Wednesday, April 30, 2014

World Happiness


Tentunya PBB menggunakan beberapa kriteria untuk mengukur happiness masing-masing negara. Masih konsisten dengan variable yang digunakan untuk mengukur happiness di tahun 2005 – 2007, PBB menggunakan lima kriteria dalam mengukur happiness suatu bangsa, yaitu Negative affect, Social support, Positive affect, Freedom to make life choices, Donation, Perceptions of corruption, dan Cantril ladder,  household income.

Di satu sisi, walaupun tingkat happiness Indonesia menempati posisi ke-76, namun tingkat happiness warga Indonesia sebenarnya mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2005-2007. Dibandingkan tahun tersebut, happiness Indonesia tahun 2007 – 2012 seperti dilaporkan World Happiness Report tahun 2013 naik sebesar 0,329 poin.

Bagaimana Anda akan merespon hasil riset ini? Happy karena kita ternyata tidak buruk-buruk amat, dan jika dilakukan riset lagi tentunya akan meningkatkan posisi happiness Indonesia. Atau harus bersedih, karena Indonesia lebih suram dari pada Vietnam (posisi 63), negara saudara tua Malaysia ysng kadang kala bersikap menyebalkan (posisi 56), dan Thailand (posisi ke 36), yang berarti jika dilakukan riset lagi oleh PBB akan membuat posisi Indonesia lebih rendah lagi untuk survey berikutnya.

Saya akan menempatkan diri sebagai analis dan mempertanyakan hasil survey ini sebelum mempercayai hasil survey ini. Karenanya munculah pertanyaan besar dalam diri saya, bukankah happiness itu persepsi pribadi. Pengukuran kebahagiaan tentu saja berarti mengkuantifikasikan sesuatu yang kualitatif. Manusia adalah makhluk yang bukan hanya rasional namun juga emosional, karena nya pendapat dan persepsi manusia akan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi emosinya saat ini.
 
Ketika kondisi kurang menyenangkan maka kita cenderung memberikan penilaian yang negatif. Jangankan kondisi hidup yang serba sulit, bahkan sakit baru kehilangan uang yang belum tentu besar saja bisa mempengaruhi penilaian kita. Begitu juga sebaliknya, ketika seseorang senang dan berbahagia bisa jadi ia melihat hidup ini lebih indah dan karenanya cenderung memberikan penilaian yang positif.

Penelitian yang dilakukan pakar happines, Ruut Veenhouven dari Den Hag membuktikan hal tersebut. Pertama, manusia senantiasa ingin terlihat bahagia. Sehingga, orang akan cenderung memberikan penilaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai sebenarnya. Lebih menarik lagi, jawaban happiness yang diberikan responden juga lebih tinggi saat dilakukan lewat kuesioner pos dibandingkan dengan menjawab pertanyaan langsung dari peneliti.

Venheuven juga mempublis temuan kedua yang semakin menguatkan happiness sebagai persepsi, para responden cenderung berbicara lebih jujur ketika berhadapan dengan pewawancara berjenis berjenis kelamin sama. Sebaliknya, saat para responden berhadapan dengan pewawancara berjenis kelamin berbeda cenderung tidak berbicara jujur mengenai tingkat kebahagiaan mereka tetapi melebih-lebihkannya. Intinya para responden ingin terlihat bahagia, karena ingin memaerkan kebahagiaan mereka, kebahagiaan itu menarik dan seksi.

Temuan ketiga, jawaban para responden ternyata sangat tergantung dari kondisi terakhir yang ia hadapi. Venheuven bahkan menyampaikan bahwa manusia adalah “makhluk 5 menit”. Artinya jawaban yang diberikan sangat dipengaruhi kondisi emosi dan mood dalam 5 menit terakhir. Venheuven menunjukkan, para responden yang menemukan sejumlah uang dalam 5 menit terakhir cenderung mengatakan dirinya lebih bahagia daripada yang tidak menemukan uang. Dan Tentu saja uang yang ditemukan tadi adalah rekayasa para peneliti yang tidak disadari oleh para responden.

Dengan kata lain, seandainya sebelum penelitian, si responden mendapat pujian maka mereka akan merasa lebih berbahagia. Sehingga para responden akan memberikan angka yang lebih tinggi daripada tingkat kebahagiaan mereka yang sesungguhnya.

Seandainya mengukur kebahagiaan pribadi saja sulit, apalagi mengukur tingkat kebahagiaan sebuah negara. Apalagi mengukur kebahagiaan negara Indonesia yang begitu majemuk. 

Sebagai penutup, walaupun kebahagiaan bersifat persepsi personal dan dan tak mudah diukur pihak lain, apalagi diteliti. Namun, kebahagiaan memang tetap perlu diukur, paling tidak secara subjektif oleh masing-masing kita. Karena dengan mengerahui tingkat happiness kita lah yang bisa mendorong kualitas hidup kita semakin meningkat.

