Maka Yesus berkata kepada mereka: Seorang nabi dihormati
dimana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan
di rumahnya. Markus 6:4
Dengan tafsir yang bebas, Nabi bisa
diartikan sebagai orang-orang yang hebat, orang-orang yang memiliki mimpi dan
orang-orang yang diakui memiliki prestasi. Kata-kata itu sedikit banyak masuk
akal juga. Tidak sedikit orang-orang berprestasi dari Indonesia yang lebih
memilih berhijrah ke luar negeri, ke tempat orang-orang lebih menghargai
prestasinya.
Sebut saja Sehat Sutardja, pria berusia
49 Tahun ini memilih berhijrah ke Amerika Serikat dan menjadi orang terkaya sedunia
no. 300 versi Majalah Forbes. Anak bangsa lain yang diakui di luar negeri namun
di caci di Indonesia adalah Sri Mulyani. Di hina karena kebijaksanaan nya di
kasus century, namun di luar negeri diakui sebagai
menteri terbaik yang dimiliki dunia. Bahkan, Sri Mulyani diangkat sebagai direktur
pelaksana, karena prestasinya menangani krisis ekonomi, menerapkan reformasi,
dan memperoleh respek dari kolega-koleganya dari berbagai penjuru dunia.
Begitu juga dengan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Dibalik begitu banyak nya dukungan di pemilu presiden 2004 (69.266.350 orang)
dan 2009 (73,874,562 orang), SBY banyak dikecam
oleh media. Dari media lah kemudian rakyat mendapatkan sikap nasionalisme nya
terhadap pemerintahan SBY, dimusuhi di negara nya sendiri.
Padahal sebuah kejadian yang sama selalu bisa
dilihat dari sisi-sisi yang berbeda. Saat SBY sebagai Ketua Umum Demokrat yang
memosisikan diri ditengah diantara koalisi. Bergerak secara isu, tidak memihak
pada koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat. Bisa saja kita melihat
dari sisi negative sebagai ketidaktegasan
SBY menempatkan idealismenya. Padahal disisi yang lain, kita bisa melihat
keputusan itu sebagai kekuatan penyeimbang yang baik untuk kedua koalisi.
Atau sikap SBY saat memutuskan sesuatu,
layaknya kasus yang sedang hangat tentang kenaikan BBM yang diminta presiden
terpilih, Jokowi. Jika dilihat dari satu sisi orang akan melihat SBY menghindar
mengambil keputusan (decision dogging)
untuk menaikan BBM di era pemerintahannya. Atau jika kita ingin membuka
pandangan kita lebih lebar lagi, sebenarnya SBY tidak ingin meninggalkan beban eksekusi
bidang strategic di tengah jalan.
Sayangnya, media kita lebih senang hanya
memandang sebuah kejadian dari satu sudut pandang saja. Netralitas jurnalisme
yang menjadi kode etik pun entah hilang kemana. Bahkan kita sering kali
mendengar istilah “menggoreng berita”,
berita yang sederhana bisa menjadi luar biasa ditangan jurnalis yang hebat. Pada
akhirnya, bukan logika murni yang ditangkap masyarakat, namun persepsi yang
menimbulkan bibit-bibit kekecewaan. Tak heran kemudian jurnalis senior semisal
Andy F Nova sempat memilih menggantung pena nya, menghindari dunia yang
dicintai nya, karena hanya berisi berita-berita negative tentang Indonesia. Beruntung masih ada orang yang memahami
Andy F Noya dengan memberikan fasilitas acara sendiri untuk bisa memberitakan
berita secara netral lewat acara Kick
Andy.
Nampaknya benar perkataan Benedict Anderson,
bahwa nasionalisme kita sekarang lahir dari berita media massa. Benedict
Anderson menyebutnya sebagai printed nationalism.
Berbeda dengan cara pandang jurnalisme yang
melihat di satu sisi, layaknya mengguatkan ayat Al Kitab, bahwa nabi tidak
dihormati di negeri nya sendiri, organisasi dan negara diluar negeri berlomba-lomba
memberikan penghargaan pada SBY. Sebut saja penghargaan dari Appeal of
Conscience Fondation (AFC) dengan penghargaan World Statesman Award. Sebuah pencapaian atas penciptaan iklim kerukunan antar
umat.
Dunia juga mengakui pencapaian Indonesia dibidang
pertumbuhan ekonomi. Selama tahun 2004 sampai tahun 2014, Indonesia tumbuh
menjadi negara dengan GDP 15 besar dunia. Kebanggaan itu makin terasa saat
Indonesia masuk menjadi negara G-20. Padahal di tahun 2008, dunia sedang
mengalami krisis ekonomi global. Di dalam gelombang krisis itu, perekonomian Indonesia
dibawah pemerintahan SBY malah bertumbuh
6% dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar
no. 2 setelah Tiongkok (7.7%).
Dan tentunya masih banyak lagi prestasi Indonesia
selama kepemimpinan SBY yang diakui dunia internasional.
Satu hal yang menurut saya menarik adalah
perjuangan SBY untuk melanjutkan cita-cita bung Karno yang menginginkan
Indonesia berperan di dunia Internasional. Akhirnya datang lagi Moment saat
Indonesia yang diwakili SBY akhirnya bisa berpidato lagi dihadapan
negara-negara sedunia (PBB). Pada bulan September kemarin lah, Indonesia ditunjuk sebagai
Ketua Komite 1 Majelis Umum PBB untuk sesi ke-67, dalam Sidang Majelis Umum PBB
Tentunya penghargaan dari dunia luar itu
juga menuai pro dan kontra, layaknya semua tindakan yang dilakukan SBY. Ada yang tidak setuju, SBY tidak layak
menerima penghargaan itu, dan tentunya ada yang setuju saat SBY dinobatkan
menerima penghargaan-penghargaan itu.
Saya meyakini perbedaan pro dan kontra
ini berasal dari sudut pandang “ukuran” yang berbeda. Bisa jadi ukuran para
pemberi penghargaan adalah dengan membandingkan satu negara dengan negara lain.
Sedangkan orang lain mengukur ketidaklayakan itu dari ukuran praktis yang
berbeda.
Dibalik pro dan kontra itu yuk kita tarik ke point of view yang lebih tinggi. Bukan atas nama SBY nya yang
menerima penghargaan, namun Indonesia nya yang menerima penghargaan. Dan saya
yakin atas nama nasionalisme kita terhadap negara ini, siapa yang tidak bangga
dengan Indonesia yang semakin di “hargai” di luar negeri? Dan apa yang lebih
penting dari pada “Harga Diri”?
Berkah selalu
N Kuswandi
No comments:
Post a Comment