Friday, August 23, 2013

Live With New Behavior 2

Ali bin Abi Tholib, menantu dan sahabat sang Nabi, yang juga dikenal sebabai "Babul 'Ilmi-pintu nya ilmu" pernah berkata "Ilmu itu ibarat binatang liar, dan menulis adalah tali yang mengekang hewan tidak lari". Mengikuti nasihat sang Babul Ilmi, sayang rasanya jika ilmu diskusi malam hari dengan teman-teman Super Quantum tentang essay berjudul "Live with new behavior" tid...ak ditulis. Bisa-bisa ilmu nya hanya menguap begitu saja.

Satu hal yang menjadi bahasan adalah bagaimana psikologi kognitif mampu dan lebih mudah memunculkan awareness. Dinamika psikologis atau dinamika perilaku kalau mau disederhanakan dalam sudut pandang psikologi kognitif ujung-ujung nya semua disebabkan oleh mind set. Berbeda dengan psikologi behavior yang menganggap semua dinamika psikologi seseorang disebabkan karena pengalaman yang diperkuat. Walaupun terkesan ada perbedaan, namun menurut saya kesan nya sama saja. Psikologi kognitif yang memandang perilaku manusia berdasarkan mind set, sebenarnya juga hendak berkata dinamika psikologi manusia itu karena kumpulan-kumpulan pengalaman yang menjadi mind set. Kalau psikologi behavior akan berkata, dinamika psikologi manusia karena pengalaman-pengalaman yang diperkuat. Kata kunci nya adalah pengalaman-pengalaman.

Dari kesan yang sama tapi berbeda ini, proses pembelajaran untuk memodifikasi perilaku atau merubah dinamika psikologi menjadi agak berbeda. Jika diibaratkan sungai, mind set adalah hulu sungai dan behavior adalah hilir maka psikologi kognitif akan menembak hulu (mind set) dulu dan psikologi behavior akan menembak hilir nya dulu untuk merubah dinamika psikologi. Itu lah sebab nya di essay "Live with new behavior", proses awareness lebih mudah menggunakan psikologi kognitif, karena psikologi kognitif menembak langsung mind set seseorang. Berbeda dengan psikologi behavior yang mempunyai paradigma, jika behavior berubah maka mind set akan berubah. Jadi kesan nya orang dipaksa untuk acceptance terhadap perilaku baru yang mau dimunculkan, dan setelah orang accept maka hipotesisnya orang akan aware dengan perilaku yang baru.

Contoh sederhananya adalah modifikasi perilaku anak kecil yang tidak suka mandi. Pendekatan behavior dapat langsung digunakan dengan prinsip reward and punishment. Setelah anak kecil memiliki behavior baru menjadi senang mandi maka asumsi nya anak kecil tadi menjadi sadar (aware) penting nya mandi. Berbeda pendekatan nya dengan psikologi kognitif yang melakukan pendekatan hulu terlebih dahulu. Mind set penting nya mandi, manfaat mandi ditanamkan terlebih dahulu. Tiap hari diberikan nasehat (perhatikan pengulangan nasehat ini layaknya sebuah afirmasi), sehingga perilaku baru muncul, anak menjadi rajin mandi.

Alangkah cakep nya kalau dua pendekatan ini disatukan. Awal nya proses memunculkan awareness dilakukan dengan psikologi kognitif. Kemudian awareness nya diperkuat dengan pendekatan psikologi behavior untuk mempercepat proses perubahan perilaku.

Berkah selalu
Anker-Andi Keren

Wednesday, August 21, 2013

Live With New Behavior

Berkarya di perusahaan dengan sejarah panjang learning and development menjadi challenge tersendiri. Apalagi berkarya di area soft competency yang perkembangan ilmu nya tidak secepat perkembangan ilmu teknikal. Sehingga challenge nya adalah mendelivery knowledge ataupun skill soft competency dengan cara atau metode berbeda. Karena sebenarnya dinamika psikologis itu hanya berputar saja.

Challenge lain yang lebih menantang mungkin adalah mengembalikan learning and development ke "khitoh" nya. Bisa jadi para pelaku learning and development melupakan hakekat utama learning untuk me"live" kan knowledge menjadi new behavior. Berbagai pendekatan atau aliran psikologi bermunculan untuk memastikan proses learning menjadi new behavior.