Berkah Selalu
N Kuswandi

Wednesday, April 23, 2014

Developing Happiness by Developing Goal

Masih membahas hasil Employee Engagement and Retention yang dirilis Kelly Service di bulan September 2013. Kelly melakukan penelitian dengan sample populasi sebanyak 120.000 orang di 31 negara cross America, Eropa dan Asia Pasific. Hasil survey Kelly Service merilis employee happiness berhubungan dengan employee engagement dan retention. Agar tingkat happiness employee bisa terjaga, Kelly Service dengan menggunakan teknik multiple respond survey menemukan, kebahagiaan bisa dibawa oleh leader melalui tiga hal, yaitu memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan diri (57%), memberikan kejelasan tugas tanggungjawab dan goal pekerjaan (46%), dan melakukan komunikasi terbuka (37%).
 
Di artikel sebelumnya, kita sudah membahas dua hal yang diharapkan employee kepada leader mereka, yaitu kesempatan mengembangkan diri dan melakukan komunikasi terbuka. Menyambung dua artikel sebelumnya, harapan employee ketiga kepada seorang leader yang bisa membawa kebahagiaan adalah adanya kejelasan tugas tanggungjawab dan goal pekerjaan. Sebenarnya harapan kejelasan tugas tanggungjawab employee bisa dipenuhi oleh organisasi dengan membuat job description yang baik. Informasi yang harus terkandung job description yang mampu menggambarkan tugas tanggungjawab employee, setidaknya terdiri dari deskripsi pekerjaan secara umum, lingkup pekerjaan (tugas) dan kriteria keberhasilan, hubungan kerja di dalam dan diluar perusahaan, proporsi lokasi kerja diruangan dan luar ruangan, perlengkapan kerja, kualifikasi jabatan berupa  soft skiil competency dan technical competency.
 
 Tugas dan tanggungjawab seorang employee tentunya akan memunculkan target atau goal pekerjaan. Menggunakan prinsip Pareto 20:80 yang dipopulerkan oleh Joseph M. Juran, dimana  dari 20% tugas tanggungjawab employee sebenarnya berdampak pada 80% hasil pekerjaan, sehingga perlu dipetakan key performance indicator untuk mengidentifikasi 20% tugas tersebut.  Ada banyak metode yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi tugas inti (20%). Salah satu metode yang cukup popular digunakan adalah Balance Scorecard. 
 
Robert S. Kaplan dan David P. Norton pertama kali memperkenalkan Balance Scorecard di tahun 1992 dalam Harvard Business Review yang berjudul “The Balanced Scorecard – Measures That Drive Performance”. Sesuai dengan namanya, Balance Scorecard berarti keseimbangan antara faktor financial dan non financial yang mempengaruhi performance organisasi. Kaplan dan Norton menyebutkan faktor non financial yang mempengaruhi kinerja perusahaan ada tiga, yaitu costumer, internal process, dan learning and growth.
 
Performance atau goal yang bisa diukur pada dimensi financial ada dua, yaitu increase revenue dan efficiency cost. Setiap pekerjaan pasti berhubungan dengan dimensi financial, bagi jabatan tertentu akan berhubungan dengan mencari revenue dan mengeluarkan cost. Contohnya, employee yang memegang jabatan sebagai marketing, lingkup kerjanya tentunya mengeluarkan cost untuk mendapatkan revenue. Key performance indicator untuk jabatan seperti ini tentunya harus memasukkan dua indicator (increase revenue dan efficiency cost) dimensi financial tersebut. Contoh performance indicator untuk jabatan marketing adalah increase benefit 5% Revenue, dan decrease cost iklan sebesar 1%. Ternyata tidak semua jabatan berpotensi untuk menghasilkan revenue. Ada juga jabatan yang hanya mengeluarkan cost. Contohnya, employee yang bekerja di department HR. Key performance indicator untuk jabatan seperti ini tentunya hanya memasukkan indicator efficiency cost. Contoh performance indicatornya adalah HR Cost sesuai budget yang telah direncanakan.
 
Dimensi non financial pertama yang dijadikan indicator performance adalah costumer. Dimensi ini memiliki beberapa indiciator performance, berupa elemen perolehan pelanggan, profitabilitas pelanggan, kepuasan pelanggan. Jika key performance indicator seorang marketing adah increase 5% benefit maka apa secara costumer apa yang bisa dilakukan agar performance tersebut tercapai? Menjawab pertanyaan tersebut leader bisa memasukkan indicator performance berupa meningkatkan perolehan pelanggan, atau membidik pelanggan kelas tertentu, atau meningkatkan kepuasan pelanggan. Sedangkan, indicator performance seorang HR yang memiliki performance indicator HR Cost sesuai budget yang telah direncanakan, tentu saja tidak bisa menjadikan elemen perolehan pelanggan, profitabilitas pelanggan sebagai indicator performance nya. Karena pelanggan orang-orang HR sudah jelas (karyawan) jadi elemen yang bisa dipilih adalah kepuasan pelanggan. Ingat bahwa performance indicator base on Balance Scorecard harus saling terkait. Jika performance indicator HR di dimensi financial tadi adalah HR Cost sesuai dengan budget planning, pertanyaannya apa performance indicator costumer (kepuasan pelanggan) yg terkait dg performance indicator financial perspective? Contoh performance indicator nya bisa saja, Penggajian tepat waktu tanggal 1 tiap bulan dan tidak ada kesalahan penggajian. Costumer puas dan HR Cost pasti base on budget.
 
