Resi Bisma, kakek para Pandawa dan Kurawa hari ini gusar hatinya. Sejak tadi malam, Nyanyian burung Prencak yang melengking di belakang rumah, seperti mensiratkan untuk waspada akan datangnya tamu yang tidak berkenan di hatinya. Betul juga, mentari yang masih belum seberapa tinggi dan makanan yang belum selesai disiapkan, kegusaran hatinya dijawab dengan datangnya tamu yang tidak diharapkan, Sengkuni dan Kurawa.
Tanpa basa-basi, Sengkuni sebagai juru bicara para Kurawa membuka omongan, "Duh Bisma, kakek para Kurawa, hari ini cucu-cucu mu datang kemari untuk meminta warisan pusaka Lengo Tolo, supaya cucu-cucu mu ini sakti tidak mempan dibacok senjata apapun jadi bisa melindungi kerajaan Hastinapura yang engkau wariskan". Terkejutlah Bisma mendengar permintaan para Kurawa, "Angger-angger ku Duryodono dan para Kurawa. Saya tidak punya pusaka Lengo Tolo, saya hanya dititipi oleh pemilik aslinya, Pandu Dewanata. Mintalah pada Pandu, atau pada anak turun nya". "Resi Bisma pilih kasih, Pandu sudah mati, warisan Lengo Tolo seharusnya jatuh pada bapak nya Pandu, yaitu Eyang Resi Bisma. Tidak salah dong kalau para Kurawa sebagai cucu mu meminta jatah Lengo Tolo" begitu Sengkuni berkata. Bisma menjawab "Jaga mulutmu, Sengkuni. Pandu masih punya pewaris yaitu para Pandawa. Mereka yang paling berhak mewarisi Lengo Tolo, bukan saya". "Kalau Eyang pilih kasih tidak mau membagi Lengo Tolo, kami para Kurawa terpaksa mengroyok Eyang Bisma untuk mengambil hak kami sebagai cucu eyang Bisma" Duryudana menimpali pembicaraan Sengkuni dan Bisma.
Mendengar kata-kata kakak tertua mereka, seperti diaba-aba, para Kurawa menyerang Bisma. Putra Dewi Gangga dengan Begawan sakti Abyaksa yang terkenal kesaktian nya tentu saja tidak mudah dikalahkan oleh Kurawa, namun tulang tua nya tidak sekeras waktu muda, walaupun sakti, kalau dikeroyok 100 orang habis juga tenaganya. Sisa-sisa tenaganya, digunakan untuk merapal mantra, dilemparlah Lengo Tolo itu kepertapaan para Pandawa. Kaget para Kurawa menyaksikan apa yang baru saja dilakukan kakek nya, Para Kurawa berebut mengejar Lengo Tolo yang dilempar kakek nya.
Di pertapaan para Pandawa, Bima melihat bintang kemungkus yang jatuh mengarah kepertapaan nya. Mengajak Pandawa yang lain, Bima mengejar bintang kemungkus yang ternyata pusaka Lengo Tolo. Untung tak dapat diraih, rugi tak dapat ditolak. Lengo Tolo itu kenapa harus jatuh ke sumur penuh ular beracun. Tidak berselang lama, para Kurawa yang mengejar pusaka Lengo Tolo sampai juga di sumur tempat jatuh nya Lengo Tolo. Hampir saja terjadi perkelahian antara Pandawa dan Kurawa kalau saja Resi Durna yang menyamar sebagai pencari rumput datang diantara mereka.
"Duh, angger-angger bagus, satria Hastinapura, apa yang diributkan di hutan yang tidak ada apa-apa ini". Duryudana menjawab "diam kau orang tua, ini urusan para satria, langcang benar bangsa sudra sepertimu mengurusi urusan para satria". Yudistira menimpali, "Eyang, kami kehilangan tempat minyak yang jatuh kedalam sumur. Saudara-saudara kami tidak ada yang berani mengambil nya, padahal tempat minyak itu kenenangan kakek kami Resi Bisma". "Oh, cuma itu to yang kalian ributkan. Sini Eyang ambilkan" Resi Durna menjawab. Diambilnya rumput gajah dan dibuatnya seperti anak panah. Resi Durna kemudian melemparkan rumput gajah tadi, satu persatu kedalam sumur seperti anak tangga yang mengangkat Lengo Tolo tadi.
