Silva. Pernah kah Anda menemukan orang yang saat Anda ajak bernegosiasi dia membenarkan, walaupun dengan kata dan intonasi kecil “heem” atau “iya”. Saat Anda berbicara mitra negosiasi Anda mengambil jeda kalimat Anda dengan “heem”, “iya”, dan kata-kata lain yang sejenis. Beware, secara tak langsung sebenarnya mitra negosiasi Anda sedang mempengaruhi Anda. Masih ingat catatan saya sebelumnya “Memenangkan Negosiasi”, untuk berkata benar. Dia sedang memanggil alam bawah tak sadar Anda untuk ikut berkata “benar” pada sudut pandangnya.

  

Berkah selalu
N Kuswandi

Wednesday, July 15, 2015

Intrinsic Rewards Culture : Believe - Ritual - Power & Control - Symbole


Kelly Service pada tahun 2013 membuat sebuah survey survey tentang Employee Retention and Enggagement. Hasilnya orang mereferensikan peluang kerja pada temannya dipengaruhi oleh faktor company culture (26%), personal opportunity to growth (21%), interesting or work challenge (17%), dan work life balance (14%), remuneration (10%). Faktor pertama sampai dengan keempat adalah bentuk intrinsic rewards dan faktor kelima adalah bentuk extrinsic rewards.
 
Menariknya perusahaan lebih tertarik untuk meretain employee dengan cara 10% saja, atau dengan terfokus pada extrisic rewards. Padahal 90% sisanya berbicara tentang intrinsic rewards. Memang intrinsic rewards sendiri adalah bahasan yang cukup menarik, karena kadang kala bintrinsic rewards terasa bedanya saat intrinsic rewards menjadi policy dan menjadi culture.
Pendirian training center contohnya, policy nya pada awal berdirinya training center bisa jadi orang-orang yang diberi kesempatan untuk dididik di training center tersebut merasa mendapat apresiasi atas kinerjanya. Namun setelah training center tersebut sudah berdiri lama, 7 tahun contohnya. Karyawan yang mendapat apresiasi training di training center tidak terasa lagi sebagai sebuah apresiasi, bagi orang tersebut apresiasi adalah saat mendapat training external di luar training center.
Sebaliknya, saat training tersebut "pura-pura" nya sebagai surprice atas achievement yang dilakukan, rasanya akan berbeda. Coba saja rasakan sendiri, "apa perasaan Anda jika mengetahui achievement saya yang bagus akan mendapat bonus yang sudah ditatapkan, dibandingkan dengan tiba-tiba saja ada yang memberi hadiah?" Bagaimana kita membuat surprice-surprice tersebut lah yang sebaiknya dibuat budaya oleh perusahaan.

Bagaimana caranya untuk membudayakan intrinsic rewards tersebut? Salah satu pendekatan yang sering dipakai berasal dari pendekatan psikologis. Agas budaya terjadi setidaknya ada empat unsur yang perlu dibuat, yaitu believe, ritual, symbole, power & control.
 