Dimensi non financial kedua dari balance scorecard adalah berupa internal proses. Elemen dimensi ini adalah mutu dan keandalan produk, kecepatan memenuhi kebutuhan pelanggan, kecepatan merespon complain pelanggan. Contohnya KPI HR tadi di elemen ke dua KPI nya "Tidak ada kesalahan dalam penggajian". Contohnya kita ambil pilihan mutu dan keandalan produk. Bagaimana caranya agar mutu penggajian bagus sehingga tidak ada kesalahan penggajian? Menjawab pertanyaan tersebut bisa saja dilakukan dengan mematuhi Standar Operational Procedure (SOP) penggajian. Sehingga performance indicator HR pada dimensi ini bisa berupa: pencapaian pelaksanaan SOP penggajian 100%. Artinya jika SOP penggajian bisa berjalan 100%, maka tidak akan ada error dalam penggajian, jika tidak ada error dipenggajian maka HR Cost base on benefit.
 
Dan dimensi ketiga dari non financial perspective adalah learning and growth. Dimensi ini memiliki dua beberapa elemen pilihan, yaitu people development people dan organization development. Anggap saja, elemen yang mau diambil adalah elemen people development. Ingat performance indicator yang dibuat harus selalu berhubungan dengan performance indicator dimensi-dimensi sebelumnya. Jika performance indicator dimensi internal process HR tadi adalah "100% melaksanakan SOP penggajian". Maka pertanyaannya, development people seperti apa yang perlu dilakukan agar SOP penggajian dilaksanakan 100%? Bisa jadi dilakukan dengan selalu melakukan sosialisasi dan sharing knowledge SOP. Sehingga performance indicatornya bisa jadi sosialisasi dan sharing knowledge pelaksanaan SOP Penggajian tiap satu bulan sekali. Sehingga, jika sosialisasi dan sharing knowledge SOP penggajian dilaksanakan 100%, maka pencapaian pelaksanaan SOP akan 100%, jika pelaksanaan SOP 100% maka tidak ada kesalahan pembayaran gaji, jika tidak ada kesalahan bayar gaji maka HR Cost akan base on budget.

Monday, April 21, 2014

Developing Happiness With NLP Communication

September 2013, Kelly Service perusahaan konsultan multinasional mengeluarkan hasil survey Employee Engagement and Retention dengan sample populasi sebanyak 120.000 orang di 31 negara cross America, Eropa dan Asia Pasific. Secara global, Kelly Service merilis tingkat happiness dari 31 negara tersebut sebesar 63%, dengan happiness tertinggi dialami oleh employee di Asia Pasific sebesar 68%, dilanjutkan dengan Eropa sebesar 60%, dan Amerika sebesar 63%. Kelly Service merilis, happiness yang dialami oleh para employee 67% dipengaruhi oleh direct manager berhubungan dengan employee engagement. Selaras dengan hasil survey Kelly Service, hasil engagement survey yang dilakukan Dale Carnegie (2013) di Amerika merilis employee engagement dipengaruhi oleh empat emosi positif yang salah satu emosi nya adalah inspired (employee are motivated by their leader). Agar tingkat happiness employee bisa terjaga, Kelly Service dengan menggunakan teknik multiple respond survey, employee mengharapkan tiga hal besar kepada leader, yaitu memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan diri (57%), memberikan kejelasan tugas tanggungjawab dan goal pekerjaan (46%), dan melakukan komunikasi terbuka (37%).
 
Di artikel sebelumnya kita sudah berdiskusi cara meningkatkan pengembangkan anggota team dengan tool coaching. Diartikel kali ini, kita akan mendiskusikan harapan ketiga employee kepada leader nya untuk membawa happiness, yaitu melakukan open communication. Banyak pendekatan yang digunakan oleh para ahli untuk mendesign metode ataupun teknik berkomunikasi yang baik. Neuro Lingustik Program adalah salah satu pendekatan psikologi yang membahas communication. Pendekatan Neuro Linguistik Program atau lebih dikenal dengan NLP mengenal  tiga hal penting dalam berkomunikasi, yaitu rapport, sensory acuity, dan framing.
 