Setelah tiga tahun belakangan ini, saya sering menggunakan psikologi behavior dengan "modifikasi perilaku nya". Diskusi pagi ini dengan salah seorang rekan kerja yang kesengsem dengan NLP, membuat teringat masa-masa awal menggeluti dunia training and development, yang lebih banyak menggunakan pendekatan psikologi kognitif (NLP bagian dari psikologi kognitif) yang kemudian mulai saya tinggalkan. Alasan nya sederhana saja, kok ya psikologi kognitif lebih efektif jika proses pembelajaran hanya dilakukan pada kelompok kecil orang. Dilain hal, hampir semua organisasi menggunakan sistem reward and punishment di aktivitas harian nya. Contoh nyata nya, system remunerasi kebanyakan perusahaan masih menggunakan Pay for Performance (orang dibayar berdasarkan performance nya). Sehingga terasa ada link yang hilang saat proses pembelajaran in class menggunakan pendekatan psikologi kognitif, namun kehidupan nyata di organisasi didrive dengan pendekatan reward and punishment (psikologi behavior).

Walaupun begitu, pendekatan psikologi kognitif (NLP) sebenarnya masih bisa dicombain dengan pendekatan psikologi behavior. Jika psikologi behavior mengalurkan terbentuknya new behavior dari tahap awareness - acceptance - commitment, maka dari pengalaman yang saya rasakan, pendekatan psikologi behavior agak susah masuk pada tahap awareness. Bahkan kadang kala penganut psikologi behavior memaksakan modifikasi perilaku langsung masuk ke tahap acceptance. Dengan berpegangan pepatah "Wohing trisno jalaran soko kulino", orang dipaksa untuk menerima (accept) terhadap behavior yang akan dimunculkan.

Disinilah psikologi kognitif bisa dicombain dengan psikologi behavior. Memang berdasarkan pengalaman saya, psikologi kognitif sangat ampuh untuk menggali awareness. Teknik-teknik psikologi kognitif semisal NLP (Neuro Lingustik Program), EFT (Emotional Freedom Technique), SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique), ABCD Therapy, Ego State Therapy, dll memang teknik ampuh untuk mengakses memori. Sedikit saja memori bisa diakses, semakin mudah untuk menimbulkan emosi dan menanamkan awareness.

Berkah selalu
N. Kuswandi

Monday, August 19, 2013

Nasionalisme "Indonesia Merdeka"


 
Melanjutkan tulisan "Reaktansi Psikologis", sekarang mari kita juga melihat para penganut paham "Indonesia sudah merdeka" dari sudut pandang berbeda. Mereka juga sebenarnya juga memiliki nasionalisme yang besar. Namun mereka nampaknya menggunakan pendekatan yang berbeda dibanding para penganut paham "Indonesia belum merdeka". Bukan nya menggunakan hukum reaktansi psikologis, para penganut paham "Indonesia sudah merdeka" sepertinya menggunakan konsep spiritualitas untuk menginternalisasi dan menumbuhkan nasionalisme bangsa Indonesia.

Sepertinya mereka percaya, nasionalisme bisa ditumbuhkan dengaan mudah jika menggunakan pendekatan lebih halus seperti model penanaman spiritualitas saat kita masih kecil. Diawali dari unsur membenarkan (syahadat, pembaptisan, dll), kemudian diperkuat keyakinan nya dengan ritual (sholat, kebaktian, puasa, dll), dan diingatkan dengan symbol (tasbih, rosario, dll). Kampanye masif pun dilakukan untuk membuktikan pendekatan mereka. Diawali dari kampanye "Indonesia merdeka" untuk menumbuhkan keyakinan bahwa Indonesia memang benar-benar sudah merdeka.

Tidak lupa mereka juga menggunakan symbol-symbol untuk mengkampanyekan Indonesia merdeka. Salah satu nya adalah symbol HUT kemerdekaan Indonesia versi tidak resmi, milik Wahyu Aditya, Presiden KDRI (Kementerian Design Republik Indonesia - http://kdri.web.id/). Wahyu Aditya menggunakan pendekatan psikologis sederhana, sejatinya orang lebih cepat belajar melalui gambar. Selain Wahyu Aditya, design dari "Dam I Love Indonesia (http://www.dskon.com/damn-i-love-indonesia/)" milik DJ MTV idola ABG, Daniel Mananta juga menyumbang unsur symbol untuk menginternalisasi kampanye "Indonesia sudah merdeka".