Pendekatan tersebut didasari dari dinamika psikologis manusia yang terdiri dari value (dikenal juga sebagai mind set atau believe system), motif, attitude, dan behavior. Dinamika psikologis ini secara sederhana dapat digambarkan dengan sebuah contoh sederhana. Setiap orang memiliki hal yang dipercaya atau lingkaran value, contohnya ada orang yang begitu percaya mencuri itu berdosa, tidak baik dan merugikan orang lain. Suatu ketika anak nya sakit dan tidak memiliki uang. Peristiwa ini mendari dorongan atau lingkaran motif baginya. Pikirannya kemudian menimbang-nimbang (lingkaran attitude), “apa yang akan saya lakukan untuk mengobati anak saya? Apakah saya mencuri atau saya berhutang atau kerja serabutan?” Sebuah penelitian menunjukan probalitas peristiwa tersebut 85% orang tersebut akhirnya tidak mencuri (lingkaran behavior), dan 15% akhirnya bertindak (lingkaran behavior) mencuri.
Penanaman budaya memberikan intrinsic rewards pada dasarnya menyasar lingkaran value, sehingga diharapkan walaupun ada dorongan (lingkaran motif) yang tidak sesuai dengan value, lingkaran attitude nya akan berfikir untuk mengarahkan ke value yang dimiliki dan berperilaku sesuai dengan value yang dimiliki. Sederhananya jika orang sudah tertanam bahwa memberikan intrinsic rewards adalah hal penting, bahkan saat ada dorongan agar tidak memberikan intrinsic rewards yang terjadi tetap saja orang memberikan intrinsic rewatds. Menanamkan budaya tadi dapat dilakukan dari lingkaran paling luar atau behavior dan atau lingkaran paling dalam atau lingkaran value.
Salah satu cara untuk menanamkan budaya dari lingkaran dalam (lingkaran value) adalah dengan menanamkan believe dan menggunakan symbole. Sedangkan menanamkan budaya dari lingkaran luar atau lingkaran behavior adalah dengan ritual, power & control.
Believe adalah membuat orang percaya bahwa yang dilakukan penting dan bermanfaat bagi dirinya. Secara umum orang bergerak saat memahami manfaat yang dilakukan. Sehingga di tahap awal membangun culture intrinsic rewards, perusahaan perlu menanamkan alasan kenapa memberikan intrinsic rewards itu penting. Caranya bisa berbagai macam, contohnya dengan melakukan kampanye melalui spanduk, selebaran, menunjuk change agent, melakukan training, one on one coaching, dan cara-cara lain.
Keberhasilan penanaman believe ini akan ditandai dengan sebuah kalimat “Saya percaya memberi intrinsic rewards akan sangat bermanfaat, namun bagaimana caranya?” Disinilah peran unsur kedua pembentukan budaya - ritual akan terlihat. Ritual adalah menetapkan aktifitas keseharian yang perlu dilakukan. Ada pepatah Jawa “witing tresno jalaran soko kulino – orang jatuh cinta karena terbiasa”, artinya dengan terbiasa melakukan ritual tertentu maka yang pada awalnya tidak suka menjadi suka, dan bahkan jika tidak dilakukan akan terasa ada yang kurang.
Agar employee terbiasa memberikan intrinsic rewards, perusahaan perlu menetapkan ritual atau kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada terciptanya culture intrinsic rewards. Contohnya ritual yang bisa dibuat seperti sebelum atau sesudah meeting ada intrinsic rewards talk. Teknisnya, minta salah satu peserta untuk menceritakan satu hal baik yang dilakukan oleh sub ordinate atau peer nya dan apa yang dilakukan untuk mengapresiasi hal baik tersebut.
Ritual lain yang bisa dibuat yaitu dengan membuat appreciation awards days. Teknisnya setiap department memilih satu orang yang dianggap paling ringan terlibat membangun culture intrinsic rewards. Kemudian perwakilan dari tiap department tersebut dikompetisikan untuk memilih satu orang paling berkontribusi dalam membangun intrinsic rewards.
Pada awalnya, orang yang tidak terbiasa memberikan intrinsic rewards kemudian tiba-tiba diminta untuk memberikan intrinsic rewards pastinya akan ada kecanggungan. Dan bisa jadi para karyawan tersebut tidak melakukan ritual yang ditetapkan. Untuk memastikan ritual ini berjalan, power & control berperan penting. Pada tahap awal membangun culture, memang butuh seorang polisi yang bertugas memastikan ritual-ritual berjalan dengan baik. Jika digambarkan dalam sebuah fase perkembangan, fase awal ini disebut fase dependent, fase berikutnya adalah independent dan fase terakhir adalah interdependent. Ciri-ciri perkembangan internalisasi culture intrinsic rewards tersebut akan terlihat seperti gambar berikut.
 

