Tuesday, October 28, 2014

Jokowi : Sleeping With The Enemy

 
Di tahun 1991 ada film berjudul Sleeping With The Enemy. Film yang dibuat dengan genre drama romantis. Ceritanya cukup asik disimak, namun saya lebih tertarik pada judulnya, "Sleeping With The Enemy". Judul cerita ini akan menarik dan bisa jadi akan menjadi kisah nyata di Indonesia.
 
Mengutip management change nya Lewin, frees- unfrees - change - refrees. Tahan perubahan dinamika Indonesia pasca pemilu laksanya es yang membeku (frees) antara KMP dan KIH. Kemudian mulai berubah mencair (un frees) saat Jokowi melakukan safari politik ke Abu Rizal Bakri dan Prabowo. Dilanjutkan langkah berikutnya dengan perubahan (change) dinamika Indonesia setelah Prabowo bertemu JK dan menyatakan bahwa mereka satu kapal. Tinggal satu tahap lagi (refrees) hingga membuat dinamina Indonesia semakin menyenangkan.
 
Prabowo dan koalisi nya (Koalisi Merah Putih) sudah menasbihkan diri bahwa mereka akan menempati posisi oposisi. Dan tentunya Jokowi akan sangat bersyukur dengan adanya Prabowo di sudut tersebut. Bukankah sebagai seorang muslim, Jokowi akan mengikuti sunah Nabi untuk mencari cermin? Dan dengan feedback yang baik akan membuat Jokowi semakin matang dan berkualitas memimpin Indonesia.
 
Kejelasan posisi Prabowo dan koalisinya sebagai oposisi tentunya akan baik bagi Jokowi. Dengan kejelasan posisi mereka, Jokowi sudah bisa melakukan pemetaan resiko yang matang. Logikanya jika seorang petualang melihat dengan jelas di depannya ada Macan yang mengaum, maka petualang tersebut akan punya banyak rencana untuk bisa terhindar dari terkaman si Macan.
 
Sebaliknya, yang lebih berbahaya sebenarnya adalah Macan yang tidak terlihat dan kemudian tiba-tiba menyerang si Petualang. Itulah gambaran Sleeping With The Enemy.
Tentu nya orang akan sangat berhati-hati saat memilih teman tidur. Karena saat tertidur, orang akan berada di alam tak sadar. Pada fase ini orang yang tertidur sangat rentan untuk diserang secara psikisnya dengan stimulus yang menghipnotis. Bahkan dibeberapa film dikisahkan salah satu cara cuci otak dilakukan saat korbannya tidur.
 
Saat tertidur juga orang sangat rawan diserang serangan fisik. Tentu saja karena orang yang tertidur tidak bisa membalas apa-apa.
 
Bisa dipastikan saking berhati-hati nya memilih teman tidur maka orang yang akan dipilih pun pastinya orang yang dipercaya. Dan Koalisi Indonesia Hebat adalah teman tidur yang dipilih oleh Jokowi.
 
Jika diibaratkan Jokowi tidur di sebuah ruangan dengan KIH, dan KMP sebagai oposisi tidur diruang lain. Bisa jadi Jokowi sudah menyiapkan dengan well prepare cara agar KMP tidak melakukan serangan saat mereka tidur. Di saat yang bersamaan bisa jadi musuh Jokowi sebenarnya ada di ruangannya sendiri. Musuh itu bernama KIH
 
Bukankah saat Jokowi tidur bisa terganggu dengan intervensi bernama "ngorok". Atau bisa jadi gangguan tidur Jokowi oleh musuhnya berasal dari "ngolet" nya KIH yang tidur disampingnya, hingga tangannya tak sengaja memukul Jokowi. Atau saat berganti posisi, kaki mereka menendang Jokowi.
 
Anda bisa mengartikan apapun atas "ngorok", "ngolet", atau "berpindah posisi". Bisa jadi berupa mengintervensi autonomy presiden untuk menentukan menterinya. Atau bisa berupa tidak kritis dan tajam lagi atas kebijakan yang diambil Jokowi.
 
Sepertinya budayakan Sujiwo Tedjo mulai melihat hal ini. Tak heran dalam Tweet nya terakhir Sujiwo Tedjo menulis "Pemimpin bertangan besi mematikan nyali. Pemimpin yang dinabikan mematikan nalar".
 
