Tuesday, October 22, 2013

Blusukan "Management by Wandering Around" Skill Ketiga




Dua catatan sebelumnya, saya menulis untuk melakukan blusukan atau management by wandering around dibutuhkan skill open communication dan skill feedback. Skill ketiga yang dibutuhkan untuk melakukan blusukan adalah memberikan penghargaan. Setiap penghargaan yang diberikan seorang leader kepada anggota team nya akan meningkatkan harga diri anggota team. Saat harga diri naik efek nya akan bermacam-macam. Orang yang sedang naik harga diri nya memiliki tiga ciri utama, merasa mampu, merasa bermanfaat dan merasa diterima. Saat onggota team menerima penghargaan maka anggota team akan merasa berharga karena dianggap mampu oleh team leader. Kemunculan perasaan mampu menjadikan anggota team lebih percaya diri untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi (problem solving). Perasaan bermanfaat sebagai ciri kedua orang yang sedang naik harga diri nya karena diberi pengharghaan bisa berdampak memperkuat perilaku yang muncul. Sedangkan perasaan diterima sebagai ciri ketiga orang yang sedang naik harga diri nya bisa berdampak positif menumbuhkan ikatan kerja sama. Dengan ketiga efek tadi, problem solving, memperkuat perilaku positif dan menumbuhkan ikatan positif ujung-ujung nya akan meningkatkan produktivitas anggota team.

Walaupun mempunyai efek positif terhadap kinerja anggota team, sayangnya memberikan penghargaan menjadi skill yang mudah dikatakan namun jarang dilakukan, apalagi ada stereotype (anggapan umum) bahwa orang timur pelit memberikan penghargaan, berbeda dengan orang-orang barat yang cenderung bisa lebih terbuka memberikan penghargaan. Ada juga anggapan pemimpin, memang sudah seharusnya anggota team bekerja dengan bagus. Karena persepsi "kewajiban" ini maka seorang leader menjadi lupa memberikan penghargaan. Padahal penghargaan mampu mengganjal kinerja positif, bahkan penghargaan dapat mendorong kinerja lebih baik lagi.

Seni memberikan penghargaan bermacam-macam. Bisa dilakukan dengan pendekatan kepribadian, bisa dilakukan dengan pendekatan generasi dan bisa juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan tipikologi manusia. Penghargaan berdasarkan kepribadian akan dibahas dicatatan berikutnya. Sedangkan penghargaan dengan pendekatan generasi bisa dibaca dicatatan sebelumnya berjudul "Remuneration dari Masa ke Masa". Di Catatan ini, kita akan membahas pendekatan penghargaan berdasarkan tipikologi manusia. Dalam urusan penghargaan, manusia memiliki lima tipikologi yang kemudian dikenal sebagai bahasa cinta. Tipikologi pertama berupa bahasa cinta verbal, bahasa cinta kedua berupa bahasa cinta sentuhan, waktu berkualitas, hadiah, dan bahasa cinta kelima berupa melayani. 

Memberikan penghargaan berarti merayakan kemenangan. Merayakan kemenangan proses tidak melulu harus mewah. Lihat lah bagaimana para pemain bola merayakan gol yang dicipta. Mereka menari dan bertingkah konyol bersama. Jadi tidak ada salahnya juga bagi kita untuk merayakan kemenangan proses dengan menari dan bertingkah konyol bersama. Mengacu pada lima tipikologi penghargaan, Anda bisa memulai merayakan kemenangan dengan bahasa cinta sentuhan. Acungkan dua jempol Anda saat karyawan Anda melakukan sesuatu yang lebih. Atau tepuk bahu karyawan Anda dengan ketulusan cinta, bisa juga Anda menjabat tangan karyawan Anda sambil memandang lurus matanya. Jangan lupa lengkapi dengan bahasa cinta kedua, bahasa cinta verbal. Sambil melakukan sentuhan ucapkan "terimakasih, Anda telah berbuat lebih bagi team sehingga kinerja team bisa mencapai target". Dan lihat apa yang akan terjadi? Jika  rekan-rekan masih ingat catatan saya berjudul “Monitoring dan Feedback”, bahasa cinta  verbal sebenarnya adalah positive feedback

