Friday, January 29, 2016

Memenangkan Negosiasi : Vice Influence Tactic



Saat Perang Vietnam, Sekertaris Negara, Henry Kissinger meminta seorang wakil menteri pemerintahan menyiapkan sebuah laporan mengenai situasi politik di Asia Tenggara. Wakil menteri itu bekerja keras menyiapkan laporan itu dan bangga dengan apa yang telah dilakukannya. Laporan tersebut sangat komprehensif dan dijilid dalam sampul kulit bertuliskan huruf emas timbul.

Meskipun demikian, Kissinger dengan cepat mengembalikan laporan tersebut dengan sebuah catatan, “Anda seharusnya lebih baik daripada ini”. Wakil menteri tadi segera mulai bekerja lagi dan mencari informasi yang lebih banyak, dan menambah bagan. Setelah dia merasa selesai dengan revisinya, sang Wakil Menteri mengirimkannya lagi ke Kissinger. Kali ini dia yakin bahwa dia telah menghasilkan kerja birokrasi yang sesungguhnya. Namun, laporan ini masih juga dikembalikan dengan catatan, “Anda seharusnya lebih baik daripada ini”.  

Catatan tersebut pun dikembalikan untuk yang kedua kalinya. Wakil Menteri merasa bahwa hal tersebut adalah tantangan terbesar baginya. Dia kemudian menginstruksikan kepada stafnya untuk mengerjakan laporan tersebut sepanjang hari dan memastikan laporan tersebut menjadi laporan yang baru kali ini dilihat Kissinger.

Setelah laporan selesai, Wakil menteri memberikan sentuhan akhir di laporan tersebut. Merasa sungkan karena laporannya sudah ditolak untuk yang kedua kalinya, Wakil Menteri ingin mempresentasikan secara langsung laporan terakhir yang dia buat. Dia pun membuat janji dengan Kissinger dan saat mempresentasikan laporan tersebut, dia memulai dengan perkataan “Mr. Kissinger, Anda telah mengembalikan laporan ini dua kali. Seluruh staf saya telah mencurahkan waktunya selama dua minggu terakhir untuk membuat laporan ketiga ini. Tolong jangan kembalikan lagi laporan ini lagi. Hasil revision dari pengembalian Anda yang ketiga pasti tidak akan lebih baik daripada ini. Laporan ini adalah laporan terbaik yang bisa kami kerjakan”. Kissenger dengan tenang meletakan laporan tersebut di mejanya dan berkata, “jika begitu, saya akan membacanya”.

Dalam kontek influence other, kisah diatas tentunya sangat menarik. Hanya dengan menuliskan atau mengucapkan “Anda seharusnya lebih baik daripada ini”, orang yang dipengaruhi langsung melakukan hal yang lebih baik lagi. Kissinger sebenarnya menggunakan teknik influence bernama VICE. Cara kerja influence tactic ini sangat sederhana, saat Anda dihadapkan dengan ide, laporan, proposal dari orang yang Anda ingin pengaruhi, hanya cukup berkata “Maaf, Anda seharusnya bisa lebih baik dari pada itu”, lalu tutup mulut Anda. Pernyataan tersebut akan memprovokasi pikiran orang yang Anda influence bekerja secara kreaktif menemukan cara lain.

 Tentu saja influence tactic seperti ini tidak bisa diterapkan kepada semua orang. “Kenali keunggulan Anda, kenali kelemahan Anda, 1000 kali perang, 1000 kali menang” begitu kata legenda jenderal perang Cina Sun Zu. Begitu juga dalam penerapan influence tactic vice. Jika Anda memiliki keunggulan yang lebih kuat maka tactic ini akan berhasil bagi Anda. Keunggulan tersebut bisa berupa keunggulan posisi yang lebih tinggi, atau bisa juga bisa berupa keunggulan daya tawar.

Bagaimana jika influence tactic tersebut diterapkan kepada Anda? Bagaimana caranya keluar dari influence tactic tersebut?

Jika Anda sedang diinfluence dengan tactic vice dan seharusnya Anda lah yang punya potensi keunggulan maka Anda bisa menggunakan counter tertentu. Contoh potensi keunggulan misalnya customer vs penjual, dalam hubungan tersebut potensinya seorang customer memiliki potensi keunggulan yang lebih tinggi dari pada penjual. Menggunakan vice tactic, bisa jadi penjual berkata, “ayolah, Anda bisa menawar lebih baik dari tawaran Anda kan”.

