Score 3-0, menjadi score akhir kekalahan
team Merah Putih melawan team Thailand dalam pertandingan dunia Grup G Kualifikasi Piala Dunia 2022. Pertandingan
yang dilaksanakan di Gelora Bung Karno dan dihadiri 12.000 supporter Indonesia tersebut
tidak membantu anak asuhan Simon McMenemy memenangkan
laga tersebut. Lebih menyakitkan lagi bagi team Merah Putih, kekalahan mereka
juga harus dibayar dengan sorakan “boo” dari supporter.
Mari kita lihat pertandingan ini dari
sudut pandang supporter. Seorang supporter sering kali disebut sebagai pemain
ke 12 dalam pertandingan sepak bola. Kekompakan supporter dalam memberikan
dukungan seringkali menjadi tekanan psikis bagi pemain team lawan. Namun tetap
saja, pertandingan sepak bola hanya dimainkan oleh 11 orang. Namun kenapa
pemain ke – 12 Indonesia tidak bisa membawa team Merah Putih menjadi juara, dan
kenapa tanpa pemain ke-12, Thailand berhasil membobol gawang Indonesia sebanyak
3 kali. Peristiwa ini menunjukan pada kita bahwa peran supporter memang penting
di dalam sebuah pertandingan, namun keberadaan mereka tidak menjadi penentu
utama dalam sebuah permainan.
Akhiran “er” dalam kata supporter
menjadikan kata kerja support dilakukan oleh seseorang, atau dengan kata lain
supporter adalah orang yang melakukan support. Dalam organisasi, beberapa departemen
menyebut dirinya sebagai departemen support. Jika di bawa kembali
kepertandingan sepak bola maka supporter (departemen support) ini adalah
departemen yang penting walaupun mereka bukan penentu pertandingan. Keberaan
mereka “bagus” kalau ada, dan tidak masalah jika mereka tidak ada. Tentunya sayang
sekali jika departemen support memposisikan diri sebagai supporter
Sebenarnya apa factor utama yang
menentukan kemenangan pertandingan sepakbola? Hampir semua orang setuju bahwa
kompetensi pemain menjadi salah satu factor utama kemenangan pertandingan
sepakbola. Dan orang yang punya tanggungjawab besar untuk memastikan komptensi
pemain tersebut adalah seorang coach.
Mungkinkah seorang supporter berperan
sebagai seorang coach? Supporter bisa merasa lebih jago dari pemain ataupun
dari seorang pelatih, lihat saja komentar nya saat melihat pertandingan sepak
bola. Namun, sekeras apapun mereka berkomentar, kontribusi mereka dalam meningkatkan
kompetensi pemain tidak akan terlihat. Begitu juga dengan departemen support,
bisa jadi berpersepsi lebih hebat dari departemen core, namun kontribusinya dalam
kemenangan perusahaan tetap tidak terlihat. Sehigga ada tidaknya departemen
support tidak menjadi masalah
Dalam kondisi seperti ini, apakah Anda
masih mau memposisikan diri sebagai departemen support? Tentunya departemen
support perlu naik kelas, dari departemen support menjadi departemen mitra (partner).
Di dalam pertandingan sepak bola, partner pemain adalah coach mereka. Begitu
juga di dalam organisasi, departemen support yang naik kelas menjadi department
partner perlu menjadi coach.
Inilah yang menjadi visi dari
departemen Finance di acara Strengthen the Bonding salah satu perusahaan Semen beberapa
waktu yang lalu. Mereka mendeklarasikan diri untuk naik kelas dari departemen
support menjadi department business partner melalui Visi mereka “Finance as Business Partner, Serving With
Heart and Efficient”.
Keyakinan
akan visi ini diikuti dengan perubahan role distribution yang besar, dimana
Finance bukan lagi berfokus pada keuangan masa lalu (reactive), namun berperan
aktif keuangan masa depan (proactive). Jika di gambarkan dalam sebuah diagram
maka transisi tersebut berada pada perubahan dari kolom reactive dan accounting
menuju kolom Business Skill dan Proactive.