Anda juga bisa merayakan kemenangan proses dengan meluangkan waktu berinteraksi dengan team Anda. Berikan waktu lebih Anda untuk mendampingi dan menjadi jimat  karyawan Anda. Itu lah bahasa cinta ke tiga, waktu yang bermanfaat. Sangat merugi jika seorang leader tidak bisa meluangkan waktu untuk bekerja bersama team. Bukan lah leader yang baik jika hanya bisa melihat team nya, tanpa terlibat dengan mereka. Berduka dan bergembira bersama. Bisa juga Anda memberikan sedikit hadiah. Bukan dari saku perusahaan tapi dari saku pribadi Anda. Ini lah bahasa cinta ke empat, hadiah. Tidak harus hebat. Tapi berikan di moment yang tepat. Saat selesai presentasi project baru ke manager. Traktir team Anda, sebagai perayaan kemenangan. Tambahkan ramuan bahasa cinta yang lain dalam perayaan moment yang akan membuat Anda dan team semakin mesra. Akhirnya bahasa cinta ke lima adalah melayani. Tidak pernah akan menjadi leader yang hebat sebelum bisa menjadi bawahan yang hebat. Melayani bawahan berarti segala tindakan yang meringankan beban bawahan. Sangat gampang memberikan penghargaan di saat kemenangan, tapi sangat susah memberikan penghargaan atas usaha anak buah yang gagal. Apakah kekecewaan kegagalan mereka harus ditambah dengan murka Anda? Bukankah akan lebih menguatkan team Anda, saat Anda melayani kebangkitan team Anda dari kegagalan?

Blusukan "Management by Wandering Around" Skill Kedua

Di catatan sebelumnya saya bercerita tentang skill pertama melakukan "Management by Wandering Around-MBWA" berupa open communication, skill kedua untuk melakukan MBWA berupa memberikan feedback (saran). Feedback yang diberikan tentunya tidak hanya feedback-feedback untuk pengembangan (development feedback), namun juga feedback terhadap perilaku atau performance (kinerja) yang diharapkan (positif feedback). Development feedback berfungsi untuk memotivasi orang yang sedang jatuh performance nya atau yang perilakunya tidak diharapkan oleh perusahaan. Dengan memberikan development feedback secara sebenarnya kita memperlemah atau menghilangkan perilaku yang tidak diharapkan atau performance yang tidak tercapai. Sedangkan positif feedback berfungsi untuk memotivasi orang mempertahankan dan meningkatkan performance yang bagus atau perilaku yang diharapkan muncul. Tujuan akhir memberikan positif feedback adalah memperkuat perilaku yang ditunjukkan, sehingga perilaku yang menjadikan nya mencapai performance tinggi dapat dipertahankan.

Tanpa positif dan development feedback orang tidak akan tahu yang dilakukan sudah benar atau salah. Feedback adalah bentuk nyata fungsi kontrol yang dilakukan oleh para leader. Sayang nya tool pintar ini jarang digunakan dengan maksimal oleh para leader. Dengan beberapa alasan, para leader cenderung sama sekali tidak memberikan feedback kepada anggota teamnya, ataupun kalau memberikan feedback cenderung dominan hanya memberikan positif feedback saja atau development feedback saja. Padahal dominan memberikan development feedback bisa berakibat tidak baik bagi anggota team. Terlalu sering menerima development feedback bisa jadi membuat anggota team dendam kepada leader nya. Anggota team yang sering diberikan development feedback juga bisa mengakibatkan mereka cepat stress, strok dan berakir stop. Sedangkan dominan memberikan positif feedback juga berbahaya. Anggota team tidak akan sadar ada perilaku atau performance yang tidak diharapkan. Selain itu positif feedback yang diberikan secara berlebihan akan berakibat menutup hati dan pikiran anggota team. Akibat jangka panjangnya saat ada performance atau perilaku yang tidak diharapkan dan harus diberikan feedback bisa jadi langsung defense.