Eh, padahal Anda adalah customer nya, Anda adalah Raja, sehingga posisi Anda seharusnya lebih tinggi dari penjual. Anda lah yang seharusnya menggunakan vice tactic, namun sudah kedahuluan oleh penjual. Konter yang Anda bisa lakukan untuk menjawab provokasi pernyataan penjual tersebut adalah dengan menjawab, “sebenarnya tawaran yang lebih baik yang Anda harapkan seberapa besar?” Dan Anda dengan seketika membalikan posisi.

Berkah selalu

N Kuswandi

Sunday, January 24, 2016

Memenangkan Negosiasi : Glass Light Effect


Para Polisi bertanya-tanya, psikolog juga bertanya-tanya, “Kenapa para sandera teroris yang berhasil dibebaskan mampu memahami sudut pandang teroris? Bahkan ada beberapa kasus, para sandera tersebut membela para teroris?” Dari hasil penelitian yang dilakukan para ahli menyimpulkan, semakin lama sandera berada dalam penyanderaan teroris makan akan semakin dekat pihak sandera dengan sudut pandang teroris. Fenomena ini disebut sebagai Glass Light.

Fenomena ini bisa diterapkan dalam kontek negosiasi. Kadang-kala mitra negosiasi Anda butuh waktu untuk menerima sudut pandang Anda. Bisa jadi, mereka hanya membutuhkan waktu sebentar dan ada juga mitra negosiasi yang membutuhkan waktu lama untuk menerima sudut pandang Anda. Coba flashback pengalaman Anda ke belakang, Anda pasti menemukan peristiwa negosiasi yang mudah dan Anda juga menemukan peristiwa negosiasi dengan mitra negosiasi yang tidak juga mau mengambil sudut pandang Anda. Waktu yang dibutuhkan mitra negosiasi yang awalnya menolak sudut pandang Anda, kemudian mengambil sudut pandang Anda disebut sebagai waktu penerimaan.

Sayangnya, hanya sedikit negosiator yang mampu bertahan lama untuk mendekatkan sudut pandang yang Anda miliki ke mitra negosiator Anda. Dari riset yang dilakukan oleh Dr. Helb True 46% orang menyerah pada negosiasi pertama. Sembilan puluh empat persennya maju lagi dinegosiasi kedua, sayangnya 24% nya menyerah pada negosiasi kedua. Sisa negosiator yang berjumlah 30% maju dan 14% nya menyerah pada negosiasi ketiga. Tinggalah 16% negosiator yang tidak menyerah mengambil kesempatan bernegosiasi keempat. Sayangnya 12% diantara mereka menyerah diproses negosiasi keempat. Sehingga sisa negositor hanya 4% saja di proses negosiasi kelima.

Bagaimana dengan persentase keberhasilannya?

Dr. Herb True menemukan bahwa 60% keberhasilan negosiasi terjadi pada negosiasi kelima. Artinya hanya ada 4% negosiator yang persistence untuk memenangkan peluang terbesar negosiasi. Sedangkan 96% negosiator lainnya berebut 40% peluang negosiasi. Riset ini menunjukan, saat orang bernegosiasi, 60% mitra negosiator cenderung kuat mempertahankan sudut pandangnya sendiri. Barulah setelah lima kali melakukan negosiasi, mitra negosiator mulai memahami sudut pandang Anda. Lagi-lagi, sayangnya negosiator yang memiliki persistence untuk bernegosiasi sampai lima kali hanya ada 4% saja. Tak heran jika negositor ulung di dunia ini hanya ada sedikit saja.

Dari hasil riset Dr. Helb True tersebut, kita bisa belajar satu hal, yaitu untuk tetap persistence dalam bernegosiasi. Dr. Helb True juga menunjukan bahwa pengertian persistence bukan ngotot dengan sudut pandang yang dimiliki atau memaksakan sudut pandang kepada mitra negosiasi. Namun, persistence yang dimaksud adalah setiap kali Anda melakukan pertemuan, Anda perlu membawa sudut pandang dengan arah yang berbeda. Contohnya jika Anda bernegosiasi dengan menggunakan “what in it for mitra negosiasi” atau “manfaat apa jika mengikuti sudut pandang Anda” maka ditiap kali pertemuan negosiasi, Anda memaparkan what in it for mitra negosiasi yang berbeda-beda.

Berkah selalu

N Kuswandi

Tuesday, January 5, 2016

Memenangkan Negosiasi : Foot On The Door


Minta waktu untuk berdiskusi dengan orang sibuk itu rasanya “idih”. Salah satunya dengan atasan yang super sibuk, atau department yang orangnya juga super sibuk. Begitu juga yang saya alami saat request waktu diskusi dengan salah satu orang super sibuk. Susah sekali mencari waktu, tidak tahu apakah orangnya memang benar-benar sibuk atau sok sibuk.