Kedua hal tadi (menumbuhkan keyakinan Indonesia sudah merdeka, dan membuat simbol-simbol) belum cukup rasanya untuk menginternalisasi nasionalisme. Perlu satu unsur lagi untuk memperkuat nilai-nilai nasionalisme dengan unsur ritual. Salah satu ritual paling umum yang dilakukan oleh semua bangsa adalah upacara. Sayang nya sudah banyak orang yang kehilangan "fill" nya dari upacara yang biasa dilakukan. Para penganut "Indonesia sudah merdeka" pun membuat inovasi agar ritual upacara bisa menimbulkan gereget lebih bagi yang mengikutinya. Salah satu inovasi nya dengan mengubah upacara bendera dalam bentuk on line indonesiaoptimis.org. Model upacara ini ternyata menurut generasi yang akrab dengan teknologi mampu mengantarkan haru biru tersendiri bagi mereka.

Mungkin begitu lah sudut pandang para penganut paham "Indonesia sudah merdeka". Dua catatan "Nasionalisme dengan Reaktansi Psikologi" dan "Menginternalisasi Nasionalisme dg Konsep Spiritualitas" semoga menghentikan perdebatan kita dan mulai mengisi kemerdekaan. Bukan lagi apa yang sudah diberikan negara (yang diwakili pemerintah), tapi apa yang sudah kita berikan pada negara?

Berkah selalu
Anker-Andi Keren

Sunday, August 18, 2013

Nasionalisme dengan Reaktansi Psikologis



Seperti tahun-tahun kemarin HUT RI selalu menjadi perdebatan. Apakah benar Indonesia sudah merdeka? Para pendukung "Indonesia Belum Merdeka", kasarnya seperti mempertanyakan apa yang sudah dilakukan pendahulu kita untuk Indonesia? Pertanyaan sebaliknya muncul dari para pendukung "Indonesia sudah Merdeka", "Apa yang sudah dilakukan untuk mengisi kemerdekaan?"

Memandang dari sudut berbeda, mungkin para penganut paham "Indonesia belum Merdeka" sebenarnya memiliki nasionalisme yang lebih baik dari pada para penganut "Indonesia sudah Merdeka". Mereka sepertinya adalah para ahli psikologi yang sepakat menggunakan hukum "reaktansi psikologis" untuk membuat bangsa Indonesia yang mulai luntur nasionalisme nya kembali mencintai bangsanya. Layaknya hukum reaktansi psikologi yang mendorong seseorang melakukan sesuatu dengan mengatakan kebalikan nya, para penganut paham "Indonesia belum Merdeka" berhasil melakukan kampanye nya dengan baik.

Mendengar gagasan-gagasan "Indonesia belum Merdeka" membuat banyak orang tergugah untuk membuktikan gagasan "Indonesia belum Merdeka" itu salah. Berbagai treat, kegiatan, diskusi dilakukan dengan effort besar untuk membuktikan Indonesia memang sudah Merdeka. Nasioanlisme mereka pun mulai bangkit.

Masih memandang dari sudut yang berbeda, selain digunakan oleh para penganut paham "Indonesia belum Merdeka", ternyata hukum "reaktansi psikologis" juga digunakan oleh Guru Bangsa, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Walaupun dikenal sebagai presiden yang kontroversial, namun dalam waktu tiga tahun, Gur Dur mampu membuat 10 perubahan besar. Kekontroversialan Beliau, memang jika dipandang dengan sudut yang berbeda, bisa jadi memang sedang menggunakan "reaktansi psikologi". Coba kita ingat pernyataan-pernyataan kontroversial Beliau, tentang kerjasama dengan Israel, G30S/PKI, atau pernyataan-pernyataan kontroversial lain. Jika kita menggunakan hukum "reaktansi psikologi", kira-kira apa yang sebenarnya diinginkan oleh Gur Dur?