Selain kecenderungan untuk memberikan development feedback saja atau positif feedback saja, permasalahan kedua dalam memberikan feedback adalah kecenderungan tidak memberikan feedback sama sekali. Ada tiga alasan kenapa orang tidak memberikan feedback kepada anggota team nya. Alasan pertama adalah tidak tahu manfaat melakukan feedback. Alasan kedua sungkan memberikan feedback. Apalagi sebagai orang timur yang cenderung punya budaya rikuh. Dan alasan ketika adalah takut memberikan feedback.

Mengatasi kecenderungan memberikan dominasi feedback pada positif feedback saja atau development feedback dapat dilakukan dengan sandwich feedback. Seperti sandwich yang terdiri dari roti-isi-roti, maka sandwich feedback bisa dilakukan dengan memberikan pengantar - development feedback- positif feedback. Setiap perilaku ataupun performance pasti tidak 100% salah dan tidak 100% benar. Jika kita amati pasti selalu ada sebagian yang benar dan semakian yang salah. Sandwich feedback menganut prinsip ini, satu lapis development feedback dan satu lapis positif feedback.

Sedangkan kecenderungan tidak memberikan feedback dengan tiga alasan diatas, sebenarnya bisa diatasi dengan mempelajari ulang budaya asli timur (Nusantara). Sebelum VOC atau Belanda datang ke Indonesia dan memutarbalikan budaya Nusantara, sebenarnya Nusantara memiliki budaya proaktif. Mereka proaktif mengarungi samudra menguasai dan menyatukan kerajaan-kerajaan menjadi satu. Merekalah para pemberani yang memulyakan Nusantara. Samudra Pasai, Sriwijaya, Singosari, dan Mataram adalah contoh nyata budaya pemberani dan proaktif nya Nusantara.

Berkah Selalu
N. Kuswandi

Tuesday, October 15, 2013

Blusukan "Management by Wandering Around" Skill Pertama

Kita telah mengenal Management by Wandering Around sebagai salah satu gaya leadership. Kita juga sudah mengenal begitu banyak manfaat dari melakukan gaya kepemimpinan Management by Wandering Around. Pertanyaan berikutnya yang akan muncul mungkin adalah bagaimana cara kita melakukan Management by Wandering Around (MBWA)? Di catatan sebelumnya, sempat disinggung skill pertama yang harus dimiliki dalam melakukan MBWA adalah open communication. Seperti namanya, open communication berarti komunikasi terbuka, berjalan dua arah, tidak hanya didominasi oleh satu pihak.

Tiga hal penting yang harus selalu dikomunikasikan dalam MBWA adalah visi, culture dan performance. Visi membuat anggota team nya paham arah pekerjaannya. Disadari atau tidak, sebenarnya kita melakukan pekerjaan rutin selama bertahun-tahun. Tentunya akan sangat membosankan jika anggota team tidak tahu tujuan dari pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan mengetahui visi atau tujuan pekerjaan yang dilakukan, diharapkan mampu memotivasi dan menghindarkan dari kejenuhan. Anggota team tahu kapan saat nya mempercepat laju kinerjanya dan kapan saat nya berhenti.

Mengetahui tujuan saja nampaknya tidak cukup. Anggota team juga perlu dikomunikasikan added value dari yang mereka lakukan. Tujuan dari mengkomunikasikan added value ini untuk membuat anggota team merasa apa yang mereka lakukan dalam mengejar tujuan adalah perasaan berharga. Perasaan ini lah yang membedakan performance tiap anggota team. Ada orang yang sudah berjalan di track yang benar untuk mencapai visi, namun karena yang dilakukan berasal dari keharusan berjalan sesuai track yang terjadi orang tersebut tidak menikmati pekerjaannya. Hasil karya nya memenuhi syarat standar pekerjaan, padahal orang tersebut bisa mengerjakan dengan hasil yang lebih baik.