Dan bisa jadi kematikan seseorang bukan ditangan musuh yang jelas posisi nya sebagai musuh. Namun ditangan teman yang sebenarnya musuh. Bukankah ada pepatah lama mengatakan "Monyet tidak jatuh karena angin kencang. Monyet jatuh karena angin semilir"
 
Berkah selalu
N Kuswandi

Friday, October 17, 2014

Mencari Jiwa Struktur Organisasi

 
Setiap manusia dibekali tiga asset potensi yang sama oleh Tuhan, asset fisik, asset fikir, dan asset hati. Dalam perkembanganya setiap orang memiliki kelebihan sendiri dalam memaksimalkan potensi tersebut. Ada orang yang dominan menggunakan fisik nya, ada orang yang dominan menggunakan potensi fikir nya dan ada orang yang dominan menggunakan potensi hati nya.
 
 
Orang yang memaksimalkan potensi fikir nya dianugrahi tuhan dengan kekuatan logika. Dan orang yang memaksimalkan potensi hatinya dianugrahi tuhan dengan kecerdasan emosional.
Apapun yang berlebihan tentunya menimbulkan hal yang tidak baik. Karena nya di tradisi apapun selalu mengenal konsep keseimbangan. Di Cina konsep keseimbangan itu dikenal dengan Ying dan Yang. Di tradisi Jawa, keseimbangan itu dikenal dengan “Gulo Klopo”. Begitu juga dengan dominasi penggunaan potensi yang diberikan tuhan. Dalam organisasi, Emirsyah Satar selaku CEO Garuda pernah berkata
“Kalau seseorang terlalu kuat logic nya kasihan pegawainya. Kalau hati nya yang memimpin kasihan organisasi nya”

 
Setiap karyawan tentunya memiliki dua kebutuhan, kebutuhan praktis dan kebutuhan psikologis. Tuhan memberikan bekal untuk memenuhi kebutuhan praktis dengan potensi fikir. Dan Tuhan juga begitu adil dengan menitipkan potensi hati untuk memenuhi kebutuhan psikologis.
Kebutuhan praktis bisa dilihat dengan kebutuhan orang untuk menjalankan job description nya, mencapai best performance, ataupun achieve target. Sedangkan kebutuhan psikologis ditandai dengan kebutuhan orang untuk dihargai, diempati, dilibatkan, dishare informasi atau pengetahuan, dan mendapatkan support.
 
 
Jika atasan hanya menuntuk karyawan memenuhi kebutuhan praktisnya tanpa dibarengi kebutuhan psikologis (dihargai, diempati, dilibatkan, dishre, dan disupport) tentunya akan kasihan karyawannya. Ibaratnya, para karyawan ini dipekerjakan seperti robot, seakan bentuk baru perbudakan. Sebaliknya jika yang diutamakan, hanya sedikit-sedikit berempati, dihargai, disupport yang akan kasihan adalah organisasi nya, kebutuhan praktis nya tidak tercapai.
 
 
Agar menyeimbangkan kedua kebutuhan tersebut, dari sisi managerial sebenarnya sudah didesign dalam struktur organisasi. Sebagaimana kita tahu, secara umum struktur organisasi terdiri dari dua hal, yaitu structural dan fungsional. Kalau dilihat dalam struktur organisasi, garis tugas structural digambarkan dengan garis tegas. Sedangkan struktur fungsional digambar dengan garis putus-putus.
 
 
Struktur organisasi structural adalah garis komando kaku dari tahap ke tahap, sebagai gambaran kebutuhan logika. Sebaliknya, struktur organisasi fungsional adalah garis komando yang membuat seorang manager diperbolehkan berkomunikasi langsung dengan karyawan level bawah sekalipun. Struktur organisasi fungsional ini sebenarnya adalah lambing dari kebutuhan psikologis.
 
 
Sejalan dengan pemikiran Emirsyah Satar tadi bahwa atasan yang hanya focus pada logika maka akan terfokus pada struktur organisasi secara structural. Atasan seperti ini akan sangat kuat secara birokrasi. Dan itulah yang terjadi di Indonesia, para pemimpin bangsa ini lebih senang menjalankan strucktur organisasi structural.
 