Berkah selalu
Anker-Andi Keren

Tuesday, August 13, 2013

Tipping Factor Change Agent

Sehari sebelum penyerangan, di Kota kecil Boston, tanggal 18 April 1775, para serdadu Inggris mendiskusikan rencana mereka untuk menggempur Baltimore. Tanpa mereka sadari, seorang anak kecil menguping pembicaraan mereka, dan secepat kilat ia berlari memberitahukan informasi ini kepada seorang perajin perak bernama Paul Revere. Tidak menunggu lama, Paul Revere segera berdiskusi dengan William Dawis untuk menyebarluaskan berita rencana penyerangan tersebut.  Mereka pun bergerak ke arah yang berlawanan, paul Revere bergerak menuju kea rah Barat menuju kota Boston Dan William Dawis bergerak menuju ke kota-kota yang terletak di sebelah barat Lexington.

 
Dalam dua jam, Paul Revere telah menempuh 13 mil melewati Charlestown, Medford, North Cambridge, Menotomy, dan Lexington. Berita itu dengan cepat menyebar seperti virus. Berita itu sampai di Lincoln, Massachussets pada pukul satu malam. Di pukul tiga pagi, Sudbury juga sudah mendengar berita yang dibawa Paul Revere, dan berita itu juga sampai di Andover (40 mil barat laut Boston) pukul lima pagi, dan di Ashby pukul sembilan pagi. Di setiap kota yang dilewati, lonceng gereja dibunyikan dan genderang perang ditabuh bertalu-talu.

 
Di pihak Inggris, mereka tidak tahu kalau rencana yang mereka susun sudah bocor, sehingga pada tanggal 19 April 1775, tentara Inggris bergerak menuju Baltimore. Berkat informasi yang diberikan Paul Revere, rakyat Baltimore sudah siap memberikan perlawanan. Ketika pasukan Inggris memulai long march mereka, di sepanjang jalan mereka menghadapi perlawanan sengit yang terorganisir dengan baik. Puncaknya, di Concord pasukan Inggris mengalami kekalahan telak.

 
Bagaimana dengan William Dawis, dengan pesan, jarak, kota, dan jumlah orang yang dihubungi kurang lebih sama dengan Paul Revere tetapi jumlah orang yang menanggapi pesan tersebut ternyata tidak sama. Tentara Inggris dengan mudah menaklukan kota-kota yang menjadi tanggung jawab William Dawis.  Kisah Paul Revere ini mengi kemudian menginspirasi sejarawan Malcolm Gladwell. Dalam bukunya Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference, Gladwell menulis “hal kecil yang dilakukan oleh orang-orang kunci (agent of change) berdampak besar pada kemenangan perubahan”. Dan bukankah perubahan yang dibawa Nabi Muhammad SAW pada awalnya juga dimulai dari 10 assabiqul awwalun (Khadijah, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Tholib, Abu Bakar As Shidiq, Bilal Bin Rabah, Ummu Aiman, Hamzah bin Abdul Muntholib, Abbas bin Abdul Muntholib, Abdullah bin Abdul Asad, dan Ubay bin Kaab). Indonesia juga memiliki Paul Revere, sebut saja tokoh yang sedang moncer saat ini seperti Jokowi Gubernur Jakarta, Tri Rismawati Walikota Surabaya, Ahmad Hermawan Gubernur Jawa Barat, dan Ridwan Kamil Walikota Bandung.

 
Sebagai agent of change, mereka hanya melakukan 20% tindakan namun mampu menginspirasi orang lain untuk 80% kontribusi sisanya. Karena para agent of change seperti Paul Revere adalah orang-orang yang mampu mempengaruhi orang lain sebagaimana suatu virus bekerja dengan dampak penyebaran yang tinggi, anggaplah untuk kiasan ini adalah virus positif".

 
Malcom Gadwel juga mengidentifikasi ada tiga hukum yang harus diikuti untuk menjadi seorang change agent. Hukum pertama adalah The Law of Few – Hukum Tentang yang Sedikit”. Semakin sedikit orang maka tanggungjawab akan terfokus pada sedikit orang, berbeda ceritanya jika banyak orang yang terlibat dalam perubahan maka tanggungjawab nya akan menyebar. Dengan kata lain, dengan tanggung jawab yang dipikul oleh banyak orang akan membuat setiap orang mempersepsi dirinya hanya memikul tanggung jawab yang kecil karena tanggungjawab nya sudah terbagi dengan orang-orang yang lain. Semakin merasa sedikit akhirnya merasa bahwa dirinya tidak penting, dan bagiannya tidak terselesaikan. The Law of Few menuntut sedikit orang tersebut tentunya adalah orang-orang pilihan yang dipilih dengan dua kata kunci, memiliki kemampuan dan kemauan untuk mempengaruhi orang. Mampu saja tanpa diikuti kemauan tidak akan terjadi, begitu juga sebaliknya.

