Salah
satu job des saya adalah memilih provider
training untuk pengembangan karyawan di perusahaan. Dan tentu saja untuk
memilih provider training ada beberapa kualifikasi yang kami tentukan, mulai
dari quality, facilitator training,
program pasca training, dan tentu
saja harga bersaing. Kalau sudah berdiskusi tentang harga bersaing disinilah
seni bernegosiasi dipraktekan.
Suatu
hari, saya bernegesoasi dengan salah satu provider penyelenggara Certified Professional
Coach. Biaya investasi early bird nya
adalah Rp 17.000.000,- dan normal investasinya adalah Rp 21.000.000 juta. Seperti biasa untuk pendaftaran early bird pasti ada batasan waktunya
dan syarat agar terdaftar sebagai peserta early
bird adalah dengan membayar down
payment sebesar Rp 4.000.000,-. Sebelum akhir waktu early bird, saya melakukan konfirmasi bahwa akan ada salah satu
karyawan kami yang mengikuti sertifikasi.
Berhubung,
ada kebijakan perusahaan maka saya tidak bisa membayarkan down payment nya. Saya pun menyampaikan hal tersebut kepada
marketing provider penyelenggara
sertifikasi tersebut. Dan jawaban marketingnya adalah “mohon maaf tidak bisa”. Gambit higher authority untuk bernegosiasi langsung saya pakai, “oke bu,
kalau begitu saya diskusi dengan superior terlebih dahulu”, walaupun
kenyataannya saya tida berdiskusi dengan atasan. Saya yakin provider tersebut membutuhkan peserta,
sehingga saya meyakini posisi saya lebih menguntungkan untuk melakukan
negosiasi.
Dua
hari sebelum batas waktu early bird
habis, saya menghubungi providernya. “Sepertinya untuk down payment nya tidak bisa ni bu”. “Begitu ya pak, saya diskusi
dengan team dulu ya”. Setelah batas waktu early
bird habis, marketingnya menghubungi saya “gimana pak, team nya jadi
diikutkan, early bird nya khusus
untuk bapak kita perpanjang lo”. “Mohon maaf bu, kalau dengan down payment untuk mendapatkan harga early bird kita tidak bisa”. Dan batas
waktu perpanjangan early bird untuk
saya pun akhirnya berakhir.
Berhubung
karyawan saya memang membutuhkan sertifikasi tersebut dan ternyata teknik
negosiasi higher authority gagal
diaplikasikan, sepertinya harus menggunakan jurus negosiasi lain, bad guy and good guy. Sudah terbayang dikepada untuk menjadikan superior
sebagai bad guy dan saya sebagai good guy. Saya menghubungi marketingnya,
“Mbak, karyawan yang akan ikut sertifikasi fix jadi ikut ya”. “Alkhamdulillah”
begitu jawab marketingnya. “Berhubung sudah konfirmasi di early bird, superior saya minta diharga early bird, bisa kan mbak?” “Ndak bisa pak, kan batas waktu early bird nya sudah habis, bapak juga belum
melakukan down payment”.
“Aduh
gimana ya mbak, superior saya agak ngotot ni mbak. Dia bandingin dengan
provider lain dan bisa, masak di tempat mbak ndak bisa, “jangan kaku-kaku”
katanya. Kalau sebagai pribadi, saya jadi gak enak sama jenengan, saya paham
lah kalau jenengan harus ngikuti role di perusahaan jenengan”. “Oh gitu ya pak”
marketingnya berkata. “Begitulah mbak, bahkan superior saya bilang, gak percaya
banget sih dengan perusahaan kita. Investasi kita untuk development karyawan
besar dan kita selalu bayar tepat waktu. Kerjasama kita bisa lebih panjang
lagi. Jadi bawa-bawa harga diri segala, kayaknya bos saya mbak, bisa dibantu
gak mbak, tolong nya”. “Ya udah pak, saya coba diskusi dengan management dulu
ya”.
Beberapa
hari kemudian, marketing provider nya menghubungi saya. “Halo pak, management
sudah memutuskan ni pak. Khusus untuk perusahaan bapak dan untuk isu ini, boleh
lah pak dibayar dengan early bird”. “Alkhamdulillah,
lega juga saya laporan ke si Bos. Makasih ya mbak”.
Perhatikan
dialog di atas, saya memerankan sebagai good
guy dan bos saya secara imajinasi ditampilkan sebagai bad guy, dan hasilnya luar biasa, negosiasi bisa dimenangkan.
Kenapa
peran bad guy dan good guy bisa membantu dalam proses negosiasi? Alasannya setiap
orang ingin dihargai. Saat bad guy
bernegosiasi maka harga diri dijatuhkan, dan good guy mengangkat harga diri mitra negosiasi. Di saat itulah
mitra negosiasi akan menjadi kawan Anda, dan saat sudah menjadi kawan, proses
negosiasi menjadi semakin mudah.
Berkah
selalu
N
Kuswandi
No comments:
Post a Comment