Tuesday, November 25, 2014

Tongkat Bicara Elang Botak Chereokee


 
 
 
 
 
Dahulu kala di abad ke-12, suku-suku asli Amerika yang sering dikenal sebagai suku Indian sering kali berperang. Suku-suku besar seperti Mohawk, Oneida, Onodaga, Cayuga, dan Seneca selalu memiliki alasan untuk bertempur merebutkan sesuatu. Suku yang kalah akan menjadi budak.

 
Terkisahlah seorang pejuang bernama Hiawatha yang juga ikut berjuang secara intelektual dan spiritual. Bukan untuk mengalahkan kelima suku lain, namun menyatukan mereka.

 
Selama melakukan "perang" intelektual dan spiritual, Hiawata hanya memiliki satu senjata sakti bernama "Elang Botak". Bentuknya berupa tongkat yang diatasnya diikat bulu elang sebagai simbol keberanian dan kebijaksanaan untuk berbicara kejujuran dan kebijaksanaan.

 
Bulu kelinci di ujung tongkat mengingatkan bahwa kata yang terucap harus dari hati dan kata-kata yang lembut dan hangat. Batu biru yang tergantung dibawah tongkat akan mengingatkan bahwa Roh Besar mendengar pesan hati dan kata-kata yang diucapkan.

 
Kulit warna-warni yang menyelimuti tongkat menandakan bertindak secara flexsible untuk menerima orang lain. Keempat manik-mani yang berwarna-warni sebagai lambang kekuatan semesta yang ada di tangannya. Pada tongkat juga tertempel rambut kerbau besar, kekuatan dan tenaga hewan besar ini akan membantu orang saat berbicara.

 
Di waktu-waktu khusus, Hiawata selalu mengumpulkan para tetua suku untuk "berperang". Hiawata memainkan perannya sebagai pemegang senjata sakti. Elang Botak yang sebenarnya adalah tongkat bicara yang membuat orang berbicara tanpa disela. Sang Pemegang Tongkat wajib didengarkan dan dipahami.

 
Tongkat bicara tidak berhubungan dengan memenangkan argumentasi, namun lebih pada mendengarkan cerita seseorang dan memahami hatinya.

 
Selama para tetua berkumpul, mereka masing-masing memiliki hak untuk secara bergantian memegang Tongkat Elang Botak. Setiap tetua menyuarakan kebenaran mereka. Tidak ada tetua yang lebih penting daripada orang lain, semuanya sama, tidak ada awal maupun akhir. Semua orang ucapannya diterima dan dihormati dengan perlakuan yang sama.

 
Setelah beberapa kali bertemu, terciptalah keputusan efektif yang merekat semua suku untuk saling berdamai. Kelima suku pun tidak pernah lagi berperang.

 
Pertemuan para tetua itu kemudian diabadikan para sejarawan dengan nama konfederasi Iroquois. Sistem ini disebut sebagai Hukum Besar Perdamaian. Setiap kali ada perselisihan diantara para suku, para wakil suku akan berkumpul dan dilibatkan dengan suara yang sama untuk bermusyawarah mufakat.

 
Apa yang bisa kita pelajari dari cerita Hiawata yang berhasil mendamaikan suku-suku Indian?

 
Senjata "Tongkat Elang Botak" sepertinya bisa kita adopsi untuk melibatkan stakeholder untuk mencapai keputusan yang efektif.

 
Ajak semua stakeholder untuk menyuarakan kebenaran disisi mereka. Tugas stakeholder yang lain adalah mendengarkan dengan empati, tidak menghakimi, tidak mendengarkan untuk menjawab, namun merasakan kebenaran dari pihak lain.

 
Gilir semua stakeholder untuk menyampaikan kebenarannya. Dan akhirnya putuskan sebuah keputusan yang efektif. Sebuah keputusan yang sesuai dengan outcome yang ingin dituju, dan semua stakeholder bersemangat menjalankan keputusan tersebut.

 
Proses Tongkat Elang Botak akan sangat efektif saat semua stakeholder memiliki paradigma empati yang sama.

 
Berkah Selalu
N Kuswandi



No comments:

Post a Comment