 
Hukum kedua untuk menjadi agent of change adalah The Stickiness Factor” atau faktor kelekatan. Seorang change agent yang baik akan selalu memiliki role model yang menjadi faktor kelekatan nya. Selama change agent memiliki role model maka seorang change agent tidak akan pernah berhenti berjuang sampai mendekati sosok ideal seperti yang dijadikan role model. Selain harus menjadi memiliki role model, seorang agent of change juga harus menjadi stickiness factor bagi orang lain, atau menjadi role model bagi orang lain. Tugas utama change agent untuk merubah mind set maupun perilaku seseorang hanya bisa dilakukan dengan mudah saat dia menjadi role model bagi orang lain.

 
Dan hukum ketiga untuk menjadi change agent adalah “The Power of Context – Kekuatan Konteks”.  Sesuatu yang berhasil di suatu tempat tidak dapat dikopi dengan sendirinya. Masing-masing memiliki konteknya sendiri, atau ashabul nuzul (asal muasal) munculnya. Kontek adalah situasi atau kondisi dimana sebuah kejadian berada , karena konteknya berbeda maka perlu ditreatment treatment nya juga harus berbeda. Dengan kata lain hukum “The Power of Context” menjadikan change agent harus mampu menganalisa kontek atau akar dari setiap permasalahan. Contoh sederhananya, tentang kesuksesan David Gunn dan William Bratton dalam membasmi kejahatan di New York. Sebagai change agent, kedua orang tersebut menganalisa dan menemukan akar permasalahan kejahatan yang terjadi dimulai dari membiarkan pengerusakan-pengerusakan kecil. Maka kedua orang tersebut mulai mengatasi kejahatan dengan karena menangani grafiti yang tersebar di penjuru kota. Hanya dengan melakukan itu, David Gunn dan william Bratton ternyata mampu menurunkan angka kejahatan di New York secara drastis.

 
Sumber yang dipakai:
Khasalli, Rhenald. 2007. Re-Chode Your Change DNA. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Gladwell, Malcolm. 2000. The Tipping Point : How Litte Think Can Make a Big Difference. Little Brown : United State of America

Tuesday, August 6, 2013

Jendela Rusak Indonesia

Indonesia negeriku, dikelilingi oleh negara-negara tetangga. Mulai pojok paling utara ada Malaysia, kemudian Singapura di pojok paling barat, Papua Nugini di belahan Timur, dan Australia dan Timor-Timor di pojok paling selatan. Mari kita ingat hubungan Indonesia dengan para negara tetangga. Selain hubungan baik yang sudah lama berjalan, beberapa waktu terakhir ini marak d...iberitakan di media masa hubungan Indonesia dengan para tetangga. Setelah Negara yang mengaku sebagai bangsa serumpun, Malaysia, sering kali berbuat nakal dengan memainkan emosi Indonesia melalui klaim-klaim kebudayaan dan kasus tenaga kerja Indonesia yang tidak segera berakhir. 

