Rahwana atau yang sering kita kenal dengan Dasamuka memiliki enam saudara lelaki dan dua saudara perempuan. Dua diantara saudaranya menjadi terkenal karena peran keduanya dalam kisah "Ramayana", mereka adalah Kumbakarna dan Wibisana. Dididik untuk menjadi satria membuat Kumbakarna dan Wibisana memegang nilai-nilai seorang satria. Mulai dari nilai menjunjung kebenaran, membela tanah air, berani, bertanggungjawab dan seterusnya. Nilai-nilai jiwa satria yang mendarah daging akhirnya mendapat ujian saat Rama bersama pasukan kera (wanara) menyerang Alengka untuk merebut kembali istrinya (Sinta) yang telah diculik oleh Rahwana.
Kedatangan Rama ke Alengka bertepatan saat Kumbakarno sedang Nendrasan (tidur selama enam bulan) sebagai anugrah dari Dewa Brahma. Rahwana memerintahkan semua rakyat nya membuat bunyi-bunyian dan menghidangkan makanan yang enak untuk membangunkan Kumbakarno. Akhirnya Kumbakarno terbangun dan mendengarkan masalah yang dialami kakak nya. Jiwa satria nya memberontak dan memberikan nasihat kepada Rahwana, menyadarkan bahwa tindakanya keliru. Namun, Rahwana tidak mau mendengar nasihat adiknya. Ketika Rahwana kewalahan menghadapi Sri Rama, maka ia menyuruh Kumbakarna menghadapinya. Kumbakarna sebenarnya sadar jika perbuatan kakaknya salah, namun jiwa satria nya untuk membela Alengka tanah tumpah darahnya muncul dia pun maju sebagai prajurit Alengka melawan serbuan Rama. Kumbakarna berperang melawan Rama tanpa rasa permusuhan, hanya semata-mata menjalankan nilai satria yang dia anut, membela tumpah darah nya (right or wrong this is my country).
Dalam peperangan, Kumbakarna banyak membunuh pasukan wanara dan banyak melukai prajurit pilihan. Dengan panah saktinya, Rama memutuskan kedua tangan Kumbakarna. Namun dengan kakinya, Kumbakarna masih bisa menginjak-injak pasukan wanara. Rama menembakkan panah keduanya untuk memotong kedua kaki Kumbakarna. Tanpa tangan dan kaki, Kumbakarna mengguling-gulingkan badannya dan melindas pasukan wanara. Melihat keperkasaan Kumbakarna, Rama merasa terkesan dan kagum. Namun ia tidak ingin Kumbakarna tersiksa terlalu lama. Akhirnya Rama melepaskan panahnya yang terakhir. Panah tersebut memisahkan kepala Kumbakarna dari badannya dan membawanya terbang, lalu jatuh di pusat kota Alengka. Tubuh Kumbakarna yang semula terpotong potong,dan tercecer dimana mana, tiba tiba menyatu menjadi Kumbakarna yang utuh kembali. Kumbakarna bangkit kembali dan hilang dari pandangan mata. Rupanya Kumbakarna, moksha. Jiwa dan raga Kumbakarna diterima oleh dewa, dan ditempatkan di Swarga Pangrantunan.
Mengambil jalan yang berbeda dengan Kumbakarna, Wibisono - adik Rahwana yang lain memilih jiwa satria dengan mengutamakan nilai kebenaran. Meyakini bahwa perbuatan kakak tertuanya salah, Wibisono menasehati kakaknya, Rahwana, agar mengembalikan Dewi Shinta kepangkuan Sri Rama. Bukannya mendengarkan Gunawan, Rahwana malah menuduh adiknya ini sebagai adik yang iri akan kekuasaan kakaknya. Wibisono pun memutuskan mengikuti nilai satria, kebenaran sejati. Wibisono pun bergabung dengan Sri Rama untuk menghancurkan kebatilan yang diperbuat kakak nya.
Epos dilema nilai antara adik kakak Kumbakarna dan Gunawan Wibisono sering kali menjadi diskusi yang menarik tentang internalisasi value. Kedua satria tadi kalau boleh dikata sudah terinternalisasi value nya. Perilaku mereka mencerminkan internalisasi value menjadi system kepercayaan yang menjadi dasar seseorang bertindak.