 
Pada akhirnya touching para pemimpin bangsa ini tidak sampai ke bawah. Tak heran jika kemudian bangsa ini merindukan pemimpin seperti Ridwan Kamil, Jusuf Kalla, Jokowi, Ahmad Hermawan, dan pemimpin-pemimpin lain yang mau turun kebawah. Merekalah para pemimpin yang menggunakan konsep Management by Wandering Around yang diperkenalkan oleh Hawllet dan Parket, pendiri perusahan computer HP. Merekalah para pemimpin yang tidak ingin terjebak dengan struktur organisasi structural saja, namun mau menggunakan struktur organisasi fungsional.
 
 
Berjalan sebaliknya, orang-orang yang hanya menggunakan struktur organisasi fungsional saja tanpa menyeimbangkan dengan struktur organisasi structural juga hanya akan memperlemah organisasi nya. Pemimpin yang langsung bergerak ke bawah tanpa mengikuti structural akan memperlemah organisasi.
 
 
Pemimpin yang hanya berfokus pada struktur organisasi fungsional seakan mengawasi semua pekerjaan sendirian. Hingga akhirnya sub ordinat langsungnya menjadi menggantungkan pada satu sosok. Mereka tidak bertumbuh dan berkembang. Saat sosok itu pergi maka kegaduhan dalam organisasi akan terjadi.
 
 
Berkah selalu
N Kuswandi

Monday, October 13, 2014

Penghargaan KIH Kepada KMP

 
"Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh", begitulah bunyi peribahasa. Dan "Persatuan Indonesia" begitulah bunyi sila ketiga Pancasila. Memang dengan bersatu mampu menjadikan orang biasa menjadi hebat dan orang hebat menjadi orang luar biasa.
 
Presiden terpilih kita nampaknya sangat memahami sila ketiga dan peribahasa tadi. Buktinya pasca kemenangannya di pilpres, Jokowi langsung merubah slogan nya dari "Salam Dua Jari" menjadi "Salam Tiga Jari".
 
Tak heran jika Jokowi ingin segera mempraktekan sila ketiga Pancasila. Langkah pertamanya untuk mewujudkan mimpinya dengan berdamai dengan lawan koalisi saat pemilu presiden, Koalisi Merah Putih.
 
Agar mau bersatu membangun Indonesia dipancing anggota Koalisi Merah Putih dengan jabatan menteri. Mungkin bagi Jokowi "yang terpenting Indonesia bersatu, saya menjadi martir melanggar janji kampanye saya tidaklah masalah".
 
Setidaknya, PPP sudah menerima posisi calon wakil MPR, hasil tawaran dari Koalisi Indonesia Hebat. Pergerakan berikutnya bisa jadi anggota Koalisi Merah Putih benar-benar menerima tawaran Jokowi.
 
Tiba-tiba saya teringat kata-kata senior saya sewaktu bekerja di department CDI perusahaan pertambangan. Dia berkata "Memelihara Harimau itu harus memberi makan setiap hari, saat makanannya habis dan tidak ada lagi, kita lah yang diterkam". Bagi dia, Harimau adalah simbol duri dalam daging organisasi, dan makan adalah simbol penghargaan transaksional (barang, jabatan, dst)
 
Sebagai duri tentu ingin segera dicabut, pertanyaannya bagaimana? Jika cara menghilangkan duri dalam organisasi dengan memberikan mereka makan yang terjadi saat makanan habis yang memberi makan yang diterkam. Saat Jokowi sudah tidak memberikan "makan" pada KMP maka Jokowi lah yang diterkam.
 
Bahaya penghargaan transaksional kedua adalah selalu minta lebih. Anggap saja penghargaan transaksional yang diberikan adalah menteri, bisa jadi saat ini mengenyangkan. Namun karena sifat penghargaan transaksional yang selalu minta lebih, maka bisa dipastikan dikemudian hari jabatan menteri itu sudah dianggap hal biasa. Bisa jadi dulu dikasih satu menteri sudah puas. Dikemudian hari, dua orang menteri lah yang akan memuaskan.
 
Kampanye Jokowi sebenarnya sangat menarik. Alih-alih membagi menteri untuk berkoalisi, kesatuan visi yang menjadikan Indonesia hebat berkongsi. Kalau memang Koalisi Merah Putih tidak satu visi, kenapa tidak memberikan penghargaan lain. Bukankah Jokowi terkenal dengan kehebatannya melobi, baik saat di Solo ataupun Jakarta?
 