Sampai di atas sumur, Kurawa sudah bersiap merebut Lengo Tolo. Walaupun, para Pandawa sadar bahwa Lengo Tolo adalah hak mereka, melihat kesaktian Resi Durna, mereka memilih melakukan sembah bakti untuk diangkat sebagai murid dari pada memperebutkan Lengo Tolo. Berbeda dengan Pandawa, para Kurawa masih saja tertarik dengan kesaktian Lengo Tolo dibandingkan kesaktian Resi Durna. Mereka saling tidak mau mengalah diantara para saudara nya, Kurawa saling berebut mengoleskan Lengo ke tubuh mereka. Mereka tidak menyadari Lengo Tolo itu sudah tumpak dan dipakai Sengkuni untuk mengolesi tubuh nya sendiri.
Peristiwa ini lah yang menjadi awal character satria yang dimiliki Pandawa dan Kurawa. Pandawa yang dengan keinginan hati nya menginginkan proses pembelajaran untuk mendapatkan kesaktian dan character para satria lebih memilih berproses dengan Resi Durna. Berbeda dengan Pandawa, Kurawa lebih memilih cara instan untuk mendapat kesaktian. Mereka berebut Lengo Tolo untuk membuat tubuh mereka sakti, kebal terhadap senjata apapun. Mereka berfikir saat mereka sudah sakti maka mereka sudah layak disebut satria. Padahal tidak begitu, seorang satria selain pintar harus juga memiliki sifat-sifat (character) satria. Character ini tidak bisa mereka dapat dari Lengo Tolo, tapi harus didapat dari proses pembelajaran dan rutinitas dengan sang Guru.
Pikiran para Kurawa ini sadar atau tidak seringkali menjadi bagian dari pikiran kita. Kalau saya sudah pintar (sakti) bearti sudah layak mendapat apapun, menjadi pemimpin, menjadi kaya, dan lain sebagainya. Padahal menjadi pemimpin, ataupun menjadi kaya tidak cukup hanya pintar saja. Namun, harus juga dibekali dengan character. Bahkan, Daniel Goleman pakar Kecerdasan emosi menemukan bahwa kesuksesan seseorang hanya 20% saja dipengaruhi oleh kepintaran. Sedangkan, 80% sisa nya dipengaruhi oleh character. Tak salah kalau Pandawa lebih sukses dalam perang Kurusetra melawan para Kurawa.
Banzai Selalu
N. Kuswandi
Tanpa basa-basi, Sengkuni sebagai juru bicara para Kurawa membuka omongan, "Duh Bisma, kakek para Kurawa, hari ini cucu-cucu mu datang kemari untuk meminta warisan pusaka Lengo Tolo, supaya cucu-cucu mu ini sakti tidak mempan dibacok senjata apapun jadi bisa melindungi kerajaan Hastinapura yang engkau wariskan". Terkejutlah Bisma mendengar permintaan para Kurawa, "Angger-angger ku Duryodono dan para Kurawa. Saya tidak punya pusaka Lengo Tolo, saya hanya dititipi oleh pemilik aslinya, Pandu Dewanata. Mintalah pada Pandu, atau pada anak turun nya". "Resi Bisma pilih kasih, Pandu sudah mati, warisan Lengo Tolo seharusnya jatuh pada bapak nya Pandu, yaitu Eyang Resi Bisma. Tidak salah dong kalau para Kurawa sebagai cucu mu meminta jatah Lengo Tolo" begitu Sengkuni berkata. Bisma menjawab "Jaga mulutmu, Sengkuni. Pandu masih punya pewaris yaitu para Pandawa. Mereka yang paling berhak mewarisi Lengo Tolo, bukan saya". "Kalau Eyang pilih kasih tidak mau membagi Lengo Tolo, kami para Kurawa terpaksa mengroyok Eyang Bisma untuk mengambil hak kami sebagai cucu eyang Bisma" Duryudana menimpali pembicaraan Sengkuni dan Bisma.
Mendengar kata-kata kakak tertua mereka, seperti diaba-aba, para Kurawa menyerang Bisma. Putra Dewi Gangga dengan Begawan sakti Abyaksa yang terkenal kesaktian nya tentu saja tidak mudah dikalahkan oleh Kurawa, namun tulang tua nya tidak sekeras waktu muda, walaupun sakti, kalau dikeroyok 100 orang habis juga tenaganya. Sisa-sisa tenaganya, digunakan untuk merapal mantra, dilemparlah Lengo Tolo itu kepertapaan para Pandawa. Kaget para Kurawa menyaksikan apa yang baru saja dilakukan kakek nya, Para Kurawa berebut mengejar Lengo Tolo yang dilempar kakek nya.