Memang menjadi dilema saat value yang dimiliki saling berbenturan. Seperti hal nya kisah penyerbuan Alengka tersebut. Manakah yang lebih benar, Kumbakarna yang terinternalisasi nilai satria membela tanah air, atau Wibisono yang terinternalisasi nilai satria membela kebenaran?
Di dunia nyata dilema seperti ini juga bisa terjadi. Masih segar ingatan kita tentang penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, pada tanggal 23 Maret 2013. Dalam waktu sangat singkat hanya 15 menit saja, penyerang mampu menewaskan empat tahanan tewas dan dua sipir terluka. Banyak pihak mensinyalir dari waktu yang dibutuhkan untuk melumpuhkan penjaga dan menembak empat tahanan, diduga penyerang adalah pasukan terlatih. Dugaan itupun mengarah pada TNI yang memang selama ini dikenal sering tidak cocok dengan Polisi.
Hasil investigasi pun menemukan penyerangan LP Cebongan tersebut memang dilakukan oleh pasukan elit TNI, Kopasus. Di latar belakangi dari "Jiwa Korsa" yang merupakan value TNI, para oknum Kopasus menuntut dendam atas dibunuhnya Sersan Kepala Santoso, anggota Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat dari Grup II Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah oleh empat preman yang mereka eksekusi Lapas Cebongan.
Para petinggi militer, pengamat militer, politikus dan para pejuang HAM pun memberikan komentar berdasar sudut pandang nya. Uniknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyoyang walaupun menegur tindakan main hakim sendiri, namun SBY juga mengapresiasi para pelaku penyerangan Lapas Cebongan telah bersikap ksatria, karena sudah menerapkan value TNI utk berjiwa korsa dan bertanggungjawab atas penyerangan dengan menyerahkan diri.
Tindakan yang dilakukan para oknum Kopasus tersebut jika dirunut sebenarnya juga ada dilema meng "imtaq" kan value. Selain jiwa korsa, para Kopasus sebenarnya juga ditanamkan nilai-nilai lain seperti bertanggungjawab, membela tanah air, dll. Lebih jauh, nilai-nilai yang ditanamkan dapat dilihat dari lambang Kopasus. Sayangnya para oknum Kopasus melupakan nilai membela tanah air dengan mengikuti aturan perundang-undangan. Sehingga yang terjadi nila jiwa korsanya mendapat apresiasi, namun nilai satu nya mendapat cemohan.
Pertamina sadar, dilema seperti kisah penyerbuan tadi bisa juga terjadi di Pertamina. Berbekal company value yang disingkat dengan 6 C (clean, confident, costumer focus, competitive, commercial dan capable), pertamina melakukan transformasi. Para CEO Pertamina kemudian memutuskan harus ada nilai yang menjadi garda terdepan jika ada sebuah peristiwa yang memunculkan dilema. Mereka pun memutuskan bahwa nilai paling depan itu adalah clean (integritas). Sehingga jika ada peristiwa yang memunculkan dilema value, para karyawan Pertamina bisa mengembalikan pada value clean. Kesamaan gerak inilah yang menjadikan Pertamina berubah dari Gajah gendut pemalas menjadi Gajah gesit.
Banzai Selalu
N. Kuswandi
Dalam peperangan, Kumbakarna banyak membunuh pasukan wanara dan banyak melukai prajurit pilihan. Dengan panah saktinya, Rama memutuskan kedua tangan Kumbakarna. Namun dengan kakinya, Kumbakarna masih bisa menginjak-injak pasukan wanara. Rama menembakkan panah keduanya untuk memotong kedua kaki Kumbakarna. Tanpa tangan dan kaki, Kumbakarna mengguling-gulingkan badannya dan melindas pasukan wanara. Melihat keperkasaan Kumbakarna, Rama merasa terkesan dan kagum. Namun ia tidak ingin Kumbakarna tersiksa terlalu lama. Akhirnya Rama melepaskan panahnya yang terakhir. Panah tersebut memisahkan kepala Kumbakarna dari badannya dan membawanya terbang, lalu jatuh di pusat kota Alengka. Tubuh Kumbakarna yang semula terpotong potong,dan tercecer dimana mana, tiba tiba menyatu menjadi Kumbakarna yang utuh kembali. Kumbakarna bangkit kembali dan hilang dari pandangan mata. Rupanya Kumbakarna, moksha. Jiwa dan raga Kumbakarna diterima oleh dewa, dan ditempatkan di Swarga Pangrantunan.
