Dahulu kala di abad ke-12, suku-suku asli
Amerika yang sering dikenal sebagai suku Indian sering kali berperang.
Suku-suku besar seperti Mohawk, Oneida, Onodaga, Cayuga, dan Seneca selalu
memiliki alasan untuk bertempur merebutkan sesuatu. Suku yang kalah akan
menjadi budak.
Terkisahlah seorang pejuang bernama Hiawatha
yang juga ikut berjuang secara intelektual dan spiritual. Bukan untuk
mengalahkan kelima suku lain, namun menyatukan mereka.
Selama melakukan "perang" intelektual
dan spiritual, Hiawata hanya memiliki satu senjata sakti bernama "Elang
Botak". Bentuknya berupa tongkat yang diatasnya diikat bulu elang sebagai
simbol keberanian dan kebijaksanaan untuk berbicara kejujuran dan kebijaksanaan.
Bulu kelinci di ujung tongkat mengingatkan
bahwa kata yang terucap harus dari hati dan kata-kata yang lembut dan hangat.
Batu biru yang tergantung dibawah tongkat akan mengingatkan bahwa Roh Besar
mendengar pesan hati dan kata-kata yang diucapkan.
Kulit warna-warni yang menyelimuti tongkat
menandakan bertindak secara flexsible untuk menerima orang lain. Keempat
manik-mani yang berwarna-warni sebagai lambang kekuatan semesta yang ada di
tangannya. Pada tongkat juga tertempel rambut kerbau besar, kekuatan dan tenaga
hewan besar ini akan membantu orang saat berbicara.
Di waktu-waktu khusus, Hiawata selalu
mengumpulkan para tetua suku untuk "berperang". Hiawata memainkan
perannya sebagai pemegang senjata sakti. Elang Botak yang sebenarnya adalah
tongkat bicara yang membuat orang berbicara tanpa disela. Sang Pemegang Tongkat
wajib didengarkan dan dipahami.
Tongkat bicara tidak berhubungan dengan
memenangkan argumentasi, namun lebih pada mendengarkan cerita seseorang dan
memahami hatinya.
Selama para tetua berkumpul, mereka
masing-masing memiliki hak untuk secara bergantian memegang Tongkat Elang
Botak. Setiap tetua menyuarakan kebenaran mereka. Tidak ada tetua yang lebih
penting daripada orang lain, semuanya sama, tidak ada awal maupun akhir. Semua orang
ucapannya diterima dan dihormati dengan perlakuan yang sama.
Setelah beberapa kali bertemu, terciptalah
keputusan efektif yang merekat semua suku untuk saling berdamai. Kelima suku
pun tidak pernah lagi berperang.
Pertemuan para tetua itu kemudian diabadikan
para sejarawan dengan nama konfederasi Iroquois. Sistem ini disebut sebagai
Hukum Besar Perdamaian. Setiap kali ada perselisihan diantara para suku, para
wakil suku akan berkumpul dan dilibatkan dengan suara yang sama untuk
bermusyawarah mufakat.
Apa yang bisa kita pelajari dari cerita Hiawata
yang berhasil mendamaikan suku-suku Indian?
Senjata "Tongkat Elang Botak"
sepertinya bisa kita adopsi untuk melibatkan stakeholder untuk mencapai
keputusan yang efektif.
Ajak semua stakeholder untuk menyuarakan
kebenaran disisi mereka. Tugas stakeholder yang lain adalah mendengarkan dengan
empati, tidak menghakimi, tidak mendengarkan untuk menjawab, namun merasakan
kebenaran dari pihak lain.
Gilir semua stakeholder untuk menyampaikan
kebenarannya. Dan akhirnya putuskan sebuah keputusan yang efektif. Sebuah
keputusan yang sesuai dengan outcome yang ingin dituju, dan semua stakeholder
bersemangat menjalankan keputusan tersebut.
Proses Tongkat Elang Botak akan sangat efektif
saat semua stakeholder memiliki paradigma empati yang sama.
N Kuswandi
No comments:
Post a Comment