 Tetangga sebelah selatan negeri ini, Australia nampaknya juga tidak ingin ketinggalan ikut membuat gelombang dalam hubungan diplomasi dengan Indonesia. Tahun 2013 kemarin lewat dokumen rahasia US yang dibocorkan Edward Snowden, Sejak tahun 2009, Singapura melakukan penyadapan kepada presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, dan ibu Negara, Ani Yudhoyono, Boediono, Yusuf Kalla, Andi Malaranggeng, dan Andi Nor Patti. Dan Menariknya, PM Australia, Tony About, pada awalnya tidak mau meminta maaf atas kejadian tersebut. Ujung-ujungnya hubungan diplomatik Indonesia Australia pun renggang. Indonesia yang awalnya membantu Australia menjadi penjaga gerbang bagi para pencari suaka kemudian membuaka gerbangnya lebar-lebar. Australia merasakan pil pahit dengan melonjaknya para pencari suaka. Kisah ini belum berakhir, Australia kembali menguji Indonesia dengan mengusir para pencari suaka kembali keperairan Indonesia, padahal mereka sudah memasuki perairan Australia.
Bergeser ke tetangga kita diujung timur, Papua Nugini. Tanggal 9 Februari 2014 kemarin, lima kapal nelayan Indonesia dibakar oleh Papua Nugini Deference Force (PNG DF). Tidak cukup dengan membakar, PNG DF juga merampas Rp 750 juta dan menyeburkan 10 nelayan kelaut, dimana 5 diantara masih dinyatakan hilang. Saat ini, kepolisian Papua Nugini dikabarkan masih mengusut kasus tersebut.
Peristiwa lain di bulan Februari yang berhubungan dengan Negara tetangga adalah renggangnya hubungan bilateral Indonesia dengan Negara tetangga sebelah barat. Singapura memprotes Indonesia yang berencana memberi nama kapal perang yang baru dibeli dengan nama Usman – Harun, Dua nama tersebut, merupakan dua pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden 050/TK/1968. Usman bin Said dan Harun bin Muhammad Ali adalah prajurit KKO (kini Korps Marinir TNI AL) yang dihukum mati oleh Singapura karena mengebom gedung perkantoran di kawasan Orchard, MacDonald House, pada 10 Maret 1965. Australia menganggap dengan menggunakan nama Usman – Harun, Indonesia menguak luka lama.
Apakah Timor-Timor menjadi negara tetangga berikutnya yang akan menguji Indonesia? Kenapa Indonesia secara bertubi-tubi diuji oleh para Negara tetangga?
Teori Broken Windows mungkin bisa menjelaskan pertanyaan kedua, kenapa Indonesia secara bertubi-tubi diuji Negara-negara tetangga? Teori ini pertama kali dipopulerkan oleh James Q. William dan George L. Kelling di tahun 1982. James Q. William dan George L. Kelling merumuskan teori ini berdasarkan percobaan yang dilakukan Philip Zimbardo pada tahun 1969. Zimbardo melakukan percobaan untuk menguji sifat alami manusia dengan menempatkan dua mobil yang sama-sama tidak memiliki plat dan kap di dua tempat yang berbeda. Satu mobil ditaruh di daerah kumuh di Bronx, New York dan satu mobil lainnya ditaruh di daerah Palo Alto, California. Setelah tiga hari berselang, Zimbarno melihat, mobil yang berada di daerah Bronx sudah dicuri bagian-bagian berharganya, sedangkan mobil lainnya di Palo Alto sama sekali tidak disentuh oleh siapapun. Zimbardo kemudian mengambil palu dan memukulkannya ke mobil yang ada di Bronx. Melihat apa yang dilakukan Zimbardo, satu per satu orang yang kebetulan melintas juga mulai menghancurkan mobil itu dalam waktu beberapa jam saja.
  
James Q. William dan George L. Kelling kemudian merumuskan, jika sebuah bangunan dengan bagian jendela yang pecah tidak diperbaiki dan dibiarkan begitu saja, maka siapapun yang lewat cenderung menyimpulkan di rumah itu pasti tidak berpenghuni. Efek nya dalam waktu singkat akan ada lagi jendela yang dipecah, kemudian dilanjutkan dengan perusakan bagian bangunan yang lain dan anarki akan menyebar ke sekitar bangunan berdiri. Kesimpulannya, akibat dari sebuah ketidakteraturan yang diabaikan, seperti hal-hal yang semula dianggap remeh layaknya membiarkan sebuah kaca jendela yang pecah, akan mengakibatkan perbuatan lain yang serupa segera menyebar ke seluruh wilayah.
Hubungan Indonesia dengan para tetangga bisa jadi disebabkan ada nya jendela pecah di Indonesia yang belum diperbaiki. Jika kita analisa lebih dalam, jendela pecah ini berada di jendela hubungan antara Indonesia dengan Malaysia. Bagaimana tidak, Negara tetangga yang mengaku saudara serumpun ini memang sering kali menguji emosi bangsa Indonesia. Dan sudah menjadi rahasia publik, bagaimana presiden era reformasi merespon stimulus yang diberikan Malaysia. Bahkan di era presiden SBY, Dr. Marty M. Natalegawa, Manteri Luar Negeri Indonesia, selalu menjelaskan arah kebijakan luar negeri Indonesia dengan pernyataan “Million Friends, Zero Enemy”. Istilah itu memang benar adanya, namun juga ada istilah lain yang harus diingat oleh pemerintah Indonesia, “Bergaul dengan Pandai Besi, Bau Bakaran Api. Bergaul dengan Penjual Parfum, Bau Wangi”.