Di pertapaan para Pandawa, Bima melihat bintang kemungkus yang jatuh mengarah kepertapaan nya. Mengajak Pandawa yang lain, Bima mengejar bintang kemungkus yang ternyata pusaka Lengo Tolo. Untung tak dapat diraih, rugi tak dapat ditolak. Lengo Tolo itu kenapa harus jatuh ke sumur penuh ular beracun. Tidak berselang lama, para Kurawa yang mengejar pusaka Lengo Tolo sampai juga di sumur tempat jatuh nya Lengo Tolo. Hampir saja terjadi perkelahian antara Pandawa dan Kurawa kalau saja Resi Durna yang menyamar sebagai pencari rumput datang diantara mereka.
"Duh, angger-angger bagus, satria Hastinapura, apa yang diributkan di hutan yang tidak ada apa-apa ini". Duryudana menjawab "diam kau orang tua, ini urusan para satria, langcang benar bangsa sudra sepertimu mengurusi urusan para satria". Yudistira menimpali, "Eyang, kami kehilangan tempat minyak yang jatuh kedalam sumur. Saudara-saudara kami tidak ada yang berani mengambil nya, padahal tempat minyak itu kenenangan kakek kami Resi Bisma". "Oh, cuma itu to yang kalian ributkan. Sini Eyang ambilkan" Resi Durna menjawab. Diambilnya rumput gajah dan dibuatnya seperti anak panah. Resi Durna kemudian melemparkan rumput gajah tadi, satu persatu kedalam sumur seperti anak tangga yang mengangkat Lengo Tolo tadi.
Sampai di atas sumur, Kurawa sudah bersiap merebut Lengo Tolo. Walaupun, para Pandawa sadar bahwa Lengo Tolo adalah hak mereka, melihat kesaktian Resi Durna, mereka memilih melakukan sembah bakti untuk diangkat sebagai murid dari pada memperebutkan Lengo Tolo. Berbeda dengan Pandawa, para Kurawa masih saja tertarik dengan kesaktian Lengo Tolo dibandingkan kesaktian Resi Durna. Mereka saling tidak mau mengalah diantara para saudara nya, Kurawa saling berebut mengoleskan Lengo ke tubuh mereka. Mereka tidak menyadari Lengo Tolo itu sudah tumpak dan dipakai Sengkuni untuk mengolesi tubuh nya sendiri.
Peristiwa ini lah yang menjadi awal character satria yang dimiliki Pandawa dan Kurawa. Pandawa yang dengan keinginan hati nya menginginkan proses pembelajaran untuk mendapatkan kesaktian dan character para satria lebih memilih berproses dengan Resi Durna. Berbeda dengan Pandawa, Kurawa lebih memilih cara instan untuk mendapat kesaktian. Mereka berebut Lengo Tolo untuk membuat tubuh mereka sakti, kebal terhadap senjata apapun. Mereka berfikir saat mereka sudah sakti maka mereka sudah layak disebut satria. Padahal tidak begitu, seorang satria selain pintar harus juga memiliki sifat-sifat (character) satria. Character ini tidak bisa mereka dapat dari Lengo Tolo, tapi harus didapat dari proses pembelajaran dan rutinitas dengan sang Guru.
Pikiran para Kurawa ini sadar atau tidak seringkali menjadi bagian dari pikiran kita. Kalau saya sudah pintar (sakti) bearti sudah layak mendapat apapun, menjadi pemimpin, menjadi kaya, dan lain sebagainya. Padahal menjadi pemimpin, ataupun menjadi kaya tidak cukup hanya pintar saja. Namun, harus juga dibekali dengan character. Bahkan, Daniel Goleman pakar Kecerdasan emosi menemukan bahwa kesuksesan seseorang hanya 20% saja dipengaruhi oleh kepintaran. Sedangkan, 80% sisa nya dipengaruhi oleh character. Tak salah kalau Pandawa lebih sukses dalam perang Kurusetra melawan para Kurawa.
Banzai Selalu
N. Kuswandi
No comments:
Post a Comment