Rapport didefinisikan sebagai jembatan untuk membangun konektivitas dengan lawan bicara. Untuk membangun rapport dapat dilakukan dengan proses Pacing – Calibrating – Leading. Proses pacing atau menyelaraskan dapat dilakukan dengan melakukan mirroring dan matching. Seperti namanya mirroring berarti menjadi cermin orang lain, sedangkan matching berarti menirukan orang lain secara sama. Mirroing dan matching bisa dilakukan secara verbal maupun non verbal. Melakukan matching secara verbal dilakukan dengan mencari sinonim kata dari point kalimat yang dilontarkan kawan bicara. Contoh nya, jika kawan kita berbicara “saya tidak suka berisik”, lihat point kalimat tersebut adalah berisik, maka jika kita membangun rapport dengan matching, Anda bisa membalas dengan “saya juga tidak suka suara keras”. Atau jika Anda menggunakan mirroring, Anda bisa membalas dengan “Anda tidak suka suara keras ya”. Sedangkan mirroring dan matching dengan non verbal bisa dilakukan dengan mencocokan gesture, intonasi, kedipan mata, respon-respon yang muncul.
 
Proses selanjutnya dalam membangun rapport adalah melakukan calibrating. Proses ini dilakukan dengan mencari moment untuk me leading communication. Moment ini dapat dapat Anda temukan saat Anda melakukan gerakan tiba-tiba dan kawan bicara Anda mengikuti gerakan yang sama dengan Anda. Agar Anda semakin yakin bahwa moment tersebut adalah moment yang tepat untuk me leading communication, Anda bisa mengulangi gerakan Anda sebanyak tiga kali. Jika dalam ketiga gerakan tiba-tiba tersebut, ketiga nya diikuti oleh kawan bicara Anda maka Anda siap untuk me leading communication.
Saat Anda me leading communication jangan lupa untuk memmemperhatikan reaksi-reaksi tubuh kawan bicara. Karena rapport sebenarnya tidak hanya dibangun saat awal komunikasi namun sampai akhir komunikasi. Dengan memperhatikan visual, auditory, kinesthetic, olfactory, dan gustatory yang dilakukan kawan bicara, kita bisa merespon dengan bagus. Inilah yang disebut sebagai sensory acuity atau kemampuan menggunakan panca indra untuk mengamati individu lain secara cermat tanpa asumsi ataupun penilaian tertentu sebelumnya.
 
Tentunya sudut pandang kawan bicara kita tidak selulu sesuai dengan sudut pandang yang kita yakini. Maka setelah membangun rapport, melakukan sensory acuity proses leading communication dapat dilakukan dengan reframing atau mengubah sudut pandang kawan bicara. Dalam NLP dikenal dua macam reframing, yang pertama context reframing atau mengubah frame atau sudut pandang seseorang dengan merubah context yang ingin kita sampaikan. Dan reframing kedua disebut content reframing atau mengubah frame atau sudut pandang seseorang dengan merubah content yang disampaikan. Merubah sudut pandang dengan context reframing dilakukan dengan membandingkan keputusan satu dengan keputusan yang lain. Sedangkan content reframing adalah menyampaikan dan menekankan sisi-sisi positif atas keputusan yang diambil

Thursday, April 17, 2014

Developing People - Developing Happiness

September 2013, Kelly Service perusahaan konsultan multinasional mengeluarkan hasil survey Employee Engagement and Retention dengan sample populasi sebanyak 120.000 orang di 31 negara cross America, Eropa dan Asia Pasific. Hasil survey yang dilakukan menunjukkan dari 31 negara yang disurvey, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara dengan tingkat turnover terendah, yaitu sebesar 31%.  Sedangkan 79% employee yang tetap memilih stay karena alas an happiness. Kelly Service menemukan bahwa faktor happiness ini erat kaitannya dengan peran leader. Agar tingkat happiness employee bisa terjaga, dengan menggunakan teknik multiple respond survey, employee mengharapkan tiga hal besar kepada leader, yaitu memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan diri (57%), memberikan kejelasan tugas tanggungjawab dan goal pekerjaan (46%), dan melakukan komunikasi terbuka (37%).
 
Kesempatan pengembangan diri yang diharapkan employee bisa berupa dua hal, pengembangan karir dan pengembangan kompetensi. Dua hal tersebut berjalan beriringan, salah satu tugas seorang leader memang harus mengembangkan kompetensi anggota teamnya untuk menyiapkan pengembangan karir, baik pengembangan karir spesialis ataupun karir managerial.
 
Salah satu tool yang bisa digunakan leader untuk mengembangkan anggota team nya adalah dengan coaching. Saat melakukan coaching, seorang leader dikenal sebagai seorang coach. Menjadi coach yang baik dimulai dengan membangun trust dan rapport. Semakin leader dipercayai oleh anggota team nya maka akan semakin mudah seorang leader menginfluence anggota team. Gary Yukl (1990), seorang professor di University at Albany, Amerika melakukan penelitian tentang influence yang kemudian dikenal dengan IBQ – Influence Behavior Question menemukan bahwa seorang leader yang dipercaya oleh anggota team nya memiliki dua jenis influence, yaitu personal appeal tactics (menginfluence karena persahabatan) dan legitimizing tactic (menginfluence seseorang karena posisi yang dimiliki). Hal yang harus diingat adalah trust and rapport tidak hanya dibangun saat coach akan melakukan proses coaching, namun jauh-jauh hari sebelum melakukan coaching.
 