Sunday, August 4, 2013

Experience Learning Circle

Rekan-rekan yang berkecimpung di dunia pendidikan dan pembelajaran pasti sudah tidak asing dengan istilah pedagogy atau pembelajaran orang dewasa. Konsep pedagogy kemudian menjelma ke dalam teori experience learning circle nya Kolbi yang terdiri dari empat lingkaran. Dimulai dari lingkaran concrete experience, disusul lingkaran reflective observation, abstract conceptualization, dan active experimentation. Atau bahasa sederhana nya, pedagogy atau pembelajaran orang dewasa dimulai dari apa yang Anda lakukan? kemudian dilanjutkan dengan lingkaran apa yang Anda rasakan? Diteruskan dengan lingkaran, apa yang dapat dipelajari dari pengalaman tadi? Dan diakhiri dengan lingkaran apa yang akan Anda lakukan dari pelajaran yang didapat dari pengalaman?

Sehingga inti dari pedagogy adalah belajarlah dari pengalaman Anda. Tidak salah kalau ada sebuah pepatah "Pengalaman adalah guru terbaik". Sebuah kalimat simpel yang mengandung arti dalam. Pengalaman yang menjadi guru tentunya adalah pengalaman yang bisa direfleksikan ulang ke dalam pengalaman baru dengan hasil yang lebih baik dari pengalaman pertama. Ini lah yang kemudian disebut sebagai ilmu hikmah, ilmu yang membedakan character pada tiap orang, bahkan pada anak kembar sekalipun.

Walaupun pengalaman yang diterima sama, namun setiap orang akan menghikmahi atau merefleksikan (lingkaran ke tiga experience learning circle-reflective observation) pengalaman dengan cara dan hasil yang berbeda-beda. Dan hasil dari refleksi yang berbeda-beda tadi menjadi kebenaran subjective bagi para pembelajar. Yang merugi adalah orang yang bertemu dan mengalami pengalaman namun gagal atau tidak merefleksikan ke dalam pengalaman berikutnya.


Kisah Bakri Group bisa menjadi contoh menarik tentang merefleksikan pengalaman menjadi hikmah. Achmad Bakrie merintis usaha jual beli hasil bumi di tahun 1936. Usaha nya berkembang dengan cepat hingga mengekspansi ke bisnis lain hingga mencapai puncak kejayaan nya di tahun 1986, keluarga Bakrie menjadi Konglomerat baru di Asia. Pengalaman kejayaan ayah nya diteruskan oleh Aburizal Bakrie (Ical). Berbekal pengalaman ayah nya, Ical memperluas expansi usaha nya sampai puncak kejayaan nya dengan membeli dan meng IPO kan Bumi Resource. Semua lapisan masyarakat mengejar saham nya, karena setiap saham Bumi bergerak, grafik indek harga saham gabungan selalu bergeser hebat.

Sayang nya di tahun 1996 saat krisis moneter melanda dunia, Bakrie Group menjadi salah satu konglomerat yang masuk dalam kategori pengusaha yang perlu diselematkan oleh negara. Berbeda dengan ayah nya yang menjahui bank untuk mengembangkan usaha, Ical malah mendekati bank untuk mengembangkan usahanya. Utang nya yang berbentuk dolar lah yang menjadikan Bakrie Group terpuruk. Tidak belajar dari pengalaman ayah nya, Anindya Bakrie (Anak Ical) melakukan expansi usaha dengan cara yang sama. Lagi-lagi di tahun 2008 saat krisis moneter melanda Eropa, Bakrie Group kembali kolap. Dalam semalam Bakrie Group menanggung hutang sebesar Rp 11 triliun.



Berkah Selalu
Anker-Andi Keren