Contohnya membersihkan area kerja dengan visi membuat lingkungan kerja yang nyaman. Orang yang mengetahui dan paham visi akan mengaktualisasikan visi ke dalam pekerjaan. Namun bisa jadi visi yang dikejar muncul karena didorong oleh motivasi eksternal seperti reward. Jika visi tercapai maka orang akan dapat reward. Orang-orang yang didorong motivasi external semacam ini akan mengalami demotivasi saat rewardnya dihilangkan. Berbeda ceritanya saat selain visi yang dikomunikasikan, added value juga menjadi area yang dikomunikasikan. Dengan added value, orang diajak untuk memaknai nilai sebuah pekerjaan bagi pribadinya, bukan bagi organisasi.

Added value juga mencegah orang mencapai visi dengan melewati proses yang tidak benar. Added value berarti memaknai pekerjaan dengan lebih personal, lebih bermakna spiritual. Dengan visi membuat tempat kerja nyaman, bagi orang yang mengejar visi bisa jadi bisa menyelesaikan visi tanpa kepuasan dan makna bagi jiwa nya. Logikanya memenangkan pertempuran, namun jiwa nya tidak terpuaskan dengan kemenangan. Berbeda hasilnya bagi orang-orang pengejar visi yang memasukkan value atau nilai-nilai personal dan spiritual dalam proses nya mengejar visi. Motivasi yang muncul menjadi motivasi internal yang mempunyai endurance tinggi. Pencapaiannya pun akan membekas lama dan membangun character jiwa-jiwa mereka.

Selain visi dan added value, hal ketiga yang perlu dikomunikasikan adalah performance. Mengkomunikasikan performance secara tidak langsung menginformasikan sudah sejauh mana perjalanan menuju visi. Performance yang sudah tercapai secara konsisten lah yang menunjukkan visi yang direncanakan telah tercapai.

Mengkomunikasikan pencapaian performance juga bisa memotivasi orang meningkatkan performance nya. Jadikan diri sendiri sebagai lawan. Perlihatkan performance mereka dan motivasi mereka untuk melawan performance mereka sendiri. Bangun harga diri mereka, "saat performance tidak sesuai berarti Anda tidak menghargai kemampuan Anda". Pertempuran ini lebih baik dari pada saling membandingkan performance satu orang dengan orang lain. Dengan saling membandingkan performance, saat semua mendapat performance rendah maka hukum "the law of few" berlaku. Tanggung jawab untuk mencapai high performance tidak menjadi penting karena ada perasaan tanggung jawab terbagi. Contohnya high performance 100, karena ada 4 orang maka orang merasa tanggungjawab nya terbagi, 100/4 berarti tanggungjawab saya hanya 25 saja. Membandingkan performance dengan orang lain juga bisa berakibat membangun permusuhan di dalam team. Padahal team work baru bisa dibangun saat orang saling mengasihi.

Seperti layaknya komunikasi, mengkomunikasikan ketiga hal tersebut memang gampang-gampang susah. Kadang membuat orang tersinggung, kadang tidak dimengerti pesan nya, dan aneka kendala komunikasi lain nya. REACH bisa dijadikan sebagai rumus sederhana agar penyampaian informasi visi, culture dan performance ini menjadi powerful. REACH merupakan kependekan dari Respect, Empathy, Audible, Clarify, dan Humble.

Kelima aspek REACH ini mencakup kebutuhan komunikasi secara psikologis dan secara praktis. Kebutuhan psikologis adalah kebutuhan dimanusiakan saat berkomunikasi. Kebutuhan ini dapat dipenuhi dari Respect, Empathy dan Humble. Sedangkan kebutuhan praktis berupa kebutuhan agar informasi yang disampaikan bisa dipahami. Kebutuhan ini dapat dipenuhi oleh dimensi Audible dan Clarify.

Berkah Selalu
N. Kuswandi

Tuesday, October 8, 2013

Blusukan "Managing by Wandering Around" Achievement

Melanjutkan catatan sebelumnya berjudul "Management by Wandering Around (MBWA)" atau yang dikenalkan oleh Jokowi dengan nama blusukan, dicatatan kedua tentang MBWA ini akan dibahas tentang manfaat melakukan MBWA. Tentunya rekan-rekan masih ingat, bagaimana Jokowi blusukan di Tanah Abang dan Pluit? Salah satu hasil nya berupa minimal nya konflik terbuka dengan warga. Itulah salah satu manfaat dari MBWA. Dengan melakukan MBWA maka akan menumbuhkan "trust".