Setelah trust dan rapport terbangun, proses berikutnya untuk melakukan coaching adalah dengan melakukan observe and assess. Seorang leader, dalam melakukan observasi dan assessment bisa berpatokan pada competency. Secara umum model pengembangan kompetensi ada dua, yaitu menutup competency di current position dan menyiapkan competency di future position. Basis development dengan menutup gab di current position berfokus pada psikologi “negative”,  karena berkutat pada sisi-negatif competency yang belum dipenuhi. Sedangkan, pengembangan yang berbasis menyiapkan future position dikenal sebagai psikologi positif. Seperti basic psikologi positif yang tidak menyangkal psikologi “negative”, namun berfungsi untuk meningkatkan keberfungsian manusia dengan berupaya membangun kekuatan individual (Carr, 2007). Begitu juga dengan dua jenis pengembangan tersebut, pengembangan dengan pendekatan psikologi positif tidak boleh menafikan pengembangan dengan pendekatan psikologi “negative”.
 
Jika competency yang mau dikembangkan sudah ditemukan maka proses coaching bisa dilakukan.  Proses awal dalam melakukan coaching selalu dimulai dengan mambangun trust and rapport. Dalam melakukan coaching, ada dua pendekatan utama, yaitu seeking dan telling (DDI, Coaching for Success). Pendekatan seeking berfokus melakukan coaching dengan memberikan pertanyaan kepada coachee. Sedangkan pendekatan telling berfokus memberi tahu apa yang harus dilakukan oleh coachee. Pendekatan seeking bisa digunakan pada employee yang sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan. Sedangkan pendekatan telling dapat digunakan kepada employee yang belum memiliki pengalaman dan pengetahuan.
 
Pendekatan seeking bisa jadi lebih powerful digunakan dalam coaching. Garry Yukl (1990) menemukan dari 8 taktik influence yang ditemukannya, seeking yang kemudian dinamakan Yukl sebagai inspiration tactic adalah salah satu tactic influence yang powerful digunakan. Dengan melakukan seeking juga berdampak pada engagement anggota team dalam menjalankan kesepakatan. Yukl juga menjelaskan pertanyaan yang powerful memiliki tiga ciri, yaitu sederhana (dapat langsung dimengerti), bertujuan dan berpengaruh tanpa mengontrol.
 
Setelah proses coaching mencapai kesepakatan, jangan lupa lakukan hold accountability dan give feedback. Lakukan monitoring atas hal yang disepakati dan jangan lupa memberikan support yang juga sudah disepakati saat coaching. Selama proses monitoring untuk menguatkan perilaku hasil pembelajaran jangan lupa memberikan feedback kepada coachee atas pencapaian apapun baik untuk pencapaian kesepakatan yang sudah berhasil diselesaikan, ataupun kesepakatan yang belum jalan. Sandwich feedback bisa digunakan sebagai salah satu teknik memberikan feedback. Seperti namanya, sandwich feedback terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama adalah roti yang berarti compliment atau pujian, lapisan kedua isi atau critic, dan ditutup dengan lapisan ketiga berupa roti atau compliment atau pujian
 
Sumber yang dipakai:
Kelly Service, 2003. Employee Engagement and Retention
Carr, E.G (2007). The Expanding Vision of Positive Behavior Support: Research Perspectives on Happiness, Helpfulness, Hopefulness. Journal of Positive Behavior Interventions,Vol 9, No. 1
Yukl, Garry and Cecilia M. Falbe (1990) Influence Tactics and Objectives in Upward, Downward,
and Lateral Influence Attempts.  Journal of Applied Psychology, Vol. 75. No. 2
Berkah Selalu
N Kuswandi

Monday, April 14, 2014

Meningkatkan Produktivitas Dengan Psikologi Positif


Salah satu shocking moments bagi dunia industri di tahun 2009 adalah saat Mustafa Abubakar yang kala itu menjabat sebagai Menteri BUMN menunjuk Karen Agustiawan sebagai orang nomer satu di Pertamina. Bagaimana tidak? Di komunitas yang didominasi oleh kaum Adam dengan permasalahan yang komplek ditunjuklah seorang wanita untuk membereskannya. “Bagaimana mungkin seorang wanita mampu mengatasi kapal Pertamina yang terombang-ambing?” mungkin begitu pesimisme yang muncul terhadap kemampuan seorang Karen Agustiawan.

 
Walaupun sempat diragukan oleh banyak orang, Karen tidak menyerah. Di bawah kepemimpinannya, Pertamina mulai menunjukkan prestasi di kancah nasional maupun internasional. Sebut saja, ditahun 2011 Pertamina mendapat anugerah Best Deal dari komunitas keuangan internasional, Coorporate Image Award di 2012, Suistenable Business Award 2012, Emerging Markets Award dari International Finance Review 2013. Dan pertama kalinya Pertamina berada di posisi ke-122 dari 500 perusahaan terbaik dunia versi majalah Forbes.

