Sehari sebelum penyerangan,
di Kota kecil Boston, tanggal 18 April 1775, para serdadu Inggris mendiskusikan
rencana mereka untuk menggempur Baltimore. Tanpa mereka sadari, seorang anak kecil
menguping pembicaraan mereka, dan secepat kilat ia berlari memberitahukan
informasi ini kepada seorang perajin perak bernama Paul Revere. Tidak menunggu lama, Paul Revere segera berdiskusi dengan William Dawis untuk menyebarluaskan berita rencana penyerangan
tersebut. Mereka pun bergerak ke arah
yang berlawanan, paul Revere bergerak menuju kea rah Barat menuju kota Boston
Dan William Dawis bergerak menuju ke kota-kota yang terletak di sebelah barat
Lexington.
Dalam dua jam, Paul
Revere telah menempuh 13 mil melewati Charlestown, Medford, North Cambridge,
Menotomy, dan Lexington. Berita itu dengan cepat menyebar seperti virus. Berita
itu sampai di Lincoln, Massachussets pada pukul satu malam. Di pukul tiga pagi,
Sudbury juga sudah mendengar berita yang dibawa Paul Revere, dan berita itu
juga sampai di Andover (40 mil barat laut Boston) pukul lima pagi, dan di Ashby
pukul sembilan pagi. Di setiap kota yang dilewati, lonceng gereja dibunyikan
dan genderang perang ditabuh bertalu-talu.
Di pihak Inggris,
mereka tidak tahu kalau rencana yang mereka susun sudah bocor, sehingga pada tanggal
19 April 1775, tentara Inggris bergerak menuju Baltimore. Berkat informasi yang
diberikan Paul Revere, rakyat Baltimore sudah siap memberikan perlawanan.
Ketika pasukan Inggris memulai long march
mereka, di sepanjang jalan mereka menghadapi perlawanan sengit yang
terorganisir dengan baik. Puncaknya, di Concord pasukan Inggris mengalami
kekalahan telak.
Bagaimana dengan
William Dawis, dengan pesan, jarak, kota, dan jumlah orang yang dihubungi
kurang lebih sama dengan Paul Revere tetapi jumlah orang yang menanggapi pesan
tersebut ternyata tidak sama. Tentara Inggris dengan mudah menaklukan kota-kota
yang menjadi tanggung jawab William Dawis.
Kisah Paul Revere ini mengi kemudian
menginspirasi sejarawan Malcolm
Gladwell. Dalam bukunya Tipping Point: How Little Things
Can Make a Big Difference, Gladwell menulis “hal kecil yang dilakukan
oleh orang-orang kunci (agent of change)
berdampak besar pada kemenangan perubahan”. Dan bukankah perubahan yang dibawa
Nabi Muhammad SAW pada awalnya juga dimulai dari 10 assabiqul awwalun (Khadijah, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Tholib,
Abu Bakar As Shidiq, Bilal Bin Rabah, Ummu Aiman, Hamzah bin Abdul Muntholib,
Abbas bin Abdul Muntholib, Abdullah bin Abdul Asad, dan Ubay bin Kaab). Indonesia
juga memiliki Paul Revere, sebut saja tokoh yang sedang moncer saat ini seperti
Jokowi Gubernur Jakarta, Tri Rismawati Walikota Surabaya, Ahmad Hermawan
Gubernur Jawa Barat, dan Ridwan Kamil Walikota Bandung.
Sebagai agent of change, mereka
hanya melakukan 20% tindakan namun mampu menginspirasi orang lain untuk 80% kontribusi sisanya.
Karena para agent of change seperti Paul Revere adalah orang-orang yang
mampu mempengaruhi orang lain sebagaimana suatu virus bekerja dengan dampak
penyebaran yang tinggi, anggaplah untuk kiasan ini adalah virus positif".
Malcom Gadwel juga mengidentifikasi ada tiga hukum yang harus diikuti
untuk menjadi seorang change agent.
Hukum pertama adalah “The Law of Few
– Hukum Tentang yang Sedikit”. Semakin sedikit orang maka tanggungjawab akan
terfokus pada sedikit orang, berbeda ceritanya jika banyak orang yang terlibat
dalam perubahan maka tanggungjawab nya akan menyebar. Dengan kata lain, dengan tanggung
jawab yang dipikul oleh banyak orang akan membuat setiap orang mempersepsi
dirinya hanya memikul tanggung jawab yang kecil karena tanggungjawab nya sudah
terbagi dengan orang-orang yang lain. Semakin merasa sedikit akhirnya merasa
bahwa dirinya tidak penting, dan bagiannya tidak terselesaikan. The Law of Few menuntut sedikit orang
tersebut tentunya adalah orang-orang pilihan yang dipilih dengan dua kata
kunci, memiliki kemampuan dan kemauan untuk mempengaruhi orang.
Mampu saja tanpa diikuti kemauan tidak akan terjadi, begitu juga sebaliknya.
Hukum kedua untuk menjadi agent of
change adalah “The Stickiness
Factor” atau faktor kelekatan. Seorang change agent yang baik akan selalu memiliki role model yang menjadi faktor kelekatan nya. Selama change agent memiliki role model maka seorang change agent tidak akan pernah berhenti
berjuang sampai mendekati sosok ideal
seperti yang dijadikan role model.
Selain harus menjadi memiliki role model, seorang agent of change juga harus
menjadi stickiness factor bagi orang
lain, atau menjadi role model bagi
orang lain. Tugas utama change agent untuk merubah mind set maupun perilaku seseorang hanya bisa dilakukan dengan
mudah saat dia menjadi role model
bagi orang lain.
Dan hukum ketiga untuk menjadi change
agent adalah “The Power of Context – Kekuatan Konteks”. Sesuatu yang berhasil di suatu tempat tidak
dapat dikopi dengan sendirinya. Masing-masing memiliki konteknya sendiri, atau ashabul
nuzul (asal muasal) munculnya. Kontek adalah situasi atau kondisi dimana sebuah
kejadian berada , karena konteknya berbeda maka perlu ditreatment treatment nya juga harus berbeda. Dengan
kata lain hukum “The Power of Context”
menjadikan change agent harus mampu
menganalisa kontek atau akar dari setiap permasalahan. Contoh sederhananya,
tentang kesuksesan David Gunn dan William Bratton dalam membasmi kejahatan di
New York. Sebagai change agent, kedua orang tersebut menganalisa dan menemukan
akar permasalahan kejahatan yang terjadi dimulai dari membiarkan
pengerusakan-pengerusakan kecil. Maka kedua orang tersebut mulai mengatasi
kejahatan dengan karena menangani grafiti yang tersebar di penjuru kota. Hanya
dengan melakukan itu, David Gunn dan william Bratton ternyata mampu menurunkan
angka kejahatan di New York secara drastis.
Sumber yang dipakai:
Khasalli,
Rhenald. 2007. Re-Chode Your Change DNA. PT. Gramedia Pustaka Utama : JakartaGladwell, Malcolm. 2000. The Tipping Point : How Litte Think Can Make a Big Difference. Little Brown : United State of America
No comments:
Post a Comment