Tentunya polisi yang mengawal policy tentang membangun culture intrinsic rewards tersebut tidak bisa hadir setiap waktu. Padahal karyawan perlu didampingi agar terbiasa dan terinternalisasi, disinilah peran symbole menjadi penting. Misalnya saja ada orang yang menggunakan peci sebagai symbole agama Islam, ada pengaruh tidak langsung saat kita menggenakan peci terasa ada yang ngawasi sehingga lebih berhati-hati.
Begitu juga dengan symbole yang dipakai sebagai representasi ritual, believe ataupun policy. Secara tidak sadar, alam bawah sadar bekerja mempengaruhi orang yang melihat symbole tersebut untuk mengikuti symbole tersebut. Jika perusahaan Anda memiliki kedekatan dengan budaya local, Anda bisa menggunakan tokoh-tokoh budaya local sebagai symbole. Contohnya saja tokoh Petruk yang mendapat julukan Petruk Kantong Bolong. Julukan tersebut didapatkan Petruk dari sifat nya yang suka berderma.
Perusahaan kemudian bisa memasang animasi Petruk tersebut di tempat-tempat yang mudah dilihat karyawan. Tentu saja agar pesannya tersampaikan, perusahaan bisa membuat ritual dengan blas cerita si Petruk yang suka berderma dan karyawan diminta untuk meniru tokoh si Petruk dengan berderma intrinsic rewards.
Berkah Selalu
N Kuswandi

Friday, July 10, 2015

Talent Development System


Apa sistem yang cocok untuk mengembangkan para talent perusahaan saya? Begitulah mungkin pertanyaan para leader di perusahaan yang didirikan oleh penemu hebat dunia, Thomas Alfa Edison. Perusahaan yang berumur lebih dari 100 tahun, dan masih berdiri, bahkan masuk dalam 500 Fortune Company. Perusahaan multinasional tersebut bernama General Electric (GE).

Para leader GE pun kemudian menyusun sebuah sistem yang memungkinkan para talent nya berkembang dan terus berkembang. Sistem itu kemudian didokumentasikan Ram Charan, Stepen Drotter,  dan James Noel dalam buku yang berjudul The Leadership Pipeline. Model pengembangan ini tentunya bisa menjadi benchmark yang baik untuk membuat sistem development untuk talent diperusahaan lain.

 


Gambar diatas menunjukan Pipeline Leadership yang dikembangkan oleh GE. Bentuknya yang seperti pipa yang saling berhubungan atau bersambungan menjadikan sistem development GE akhirnya sebagai Pipeline Leadership. Dimulai dari pipa Managing Self to managing other, dilanjutkan dengan pipa Managing other to managing manager, Managing manager to managing function manager, Function manager to business manager, Business manager to group manager, dan diakhiri Group manager to enterprise manager.

Dengan menggunakan pendekatan Leadership Pipeline, hal penting yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah membuat matrix competency dan program development sesuai dengan matrix development, dari masing-masing pipa. Detail competency ditiap jenjang dapat And abaca di buku The Leadership Pipeline.

Jenjang
Competency
Development Program
Managing Self
Communication
Education : In Class Training, Case Study of Cummunication
Exposure : Coaching to Leader That Expert in Communication
Experience : On The Job Training Leading a Team

 

Perhatikan table di atas sebagai contoh. Fokus development talent yang awalnya berasal dari level managing self dan diproyeksi untuk kedepannya mengisi posisi untuk managing other adalah effective communication to the team. Selain komunikasi, mereka juga harus mampu membuat rencana jangka pendek, sedang dan jangka panjang. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah managing conflict yang akan terjadi.

Tujuan utama dari development level ini adalah menjadikan para talent tersebut tidak hanya seorang bos tapi seorang leader. Sama-sama seorang pemimpin namun mempunyai perilaku berbeda. Seorang bos memandang keberhasilan team karena dirinya, dan kegagalan team karena salah team. Sedangkan seorang leader berperilaku sebaliknya, "Tidak ada bawahan yang jelek, yang ada adalah atasan yang buruk". Artinya, saat team berhasil, leader melihat keberhasilan sebagai kontribusi team. Dan saat team gagal, leader berkaca pada dirinya sendiri.

Competency tersebut diterjemahkan kedalam matrix development yang berisi development program apa yang sesuai dengan competency yang hendak ditembak. Sebagai contoh di table atas, competency yang akan ditembak adalah communication, di matrix development terlihat ada tiga model development, mulai dari education, exposure dan experience. Program development berupa experience dengan on the job training untuk melead sebuah team.

On the job training dipilih untuk membiasakan talent terlibat menjadi leader team. Tentu saja, saat belajar menjadi seorang leader, trainee masih didampingi oleh seorang coach, sehingga dibutuhkan juga program development dengan exposure melalui coaching dengan orang yang expert berkomunikasi memimpin team. Dengan melakukan coaching ini, coach akan langsung bisa memberikan feedback atau masukan ketika talent membuat kesalaan komunikasi ataupun melakukan komunikasi dengan bagus.