 
Berkat keberhasilannya memimpin Pertamina, pada tahun 2011 Karen Agustiawan dianugrahi diurutan pertama penghargaan “Asia’s 50 Power Businesswomen” oleh majalah Forbes. Di tahun 2013, prestasi Karen semakin cemerlang, hingga majalah Fortune menempatkannya sebagai wanita paling berpengaruh ke-6 sedunia.

 
Apa mantra yang digunakan Karen untuk memimpin Pertamina hingga menghasilkan prestasi yang luar biasa? Pada acara Srikandi Migas Membangun Negeri, 14 Desember 2011, Karen membagi rahasianya. “Memimpin dengan hati” begitu Karen Agustiawan menamakan leadership style-nya. Karen manambahkan “Sebagai seorang pemimpin harus tahu kalau seseorang tidak perform, beri kesempatan sekali lagi” (Viva.co.id, 15 Desember 2011, “Kunci Sukses Dirut Pertamina”).

 
Gaya kepemimpinan Karen sebenarnya adalah aplikasi dari pendekatan psikologi positif. Sebagai salah satu tokoh yang mempopolerkan psikologi positif, Seligman (2005) dalam jurnal berjudul Positive Psychology Progress: Empirical Validation of Interventions mendefinisikan psikologi positif sebagai istilah yang memayungi studi-studi terhadap emosi-emosi positif, sifat-sifat dasar positif, dan pemberdayaan institusi atau komunitas. Ciri psikologi positif ini muncul dalam pernyataan Karen Agustiawan mengenai memberi kesempatan kedua kepada karyawan yang tidak perform. Bukannya melihat tidak tercapainya perform melalui kacamata negatif, namun Karen melihat performance karyawan yang belum tercapai dari sisi positif, dibuktikan dengan memberi kesempatan kedua. Efek dari pengharapan positif Karen kepada karyawannya untuk memperbaiki performance ternyata berdampak positif kepada performance berikutnya dari karyawan tersebut. Terbukti dengan performance Pertamina yang semakin membaik dari waktu ke waktu.

 
Penelitian yang dilakukan Norman, Luthans dan Luthans (2005) dalam bidang positive organization behavior juga menunjukan bahwa pemimpin yang memiliki harapan dan mengekspresikan harapannya tersebut (hopeful leaders) dapat memberikan efek menular terhadap resiliency (ketabahan) karyawan sehingga keseluruhan level organisasi mengalami perubahan.

 
Dalam psikologi hal ini dinamakan sebagai Pygmalion effect. Fenomena psikologi ini pertama kali disajikan oleh Robert Merton pada tahun 1957. Terinsprirasi dari kisahYunani tentang pemahat bernama Pygmalion, Robert Marton melakukan penelitian tentang dampak “harapan”. Sebagai seorang ahli patung, keahlian Pygmalion diakui semua orang, hingga pada akhirnya Pygmalion menciptakan masterpiece berupa patung seorang wanita cantik. Saking cantiknya, Pygmalion pun jatuh cinta kepada patung tesebut.

 
Saat perayaan pemujaan Dewi Athena, Pygmalion berdoa agar diberi jodoh seorang wanita cantik. Di dalam hatinya, sebenarnya Pygmalion berdoa agar wanita cantik itu adalah wanita seperti patung yang dia buat. Keesokan harinya, Pygmalion terbangun dari tidurnya dan mendapati patung yang dibuatnya hidup. Pygmalion pun menikahi patung yang telah menjadi wanita cantik tersebut, dan akhirnya mereka hidup happily ever after.

 
Cerita tadi diterjemahkan Robert Merton dengan sebuah penelitian yang melibatkan seorang guru dan siswa nya. Dibuatlah dua buah kelompok, kelompok experiment dan kelompok kontrol. Siswa di kelompokexperiment, dipilih dari siswa yang memiliki IQ biasa-biasa saja, namun saat mereka dijadikan kelompok experiment, mereka diberi tahu bahwa mereka adalah kelompok elit yang dikelompokan dan akan diajar oleh guru-guru ellit (yang sebenarnya juga guru yang biasa-biasa saja). Mereka juga diberi kepercayaan dan harapan, bahwa mereka sangat bisa mengalahkan kelompok lain yang sebenarnya memiliki IQ yang lebih tinggi dari mereka. Hasil penelitian Robert Merton menunjukkan hasil seperti cerita Pygmalion, yaitu saat ekspektasi kita positif maka akan berdampak positif. Siswa-siswa experiment yang awalnya hanya siswa dengan IQ yang biasa-biasa saja atau average ternyata mampu mengalahkan siswa dengan IQ diatas mereka.