"Trust" dibangun dari open communication, konsisten terhadap hasil komunikasi. Dan open communication ini lah skill pertama yang harus dilakukan jika ingin menggunakan MBWA. Jokowi mencontohkan skill open communication ini dengan mengajak warga berdialok terbuka, menerima masukan dan memberi masukan. Jokowi juga cenderung konsisten dengan hasil open communication sehingga "trust" warga terhadap Jokowi tumbuh. Bahkan jika ada ketidakpuasan bukan Jokowi yang menjadi sasaran. Contoh nya saja kasus waduk Pluit. Saat warga tidak puas, mereka melampiaskan pada Satpol PP. Begitu juga dengan kasus Tanah Abang. Warga yang tidak puas melampiaskan pada Ahok. Trust dari warga lah yang memungkinkan perubahan yang dilakukan Jokowi diterima warga.

Manfaat kedua dari melakukan MBWA adalah manfaat decision making. Dari skill pertama melakukan MBWA yaitu skill open communication, selain bisa menumbuhkan trust juga bisa menghasilkan decision making yang effective. Dengan open communication jika ada permasalahan dibahas bersama. Solusi tidak hanya muncul dari leader namun juga berasal dari sub ordinat. Jokowi juga melakukan hal yang sama, saat permasalahan waduk Pluit, Jokowi memiliki isu untuk segera memindahkan warga, sedangkan warga memiliki isu rusun yang akan mereka tempati belum selesai 100%. Dari MBWA lah Jokowi dapat mengkomunikasikan isu nya dan menangkap isu factual dari warga. Hasilnya decision yang diambil pun bisa effective.

Sebuah keputusan dikatakan effective jika orang yang akan menerima dampak pengambilan keputusan dilibatkan. Dengan melibatkan orang yang akan dikenai keputusan diharapkan mampu memunculkan ide cemerlang yang dirasa oleh para pihak sebagai keputusan "win-win". Harapannya jika keputusan yang win-win tadi muncul dari para pihak maka komitment untuk menjalankan keputusan tadi lebih besar jika dibandingkan hanya diputuskan sepihak saja.

Selain menumbuhkan trust dan menghasilkan decision yang effective, MBWA juga bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas. Selain kuantitas target produksi nya terpenuhi, seorang leader juga mampu menjaga kualitas hasil produksi nya. Tentunya berbeda antara team yang diawasi dengan team yang tidak diawasi. Seperti gelombang, pada dasarnya manusia juga naik-turun performance nya. Ada kalanya performance nya naik secara konsisten dan ajeg, dan ada kalanya performance nya turun dratis. Keberadaan leader yang melakukan MBWA dengan menggunakan skill kedua MBWA berupa giving feedback dapat menjaga atau memaintance gelombang performance yang sedang di atas dan mengenhance performance yang sedang dibawah.

Mungkin rekan-rekan masih ingat gebrakan yang dilakukan Jokowi pertama kali setelah dilantik menjadi gubernur. Dia langsung melakukan MBWA ke kantor-kantor kelurahan. Melihat produktivitas pegawai kelurahan yang rendah (kantor belum dibuka pada jam seharusnya) maka Jokowi memberikan feedback pada para camat. Hasilnya produktivitas mereka menjadi semakin baik. Pada suatu saat seperti teori performance adalah gelombang, maka performance yang sedang bagus ini perlu dimaintaince dengan memberikan positif feedback (penghargaan).

Berkah selalu
N. Kuswandi

Wednesday, October 2, 2013

Kenalkan Ini “MBWA”


Management by Wandering Around "Blusukan"
Gaya kepemimpinan managing by wandering around diperkenalkan oleh Hawlet and Packard (1970 an).  Pada tahun 1980 an, konsep dari Hawlet and Packard dikembangkan dan dipopulerkan oleh Tom Peter dan Robert Waterman melalui bukunya yang berjudul “In Search of Excellence”. Managing by wandering around sendiri sering kali diartikan sebagai gaya kepemimpinan yang lebih banyak mengandalkan human touching. Prinsip ini memungkinkan seorang leader melakukan unstructured approad. Jika dalam struktur organisasi seorang middle manager meminta report dari first manager maka dengan managing by wandering around, structure itu ditiadakan. Seorang middle manager juga bisa meminta report dari para front line.