Mengambil jalan yang berbeda dengan Kumbakarna, Wibisono - adik Rahwana yang lain memilih jiwa satria dengan mengutamakan nilai kebenaran. Meyakini bahwa perbuatan kakak tertuanya salah, Wibisono menasehati kakaknya, Rahwana, agar mengembalikan Dewi Shinta kepangkuan Sri Rama. Bukannya mendengarkan Gunawan, Rahwana malah menuduh adiknya ini sebagai adik yang iri akan kekuasaan kakaknya. Wibisono pun memutuskan mengikuti nilai satria, kebenaran sejati. Wibisono pun bergabung dengan Sri Rama untuk menghancurkan kebatilan yang diperbuat kakak nya.
Epos dilema nilai antara adik kakak Kumbakarna dan Gunawan Wibisono sering kali menjadi diskusi yang menarik tentang internalisasi value. Kedua satria tadi kalau boleh dikata sudah terinternalisasi value nya. Perilaku mereka mencerminkan internalisasi value menjadi system kepercayaan yang menjadi dasar seseorang bertindak.
Memang menjadi dilema saat value yang dimiliki saling berbenturan. Seperti hal nya kisah penyerbuan Alengka tersebut. Manakah yang lebih benar, Kumbakarna yang terinternalisasi nilai satria membela tanah air, atau Wibisono yang terinternalisasi nilai satria membela kebenaran?
Di dunia nyata dilema seperti ini juga bisa terjadi. Masih segar ingatan kita tentang penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, pada tanggal 23 Maret 2013. Dalam waktu sangat singkat hanya 15 menit saja, penyerang mampu menewaskan empat tahanan tewas dan dua sipir terluka. Banyak pihak mensinyalir dari waktu yang dibutuhkan untuk melumpuhkan penjaga dan menembak empat tahanan, diduga penyerang adalah pasukan terlatih. Dugaan itupun mengarah pada TNI yang memang selama ini dikenal sering tidak cocok dengan Polisi.
Hasil investigasi pun menemukan penyerangan LP Cebongan tersebut memang dilakukan oleh pasukan elit TNI, Kopasus. Di latar belakangi dari "Jiwa Korsa" yang merupakan value TNI, para oknum Kopasus menuntut dendam atas dibunuhnya Sersan Kepala Santoso, anggota Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat dari Grup II Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah oleh empat preman yang mereka eksekusi Lapas Cebongan.
Para petinggi militer, pengamat militer, politikus dan para pejuang HAM pun memberikan komentar berdasar sudut pandang nya. Uniknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyoyang walaupun menegur tindakan main hakim sendiri, namun SBY juga mengapresiasi para pelaku penyerangan Lapas Cebongan telah bersikap ksatria, karena sudah menerapkan value TNI utk berjiwa korsa dan bertanggungjawab atas penyerangan dengan menyerahkan diri.
Tindakan yang dilakukan para oknum Kopasus tersebut jika dirunut sebenarnya juga ada dilema meng "imtaq" kan value. Selain jiwa korsa, para Kopasus sebenarnya juga ditanamkan nilai-nilai lain seperti bertanggungjawab, membela tanah air, dll. Lebih jauh, nilai-nilai yang ditanamkan dapat dilihat dari lambang Kopasus. Sayangnya para oknum Kopasus melupakan nilai membela tanah air dengan mengikuti aturan perundang-undangan. Sehingga yang terjadi nila jiwa korsanya mendapat apresiasi, namun nilai satu nya mendapat cemohan.
Pertamina sadar, dilema seperti kisah penyerbuan tadi bisa juga terjadi di Pertamina. Berbekal company value yang disingkat dengan 6 C (clean, confident, costumer focus, competitive, commercial dan capable), pertamina melakukan transformasi. Para CEO Pertamina kemudian memutuskan harus ada nilai yang menjadi garda terdepan jika ada sebuah peristiwa yang memunculkan dilema. Mereka pun memutuskan bahwa nilai paling depan itu adalah clean (integritas). Sehingga jika ada peristiwa yang memunculkan dilema value, para karyawan Pertamina bisa mengembalikan pada value clean. Kesamaan gerak inilah yang menjadikan Pertamina berubah dari Gajah gendut pemalas menjadi Gajah gesit.
Banzai Selalu
N. Kuswandi
No comments:
Post a Comment