Di saat yang seperti ini, langsung teringat salah satu teknik persuasi negosiasi yang disebut foot on the door. Teknik ini dikembangkan oleh Freedman & Fraser, 1966. Seperti nama nya, foot on the door berarti meletakan kaki untuk mengganjal pintu. Saat seseorang mengetuk pintu, kemudian yang punya rumah membukakan pintu, bisa jadi pintu langsung ditutup kembali, karena pemilik rumah sudah aware kalau pengetuk pintunya adalah seorang sales, atau peminta sumbangan. Sebelum pemilik rumah menutup pintu, jadikan kaki sebagai pengganjal pintu agar tidak tertutup.

Foot on the door dibangun dari dasar logika, setiap orang ingin selalu dilihat sebagai orang yang konsisten. Saat sudah menyetujui permintaan pertama maka mitra negosiasi cenderung menyetujui permintaan-permintaan berikutnya. Seperti saat pemilik rumah sudah membukakan pintu maka mitra negosiasi Anda sebenarnya sudah menunjukkan persetujuan awal yang akan membawa kepersetujuan-persetujuan lain.  

Tentu saja ada teknik untuk melakukan foot on the door. Ibarat sales yang mau jualan kepada pemilik rumah, bukan berteriak-teriak di depan rumah menawarkan barang. Namun, meminta persetujuan-persetujuan kecil terlebih dahulu. Persetujuan kecil pertama yang diminta sales adalah mengetuk pintu, dilanjutkan dengan persetujuan kecil berikutnya, bolehkan saya meminta waktu Anda sebentar? Kemudian baru dilanjut dengan persetujuan-persetujuan lain.

Agar terbayang, berikut adalah cerita saya mengaplikasikan foot on the door pada orang yang sibuk. Saya tahu diskusi yang akan saya lakukan setidaknya membutuhkan waktu 60 menit. Saat melakukan meminta waktu pada rekan kerja saya yang super sibuk tadi, saya tidak bilang, boleh kah saya minta waktu 60 menit untuk berdiskusi? (penggunaan kata “boleh kah”, adalah salah satu teknik negosiasi untuk menyerang alam bawah tak sadar). Tapi yang saya lakukan adalah boleh tidak saya minta waktu 5 menit untuk berdiskusi. Dan tentu saja karena cuma 5 menit, maka rekan kerja saya cenderung mau mengabulkan. Setelah diskusi kenyataannya waktu yang dibutuhkan menjadi 90 menit.

Teknik ini sebenarnya juga sering dipakai oleh pala telemarketing. Perhatikan saja, jika Anda ditawari asuransi contohnya, pertama kali yang mereka lakukan adalah boleh saya minta waktunya sebentar? Dan saat Anda mengatakan “boleh”, maka Anda akan terjebak dengan telepon yang nyari 30 – 60 menit.

Penerapan lain dapat dilakukan saat Anda kecopetan dan kehabisan uang untuk naik bus. Perhatikan dua kejadian berikut, mana yang menurut Anda berpotensi lebih dalam memenangkan negosiasi. Kejadian pertama, Saat Anda bernegosiasi langsung dengan mitra negosiasi Anda bahwa Anda butuh pinjaman. “Bro boleh pinjam uang untuk naik bus, saya habis kecopetan?” Kejadian kedua, Anda melakukan foot on the door terlebih dahulu. “Bro boleh tahu jam berapa sekarang?” Mitra negosiasi Anda pun menjawab “jam 09.00”. “Terimakasih ya, sebetulnya saya habis kecopetan jadi kehabisan uang untuk naik bus. Boleh saya pinjam uang untuk naik bus?” Kejadian pertama bisa jadi membuat shock mitra negosiasi Anda. Kejadian kedua berpeluang lebih besar mendapatkan persetujuan.

Jadi jangan remehkan persetujuan kecil yang Anda dapat dari mitra negosiasi Anda. Karena persetujuan kecil adalah pintu gerbang menuju persetujuan yang lebih besar. Perhatikan kontek negosiasinya, dan saat Anda menemukan moment yang tepat untuk menggunakan foot on the print, jangan lupa untuk mempraktekan.

Berkah selalu

N Kuswandi

Friday, January 1, 2016

Memenangkan Negosiasi : Bad Guy and Good Guy


 
Salah satu job des saya adalah memilih provider training untuk pengembangan karyawan di perusahaan. Dan tentu saja untuk memilih provider training ada beberapa kualifikasi yang kami tentukan, mulai dari quality, facilitator training, program pasca training, dan tentu saja harga bersaing. Kalau sudah berdiskusi tentang harga bersaing disinilah seni bernegosiasi dipraktekan.