 
Tentunya harapan positif yang besar saja tidaklah cukup. Seperti yang dilakukan Karen Agustiawan, memberikan kesempatan kedua saja tidaklah cukup. Karyawannya tentunya harus mampu mengambil pembelajaran dari tidak tercapainya performance dan mengejawantahkan harapan menjadi action. Norman, Luthans & Luthans (2005) mendefinisikannya sebagai motivasi positif untuk mencapai keberhasilan. Agar motivasi positif tersebut bisa tercapai, maka organisasi yang diwakili seorang leader bisa menggunakan dua hal: pertama adalah menciptakan kondisi di mana karyawan sebagai energi yang terarah pada tujuan atau kemauan, dan yang kedua adalah menciptakan pathways atau perencanaan untuk mencapai tujuan.

 
Sumber yang dipakai:

Gable, S.L & Haidt, J. 2005. What (& Why) Is Positive Psychology? Review of General Psychology, 9 (2), 103-110

Norman. S, Luthans. B, & Luthans. K. 2005. The Proposed Contagion Effect of Hopeful Leaders on The Resiliency of Employee and Organizations. Journal of Leadership and Organizational Studies, 12 (2), 55-64

Seligman, M.E.P, Steen, T.A, & Peterson, C. 2005. Positive Psychology Progress : Empirical Validation of Interventions. The American Psychologist, 60, 410-421

Viva.co.id, 15 Desember 2011, “Kunci Sukses Dirut Pertamina”

Monday, April 7, 2014

Organisasi Berbasis Psikologi Positif

Semua perusahaan yang berbasis laba, baik perusahaan multinasional maupun bisnis rumahan, pasti menginginkan dua hal: revenue yang semakin naik dan cost yang semakin menurun. Sebuah paradoks yang mungkin susah sekali untuk diwujudkan. Bagaimana tidak, cost produksi yang semakin tahun semakin naik tidaklah secepat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Sehingga, jika tidak ingin ditinggal konsumen, pelaku bisnis tidak bisa serta merta menaikkan harga produknya, walaupun cost produksi mengalami kenaikan. Salah satu cara yang bisa digunakan oleh pelaku bisnis untuk mengatasi permasalah ini adalah dengan ide-ide kreaktif untuk mengefisiensikan proses produksi.

 
Toyota adalah salah satu perusahaan yang bisa memujudkan kemustahilan tadi. Perusahaan yang didirikan pada tahun 1933 ini terus berkembang menerjang semua gelombang perubahan. Asetnya semakin bertambah tiap tahun dan menjadi perusahaan otomotif penghasil mobil palling banyak di dunia di tahun 2012. Geliatnya semakin terasa setelah mengambil sebagian besar proporsi saham di perusahaan mobil Daihatsu dan Hino, ditambah sebagian kecil proporsi saham di Subaru dan Isuzu. Melihat kesuksesan Toyota, Liker J (2004) melakukan penelitian dan mencatat ada 14 prinsip yang digunakan oleh Toyota untuk memperbesar perusahaannya. Keempat belas prinsip tadi oleh Lliker dikenal sebagai The Toyota Ways.

 
Salah satu system yang dikembangkan dalam 14 prinsip Toyota Ways adalah prinsip Kaizen atau perbaikan terus menerus. Di Toyota, prinsip Kaizen ini kemudian dikawinkan dengan prinsip Teian Seido (menggali ide dari bawah). Karyawan diminta untuk selalu menyumbangkan ide-ide untuk mempercepat proses, menghemat biaya, dan meningkatkan produktifitas. Perkawinan kedua prinsip melahirkan 60.0000-an ide tiap tahun. Dari setiap ide yang disampaikan, Toyota memberikan reward sebesar 500 yen sampai 200.000 yen, tergantung dari impact gagasan yang diberikan.

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apa yang mendorong atau memotivasi karyawan Toyota sehingg mampu mengeluarkan ide-ide kreatif? Banyak kajian tentang dinamika munculnya kreativitas dari aliran-aliran psikologi. Salah satu aliran psikologi yang membahas dinamika kreativitas adalah psikologi positif.

 
Sebagai salah satu tokoh yang mempopolerkan psikologi positif, Seligman (2005) dalam jurnal berjudul Positive Psychology Progress : Empirical Validation of Interventions mendefinisikan psikologi positif sebagai istilah yang memayungi studi-studi terhadap emosi-emosi positif, sifat-sifat dasar positif, dan pemberdayaan institusi atau komunitas. Coplan (2009) dalam penelitiannya tentang emosi positif atau happiness menunjukkan bahwa emosi positif mampu meningkatkan kreativitas, kemampuan pemecahan masalah serta membantu dalam melawan stress. Sederhananya, saat seorang tidak senang, tidak memiliki emosi positif, atau tidak merasa memiliki perusahaan (engagement) maka seorang karyawan tidak akan bersedia menyumbangkan ide nya, walaupun sebenarnya karyawan tersebut memiliki ide.

