Tuesday, August 13, 2013

Tipping Factor Change Agent

Sehari sebelum penyerangan, di Kota kecil Boston, tanggal 18 April 1775, para serdadu Inggris mendiskusikan rencana mereka untuk menggempur Baltimore. Tanpa mereka sadari, seorang anak kecil menguping pembicaraan mereka, dan secepat kilat ia berlari memberitahukan informasi ini kepada seorang perajin perak bernama Paul Revere. Tidak menunggu lama, Paul Revere segera berdiskusi dengan William Dawis untuk menyebarluaskan berita rencana penyerangan tersebut.  Mereka pun bergerak ke arah yang berlawanan, paul Revere bergerak menuju kea rah Barat menuju kota Boston Dan William Dawis bergerak menuju ke kota-kota yang terletak di sebelah barat Lexington.

 
Dalam dua jam, Paul Revere telah menempuh 13 mil melewati Charlestown, Medford, North Cambridge, Menotomy, dan Lexington. Berita itu dengan cepat menyebar seperti virus. Berita itu sampai di Lincoln, Massachussets pada pukul satu malam. Di pukul tiga pagi, Sudbury juga sudah mendengar berita yang dibawa Paul Revere, dan berita itu juga sampai di Andover (40 mil barat laut Boston) pukul lima pagi, dan di Ashby pukul sembilan pagi. Di setiap kota yang dilewati, lonceng gereja dibunyikan dan genderang perang ditabuh bertalu-talu.

 
Di pihak Inggris, mereka tidak tahu kalau rencana yang mereka susun sudah bocor, sehingga pada tanggal 19 April 1775, tentara Inggris bergerak menuju Baltimore. Berkat informasi yang diberikan Paul Revere, rakyat Baltimore sudah siap memberikan perlawanan. Ketika pasukan Inggris memulai long march mereka, di sepanjang jalan mereka menghadapi perlawanan sengit yang terorganisir dengan baik. Puncaknya, di Concord pasukan Inggris mengalami kekalahan telak.

 
Bagaimana dengan William Dawis, dengan pesan, jarak, kota, dan jumlah orang yang dihubungi kurang lebih sama dengan Paul Revere tetapi jumlah orang yang menanggapi pesan tersebut ternyata tidak sama. Tentara Inggris dengan mudah menaklukan kota-kota yang menjadi tanggung jawab William Dawis.  Kisah Paul Revere ini mengi kemudian menginspirasi sejarawan Malcolm Gladwell. Dalam bukunya Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference, Gladwell menulis “hal kecil yang dilakukan oleh orang-orang kunci (agent of change) berdampak besar pada kemenangan perubahan”. Dan bukankah perubahan yang dibawa Nabi Muhammad SAW pada awalnya juga dimulai dari 10 assabiqul awwalun (Khadijah, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Tholib, Abu Bakar As Shidiq, Bilal Bin Rabah, Ummu Aiman, Hamzah bin Abdul Muntholib, Abbas bin Abdul Muntholib, Abdullah bin Abdul Asad, dan Ubay bin Kaab). Indonesia juga memiliki Paul Revere, sebut saja tokoh yang sedang moncer saat ini seperti Jokowi Gubernur Jakarta, Tri Rismawati Walikota Surabaya, Ahmad Hermawan Gubernur Jawa Barat, dan Ridwan Kamil Walikota Bandung.

 
Sebagai agent of change, mereka hanya melakukan 20% tindakan namun mampu menginspirasi orang lain untuk 80% kontribusi sisanya. Karena para agent of change seperti Paul Revere adalah orang-orang yang mampu mempengaruhi orang lain sebagaimana suatu virus bekerja dengan dampak penyebaran yang tinggi, anggaplah untuk kiasan ini adalah virus positif".

 
Malcom Gadwel juga mengidentifikasi ada tiga hukum yang harus diikuti untuk menjadi seorang change agent. Hukum pertama adalah The Law of Few – Hukum Tentang yang Sedikit”. Semakin sedikit orang maka tanggungjawab akan terfokus pada sedikit orang, berbeda ceritanya jika banyak orang yang terlibat dalam perubahan maka tanggungjawab nya akan menyebar. Dengan kata lain, dengan tanggung jawab yang dipikul oleh banyak orang akan membuat setiap orang mempersepsi dirinya hanya memikul tanggung jawab yang kecil karena tanggungjawab nya sudah terbagi dengan orang-orang yang lain. Semakin merasa sedikit akhirnya merasa bahwa dirinya tidak penting, dan bagiannya tidak terselesaikan. The Law of Few menuntut sedikit orang tersebut tentunya adalah orang-orang pilihan yang dipilih dengan dua kata kunci, memiliki kemampuan dan kemauan untuk mempengaruhi orang. Mampu saja tanpa diikuti kemauan tidak akan terjadi, begitu juga sebaliknya.

 
Hukum kedua untuk menjadi agent of change adalah The Stickiness Factor” atau faktor kelekatan. Seorang change agent yang baik akan selalu memiliki role model yang menjadi faktor kelekatan nya. Selama change agent memiliki role model maka seorang change agent tidak akan pernah berhenti berjuang sampai mendekati sosok ideal seperti yang dijadikan role model. Selain harus menjadi memiliki role model, seorang agent of change juga harus menjadi stickiness factor bagi orang lain, atau menjadi role model bagi orang lain. Tugas utama change agent untuk merubah mind set maupun perilaku seseorang hanya bisa dilakukan dengan mudah saat dia menjadi role model bagi orang lain.

 
Dan hukum ketiga untuk menjadi change agent adalah “The Power of Context – Kekuatan Konteks”.  Sesuatu yang berhasil di suatu tempat tidak dapat dikopi dengan sendirinya. Masing-masing memiliki konteknya sendiri, atau ashabul nuzul (asal muasal) munculnya. Kontek adalah situasi atau kondisi dimana sebuah kejadian berada , karena konteknya berbeda maka perlu ditreatment treatment nya juga harus berbeda. Dengan kata lain hukum “The Power of Context” menjadikan change agent harus mampu menganalisa kontek atau akar dari setiap permasalahan. Contoh sederhananya, tentang kesuksesan David Gunn dan William Bratton dalam membasmi kejahatan di New York. Sebagai change agent, kedua orang tersebut menganalisa dan menemukan akar permasalahan kejahatan yang terjadi dimulai dari membiarkan pengerusakan-pengerusakan kecil. Maka kedua orang tersebut mulai mengatasi kejahatan dengan karena menangani grafiti yang tersebar di penjuru kota. Hanya dengan melakukan itu, David Gunn dan william Bratton ternyata mampu menurunkan angka kejahatan di New York secara drastis.

 
Sumber yang dipakai:
Khasalli, Rhenald. 2007. Re-Chode Your Change DNA. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Gladwell, Malcolm. 2000. The Tipping Point : How Litte Think Can Make a Big Difference. Little Brown : United State of America

No comments:

Post a Comment