Selain experience, dan exposure, program development lain yang bisa dipakai adalah education. Caranya adalah dengan memberikan inclass training dengan materi Communication. Metode inclas training nya nya bisa case study dengan mengumpullkan para talent tiap dua minggu sekali untuk sharing, saling memotivasi dan berdiskusi kasus-kasus komunikasi dan conflict yang disebabkan oleh komunikasi yang dialami selama dua minggu terakhir.

Saat matrix competency ini sudah dimiliki perusahaan, akan sangat memudahkan perusahaan untuk menentukan model development yang akan dilakukan. Dengan melihat hasil scorching dan identification, tentunya perusahaan akan mendapatkan profil talent, untuk diposisikan dengan tepat. Bisa posisi ke atas ataupun ke samping. Dengan memiliki matrix competency, perusahaan langsung bisa melihat dan menentukan program development yang cocok bagi talent nya.
 
Berkah Selalu
N Kuswandi

Sunday, July 5, 2015

Pay For Person




Dan pay terakhir adalah pay for person. Jenis remunerasi dengan berfokus pay for person menitikberatkan pada membayar orang karena karakteristik unik seseorang. Artinya, meski memegang jabatan dan posisi yang sama – katakanlah sama-sama sebagai asisten manajer – namun dua orang ini memiliki gaji yang berbeda. Level kompetensi yang dimiliki lah yang menjadi pembeda gaji ke dua orang tersebut. Seorang karyawan yang dinilai lebih kompeten idealnya memiliki level gaji yang lebih tinggi dibanding mereka yang kompetensi nya lebih rendah.

Sama seperti pay for position ataupun pay for performance, tujuan utama nya adalah memberikan motivasi kepada karyawan. Bayangkan saja seandainya ada dua orang karyawan yang sama-sama menempati posisi yang sama. Karyawan pertama sangat ahli dan memiliki skill maupun knowledge yang lebih bagus dari pada karyawan ke dua, namun kedua karyawan tersebut dibayar sama. Akibatnya karyawan pertama tadi walaupun tahu dan bisa bisa jadi terdemotivasi dan tidak melakukan yang dia bisa dan tahu.

Pada prakteknya, penerapan pay for person ini sulit dilakukan, karena pola semacam diatas mensyaratkan perusahaan untuk memiliki profil kompetensi yang jelas untuk setiap posisi. Dan yang tak kalah penting, perusahaan juga memiliki mekanisme yang sistematis dan obyektif untuk melakukan penilaian kompetensi secara reguler. Dua hal ini cukup kompleks untuk diterapkan, terutama dalam hal harus melakukan penilaian kompetensi karyawan secara lengkap dan reguler. Sehingga tidak banyak perusahaan yang bisa menerapkan konsep pay for person (competency-based pay) secara optimal.

Best practice yang sering kali dilakukan oleh perusahaan untuk mensiasati kedua kendala tersebut adalah dengan mengkompensasi pay for person atau competency based pay dengan masa kerja. Semakin lama masa kerjanya maka akan semakin orang dibayar mahal. Hal ini dikarenakan perusahaan sering kali megasumsikan, semakin lama seseorang bekerja maka semakin ahli atau semakin kompeten orang tersebut di dalam pekerjaannya. Tentu saja asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar, karena bisa jadi karyawan yang baru bekerja satu tahun memiliki skill dan knowledge sebanding dengan orang yang memiliki pengalaman sepuluh tahun bahkan lebih.

Best practice lain yang juga sering dilakukan oleh perusahaan adalah dengan mengkompensasi pay for person atau competency based pay dengan jenjang pendidikan. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dimiliki karyawan dibayar lebih mahal oleh perusahaan. Asumsi yang muncul adalah semakin tinggi jenjang pendidikannya, maka akan semakin tinggi pula skill dan knowledge yang dimiliki. Tentu saja asumsi ini tidak sepenuhnya benar, karena ada orang-orang yang bisa jadi hanya lulus dari SMA, namun memiliki skill dan knowledge melebihi lulusan S1 ataupun S2.

Berkah Selalu
N Kuswandi