 
Organisasi yang berbasis aplikasi psikologi positif menurut Coplan (2009) dan Scherer (2008) dapat dimunculkan dengan lima langkah. Langkah pertama yang direkomendasikan adalah (1) mencari kekuatan pribadi karyawan. Dasar proses people development sebenarnya adalah mengembangkan potensi karyawan. Namun dalam organisasi yang mengenal konsep kompetensi, sering kali people development lebih terfokus untuk mengurangi jarak antara kemampuan yang secara riil dimiliki dengan kompetensi yang dituntut harus dimiliki, daripada fokus pada potensi karyawan. Akibatnya organisasi mengeluarkan effort yang cukup besar dengan hasil yang tidak terlalu memuaskan. Istilah yang sering muncul adalah daripada melatih ikan terbang, lebih baik melatih ikan menjadi perenang hebat.

 
Organisasi yang berbasis psikologi positif melakukan cara yang berbeda. Selain menutup gap kompetensi, organisasi juga akan terfokus untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh karyawannya. Kesalahan terbesar organisasi yang menghambat kreaktifitas karyawan dimulai dari salah menempatkan orang diposisi atau team, yang dilanjutkan dengan kesalahan memandang seseorang.

 
Sejarah telah banyak membuktikan hal tersebut. Pertanyaan-pertanyaan Thomas Alfa Edison yang membuat jengkel gurunya membuatnya dicap bodoh dan dikeluarkan dari sekolah, karena salah dimengerti. Padahal bagi penganut psikologi positif akan melihat sisi lain  Edison sebagai orang yang selalu ingin tahu. Begitu juga dalam organisasi, organisasi yang menganut psikologi positif akan lebih memilih untuk berfokus pada sisi positif dari pada sisi negatif. Dan bukankah segala sesuatu terdiri dari dua sisi, tergantung cara kita memandangnya?

 
Setelah organisasi mampu melihat kekuatan karyawan maka langkah kedua bagi organisasi yang ingin mengaplikasikan psikologi positif adalah (2) menggunakan kekuatan dengan cara-cara baru. Di sinilah proses people development dilakukan. Organisasi bisa menggunakan tiga jenis development untuk membantu karyawannya mengembangkan potensi yang dimiliki, cara pertama adalah dengan formal training seperti in class training, workshop, seminar, dan lain-lain. Cara pertama ini memberikan dampak 10% terhadap proses belajar karyawan. Cara kedua yang memiliki dampak lebih besar, yaitu dengan learning from other, seperti coaching, mentoring, dan budies. Cara kedua ini memberikan dampak sebesar 20% terhadap proses pembelajaran. Dan untuk mendapatkan impact 70% sisanya, proses development bisa dilakukan dengan on the job training, seperti delegation, job assignment, rotation, dan lain-lain

 
Selain berfokus pada karyawan, Coplan (2009) dan Scherer (2008) juga memberikan rekomendasi langkah ketiga dengan berfokus pada leader, yaitu (3) bagaimana seorang pemimpin membangun relasi positif dengan bawahannya. Sehebat apapun seorarang employee, mereka tidak akan memberikan idenya jika merasa leader-nya tidak layak untuk disumbangkan ide. Jika diibaratkan, seorang yang memiliki ikatan emosional positif akan lebih mudah dipinjami dan meminjami uang dibandingkan dengan orang yang tidak dikenal atau bahkan dimusuhi.

 
Setelah proses pengembangan dilakukan dan hubungan baik dibina, langkah keempat yang direkomendasikan Coplan (2009) dan Scherer (2008) adalah (4) mengukur hasil. Menurut Seligman (2005), langkah inilah yang membedakan psikologi humanistis dengan psikologi positif. Psikologi humanistik cenderung tidak menggunakan pendekatan empiris dalam penelitian dan aplikasinya, sedangkan psikologi kognitif berbasis pada data empiris. Pengukuran ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah mengukur dan memperbaiki efektifitas aplikasi psikologi kognitif.

 
Hasil pengukuran ini akan menjadi acuan untuk melangkah ke rekomendasi Seligman (2005) yang ke lima, yaitu (5) melakukan pengaturan diri (self regulation) termasuk disiplin diri untuk terus menemukan dan menciptakan efek positif. Sebaik atau seburuk apapun hasil evaluasi yang dilakukan menjadi dasar untuk terus menemukan dan menciptakan efek positif. Saat ditemukan aplikasi psikologi positif yang masih kurang, maka perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan aplikasi psikologi positif. Dan saat hasil pengukuran menunjukkan bahwa hasil aplikasi psikologi positif sudah bagus maka perlu dilakukan improvement agar proses aplikasi psikologi positif lebih efektif.


Sumber yang dipakai:


  1. Coplan, J.H. 2009. How Positive Psychology Can Boost Your Business. WWW.Businessweek.Com/magazine/content/09_62/s0902044518985.htm?campaign_id=rss_smlbz
  2. Liker, J. 2004.The 14 Principles of The Toyota Way: 14 Management Principles from The Word’s Greatest Manufacturer. McGraw-Hill
  3. Seligman, M.E.P, Steen, T.A, & Peterson, C. 2005. Positive Psychology Progress : Empirical Validation of Interventions. The American Psychologist, 60, 410-421

Berkah selalu
N. Kuswandi