Di Indonesia, walaupun dipopulerkan oleh Jokowi, sebenarnya gaya kepemimpinan ini sudah dipakai dalam organisasi. Jika kita perhatikan dalam job description layer leader managerial organisasi secara umum akan ditemukan keharusan untuk menggunakan gaya kepemimpinan managing by wandering around. Pada first line manager keharusan menggunakan gaya kepemimpinan managing by wandering around biasanya distate dalam job description, bahwa mereka harus menghabiskan 70% - 80% waktu kerjanya untuk berada di lapangan melakukan managing by wandering around, dan 30% - 20% sisanya digunakan untuk mengerjakan pekerjaan managerial di kantor. Artinya jika dalam sehari jam kerja anda dari jam 08.00 – 17.00 (8 jam), maka 70% x 8 jam atau 5,6 jam harus dihabiskan untuk melakukan managing by wandering around, dan sisanya atau 2,4 jam baru mengerjakan pekerjaan managerial di kantor.

Porsi melakukan managing by wandering around antara first manager dengan middle manager tentunya berbeda. Semakin keatas posisi managerialnya maka semakin sedikit proporsi waktu yang dituangkan di job description untuk melakukan managing by wandering around. Bagi middle manager pada umumnya dalam job description nya dituliskan 50% waktunya harus digunakan untuk melakukan managing by wandering around di lapangan dan 50% waktu sisanya untuk melakukan managerial di kantor. Dan top manager di dalam job description nya biasanya dituliskan untuk menghabiskan 30% - 20% waktunya untuk melakukan managing by wandering around dan 70% - 80% waktunya untuk melakukan pekerjaan managerial di kantor. Jika kita melihat proporsi job description maka sebenarnya semua orang diminta untuk melakukan proses managerial di kantor (formal) dan melakukan proses managerial di lapangan (informal)

Sebagai salah satu tool managerial yang mengedepankan human touching (informal) tentunya akan berbeda dengan gaya kepemimpinan yang mengedepankan structural (formal). Perbedaan pendekatan tadi akan sangat terlihat pada proses managerial mulai dari proses plan, do, check, action (PDCA). Saat leader menggunakan dan menempatkan diri untuk melakukan gaya kepemimpinan formal maka tool untuk membuat PDCA akan dilakukan melalui meeting. Data untuk merencanakan, memonitor pelaksanaan dan mengevaluasi pelaksanaan didapat dari bawahan langsung, padahal peserta meeting yang terbatas dan kadang kala tidak malah terlibat langsung dalam pekerjaan bisa jadi memberikan data ABS (Asal Bos Senang).  
Sedangkan saat leader menggunakan pendekatan managing by wandering around yang mengedepankan human touching tool yang akan digunakan pun menjadi tool informal. Dengan menggunakan pendekatan managing by wandering around data PDCA didapat dari mengecek langsung di tempat pekerjaan dan bertemu langsung dengan orang yang mengerjakan pekerjaan. Data yang didapatkan pun menjadi lebih factual.

Tuesday, October 1, 2013

Blusukan "Managing by Wandering Around"

Satu tahun ini muncul fenomena Jokowi Effect. Berbekal gaya kepemimpinan blusukan nya, Jokowi menjadi leader yang dianggap mampu memimpin Indonesia. Terbukti dari semua hasil survey yang dikeluarkan oleh lembaga survey independen yang menyatakan elektabilitas Jokowi selalu di peringkat pertama. Bukankah ini menandakan, masyarakat Indonesia merindukan gaya kepemimpinan versi Jokowi.

