Wednesday, September 18, 2013

Coaching Itu Obat Sehat



Malam kemarin , saya beruntung sempat menonton film "Limitless" di HBO. Awalnya Eddy Morra (Bradley Copper) memiliki kehidupan yang suram sebagai seorang penulis. Mendapat kontrak dari sebuah penerbitan, Eddy tidak mampu menyelesaikan satu buku pun. Kehidupannya berubah, setelah Eddy bertemu dengan adik ipar nya yang berprofesi sebagai pengedar obat terlarang. Dari adik nya dia mendapat obat NZT- 48 yang mampu mengekplore 80% kemampuan otak yang belum digunakan.

Tertekan dengan date line pengerjaan buku, Eddy akhirnya meminum obat itu. Semua fungsi tubuh nya mengalami perbaikan. Berfikir dengan cepat, menemukan ide-ide hebat, gerakannya lincah dan kuat, afeksi nya juga semakin baik. Kehidupannya mulai membaik, dua buku dapat diselesaikan dalam dua hari, peluang-peluang saham dianalisa dan dimenangkan. Dalam dua bulan, Kehidupan Eddy berubah total dari penulis miskin menjadi jutawan dengan omset mencapai 40 juta USD. Sayang nya NZT-48 hanya mampu meningkatkan 80% kemampuan otak dalam waktu satu hari saja. Eddy yang rajin mengkonsumsi NZT-48 tiap hari menjadi kecanduan. Saat obatnya habis dia mencoba bunuh diri.

Asik ya kalau bisa mengekplore keseluruhan fungsi otak kita. Bisa hebat dan sesukses Eddy. Meyakini prinsip "Man Jada Wa Jada - setiap kemauan pasti ada jalan", tanpa menggunakan obat sebenarnya ada tool sehat yang bisa digunakan. Pedagogy (pendidikan orang dewasa) begitu tool itu dinamakan. Prinsip pembelajaran pedagogy ini adalah memfasilitasi orang dewasa untuk mengeksplore lagi memori (pengalaman) yang pernah dialami. Pedagogy menyebutnya sebagai experience learning circle. Belajar dari pengalaman kongkret (concrete experience), dilanjutkan dengan debrief (reflective observation), ber experience lagi untuk menyusun konsep baru (abstract conceptualization) dan diakhiri dengan aplikasi.

Dalam pelatihan, peran ini dimainkan oleh fasilitator (bukan trainer) dan dalam development peran ini dimainkan oleh coach (bukan mentor). Berbeda dengan trainer dan mentor yang mengajari pengetahuan dan skill baru, seorang fasilitator dan coach memanfaatkan memori experience yang pernah dialami trainee atau coachee untuk beradaptasi dengan situasi yang akan dihadapi. Seorang fasilitator menggali memori (pengalaman) trainee dalam fase debrief. Menggunakan 4F, fasilitator menggali memori trainee dengan berdiskusi fact (pengalaman) yang dialami, feel yang dirasakan saat mengalami experience, dan merencanakan future dengan mengadaptasi pengalaman yang dialami.

Seorang coach juga berperan seperti fasilitator dalam development. Proses coaching yang dimulai dari open yang focus nya pada pengalaman coache. Proses clarify juga berfokus pada mengklarifikasi benar-atau tidak coache mengalami pengalaman tersebut. Dilanjutkan dengan proses development di mana coach menggali (seeking) pengalaman coache dan bercerita (telling) pengalaman coach. Proses pun dilanjutkan dengan membuat persetujuan (agree) solusi atas tantangan yang dihadapi coache berdasarkan adaptasi pengalaman coache dan pengalaman coach. Diakhiri dengan proses closing untuk membuat janji komitment dan monitoring rencana development.

Memang facilitating and coaching bukan lah tool instan untuk mencapai kehebatan dan kesuksesan seperti yang dicapai dengan obat. Namun, facilitating dan coaching adalah tool yang sehat untuk menjadi hebat dan sukses. Bukankah setiap yang instan selalu berpotensi berefek negatif lebih besar? Dan bukankah belajar dengan melakukan mampu meningkatkan pemahaman kita sampai 55%? Jadi pilih mana, cara instan atau cara sehat?

Berkah Selalu
Anker-Andi Keren

No comments:

Post a Comment