Suatu hari, saya bernegesoasi dengan salah satu provider penyelenggara Certified Professional Coach. Biaya investasi early bird nya adalah Rp 17.000.000,- dan normal investasinya adalah Rp 21.000.000 juta.  Seperti biasa untuk pendaftaran early bird pasti ada batasan waktunya dan syarat agar terdaftar sebagai peserta early bird adalah dengan membayar down payment sebesar Rp 4.000.000,-. Sebelum akhir waktu early bird, saya melakukan konfirmasi bahwa akan ada salah satu karyawan kami yang mengikuti sertifikasi.

Berhubung, ada kebijakan perusahaan maka saya tidak bisa membayarkan down payment nya. Saya pun menyampaikan hal tersebut kepada marketing provider penyelenggara sertifikasi tersebut. Dan jawaban marketingnya adalah “mohon maaf tidak  bisa”. Gambit higher authority untuk bernegosiasi langsung saya pakai, “oke bu, kalau begitu saya diskusi dengan superior terlebih dahulu”, walaupun kenyataannya saya tida berdiskusi dengan atasan. Saya yakin provider tersebut membutuhkan peserta, sehingga saya meyakini posisi saya lebih menguntungkan untuk melakukan negosiasi.

Dua hari sebelum batas waktu early bird habis, saya menghubungi providernya. “Sepertinya untuk down payment nya tidak bisa ni bu”. “Begitu ya pak, saya diskusi dengan team dulu ya”. Setelah batas waktu early bird habis, marketingnya menghubungi saya “gimana pak, team nya jadi diikutkan, early bird nya khusus untuk bapak kita perpanjang lo”. “Mohon maaf bu, kalau dengan down payment untuk mendapatkan harga early bird kita tidak bisa”. Dan batas waktu perpanjangan early bird untuk saya pun akhirnya berakhir.

Berhubung karyawan saya memang membutuhkan sertifikasi tersebut dan ternyata teknik negosiasi higher authority gagal diaplikasikan, sepertinya harus menggunakan jurus negosiasi lain, bad guy and good guy. Sudah terbayang dikepada untuk menjadikan superior sebagai bad guy dan saya sebagai good guy. Saya menghubungi marketingnya, “Mbak, karyawan yang akan ikut sertifikasi fix jadi ikut ya”. “Alkhamdulillah” begitu jawab marketingnya. “Berhubung sudah konfirmasi di early bird, superior saya minta diharga early bird, bisa kan mbak?” “Ndak bisa pak, kan batas waktu early bird nya sudah habis, bapak juga belum melakukan down payment”.

“Aduh gimana ya mbak, superior saya agak ngotot ni mbak. Dia bandingin dengan provider lain dan bisa, masak di tempat mbak ndak bisa, “jangan kaku-kaku” katanya. Kalau sebagai pribadi, saya jadi gak enak sama jenengan, saya paham lah kalau jenengan harus ngikuti role di perusahaan jenengan”. “Oh gitu ya pak” marketingnya berkata. “Begitulah mbak, bahkan superior saya bilang, gak percaya banget sih dengan perusahaan kita. Investasi kita untuk development karyawan besar dan kita selalu bayar tepat waktu. Kerjasama kita bisa lebih panjang lagi. Jadi bawa-bawa harga diri segala, kayaknya bos saya mbak, bisa dibantu gak mbak, tolong nya”. “Ya udah pak, saya coba diskusi dengan management dulu ya”.

Beberapa hari kemudian, marketing provider nya menghubungi saya. “Halo pak, management sudah memutuskan ni pak. Khusus untuk perusahaan bapak dan untuk isu ini, boleh lah pak dibayar dengan early bird”. “Alkhamdulillah, lega juga saya laporan ke si Bos. Makasih ya mbak”.

Perhatikan dialog di atas, saya memerankan sebagai good guy dan bos saya secara imajinasi ditampilkan sebagai bad guy, dan hasilnya luar biasa, negosiasi bisa dimenangkan.

Kenapa peran bad guy dan good guy bisa membantu dalam proses negosiasi? Alasannya setiap orang ingin dihargai. Saat bad guy bernegosiasi maka harga diri dijatuhkan, dan good guy mengangkat harga diri mitra negosiasi. Di saat itulah mitra negosiasi akan menjadi kawan Anda, dan saat sudah menjadi kawan, proses negosiasi menjadi semakin mudah.

 

Berkah selalu

N Kuswandi