Jika kita melihat sejarah, memang gaya kepemimpinan Jokowi cukup baru dalam sejarah kepemimpinan Indonesia. Mari tengok sejarah, presiden pertama memimpin Indonesia dengan demokrasi terpimpin dengan mengedepankan kharisma. Lain Soekarno, lain pula Soeharto. Presiden kedua ini lebih cenderung memainkan gaya kepemimpinan otoriter. Digulingkan dengan gerakan reformasi, munculah kemudian ilmuwan yang menjadi presiden. BJ Habibie dengan logika nya yang kuat memimpin Indonesia dengan gaya diplomasi. Dilanjutkan dengan presiden yang merakyat, Abdurahman Wahid yang menggunakan kepemimpinan moralis. Megawati yang selalu dibayang-bayangi nama besar Soekarno akhirnya meneruskan gaya kepemimpinan yang diajarkan bapak nya, gaya kharismatik yang malah kelihatan norak. Terakhir sang Presiden SBY menerapkan model diplomasi yang malah terkesan lambat mengambil keputusan. Terpengaruh dengan Jokowi Effect, SBY bahkan pernah mencoba gaya kepemimpinan blusukan yang diganti nama nya dengan "Turba-Turun Kebawah".

Sebenarnya blusukan nya Jokowi bukan hal yang baru dalam dunia management and leadership. Di tahun 1982 gaya kepemimpinan blusukan sebenarnya sudah dikenalkan Hawlet and Pakert, duo CEO pembuat komputer HP. Hawlet dan Pakert menamakan gaya kepemimpinan blusukan dengan istilah "Managing by Wandering Around". Sebelum mereka berdua memberi nama dengan Managing by Wandering Around, sebenarnya gaya kepemimpinan blusukan sudah digunakan oleh banyak pemimpin dunia. Namun, memang kemenangan Adam dari Iblis dan Malaikat karena Adam berhasil memberikan nama pada benda. Artinya walaupun gaya kepemimpinan managing by wandering around sudah dilakukan oleh para pemimpin dunia sebelum Hawlet dan Pakert memperkenalkan, namun karena berhasil memberikan nama, hak cipta itu jatuh di tangan Hawlet dan Pakert.

Salah satu pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan blusukan atau management by wandering around sebelum diperkenalkan Hawlet dan Parket (1982) adalah Muhammad Yunus. Peraih penghargaan nobel perdamaian ini menggunakan blusukan sejak tahun 1974 sudah menggunakan gaya kepemimpinan blusukan. Bank Grameen adalah salah satu hasil blusukan yang membawanya meraih nobel perdamaian. Di tahun 1974, Yunus melakukan blusukan di Joba. Di sana dia bertemu dengan seorang ibu-ibu yang sedang membuat kursi bambu. Dari blusukan yang dilakukan, Yunus mengetahui ibu tadi hanya mendapatkan untung 2 sen dari setiap kursi bambu yang dibuat, karena modal untuk membuat kursi bambu didapat dari rentenir, dengan perjanjian setiap kursi yang dihasilkan harus dijual kepada rentenir dengan harga yang sudah ditentukan oleh rentenir. Keuntungan yang hanya 2 sen tentu saja tidak cukup untuk menghidupi dirinya sendiri, apalagi keluarganya.

Dua hari berikutnya Muhammad Yunus kembali lagi ke Joba membawa mahasiswanya. Mereka melakukan survey, mahasiswanya menemukan ada 42 orang yang bernasib sama dengan ibu pembuat kursi bambu. Yunus dan mahasiswanya kemudian menghitung berapa modal yang dibutuhkan oleh 42 orang tersebut. Ternyata modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha dan membayar hutang kepada rentenir hanya sebesar US $ 27. Di tahun 1976, Yunus kemudian membuat bank untuk para keluarga miskin. Pada tahun 2004, dari modal awal sebesar US $ 27 telah berubah menjadi US $ 4,5 Milyar. Inilah yang dikatakan Muhammad Yunus saat ditanya resep kesuksesan nya "Saya meninggalkan pola pikir seekor burung, yang memungkinkan melihat segala-gala nya dari atas, dari langit. Saya mulai melakukan pandangan seekor cacing, yang berusaha mengetahui apa yang terpapar persis di depan mata saya - mencium baunya, menyentuhnya, dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan". Pandangan seekor cacing adalah kata lain dari blusukan nya Jokowi atau Management by Wandering Around nya Hawlet dan Pakert.