Berkah selalu
N Kuswandi

Friday, October 10, 2014

Nabi Dimusuhi Di Negeri nya Sendiri


Maka Yesus berkata kepada mereka: Seorang nabi dihormati dimana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya. Markus 6:4
Dengan tafsir yang bebas, Nabi bisa diartikan sebagai orang-orang yang hebat, orang-orang yang memiliki mimpi dan orang-orang yang diakui memiliki prestasi. Kata-kata itu sedikit banyak masuk akal juga. Tidak sedikit orang-orang berprestasi dari Indonesia yang lebih memilih berhijrah ke luar negeri, ke tempat orang-orang lebih menghargai prestasinya.
Sebut saja Sehat Sutardja, pria berusia 49 Tahun ini memilih berhijrah ke Amerika Serikat dan menjadi orang terkaya sedunia no. 300 versi Majalah Forbes. Anak bangsa lain yang diakui di luar negeri namun di caci di Indonesia adalah Sri Mulyani. Di hina karena kebijaksanaan nya di kasus century, namun di luar negeri diakui sebagai menteri terbaik yang dimiliki dunia. Bahkan, Sri Mulyani diangkat sebagai direktur pelaksana, karena prestasinya menangani krisis ekonomi, menerapkan reformasi, dan memperoleh respek dari kolega-koleganya dari berbagai penjuru dunia.
Begitu juga dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dibalik begitu banyak nya dukungan di pemilu presiden 2004 (69.266.350 orang) dan 2009 (73,874,562 orang), SBY banyak dikecam oleh media. Dari media lah kemudian rakyat mendapatkan sikap nasionalisme nya terhadap pemerintahan SBY, dimusuhi di negara nya sendiri.
Padahal sebuah kejadian yang sama selalu bisa dilihat dari sisi-sisi yang berbeda. Saat SBY sebagai Ketua Umum Demokrat yang memosisikan diri ditengah diantara koalisi. Bergerak secara isu, tidak memihak pada koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat. Bisa saja kita melihat dari sisi negative sebagai ketidaktegasan SBY menempatkan idealismenya. Padahal disisi yang lain, kita bisa melihat keputusan itu sebagai kekuatan penyeimbang yang baik untuk kedua koalisi.
Atau sikap SBY saat memutuskan sesuatu, layaknya kasus yang sedang hangat tentang kenaikan BBM yang diminta presiden terpilih, Jokowi. Jika dilihat dari satu sisi orang akan melihat SBY menghindar mengambil keputusan (decision dogging) untuk menaikan BBM di era pemerintahannya. Atau jika kita ingin membuka pandangan kita lebih lebar lagi, sebenarnya SBY tidak ingin meninggalkan beban eksekusi bidang strategic di tengah jalan.
Sayangnya, media kita lebih senang hanya memandang sebuah kejadian dari satu sudut pandang saja. Netralitas jurnalisme yang menjadi kode etik pun entah hilang kemana. Bahkan kita sering kali mendengar istilah “menggoreng berita”, berita yang sederhana bisa menjadi luar biasa ditangan jurnalis yang hebat. Pada akhirnya, bukan logika murni yang ditangkap masyarakat, namun persepsi yang menimbulkan bibit-bibit kekecewaan. Tak heran kemudian jurnalis senior semisal Andy F Nova sempat memilih menggantung pena nya, menghindari dunia yang dicintai nya, karena hanya berisi berita-berita negative tentang Indonesia. Beruntung masih ada orang yang memahami Andy F Noya dengan memberikan fasilitas acara sendiri untuk bisa memberitakan berita secara netral lewat acara Kick Andy.
Nampaknya benar perkataan Benedict Anderson, bahwa nasionalisme kita sekarang lahir dari berita media massa. Benedict Anderson menyebutnya sebagai printed nationalism.
Berbeda dengan cara pandang jurnalisme yang melihat di satu sisi, layaknya mengguatkan ayat Al Kitab, bahwa nabi tidak dihormati di negeri nya sendiri, organisasi dan negara diluar negeri berlomba-lomba memberikan penghargaan pada SBY. Sebut saja penghargaan dari Appeal of Conscience Fondation (AFC) dengan penghargaan World Statesman Award. Sebuah pencapaian atas penciptaan iklim kerukunan antar umat.
Dunia juga mengakui pencapaian Indonesia dibidang pertumbuhan ekonomi. Selama tahun 2004 sampai tahun 2014, Indonesia tumbuh menjadi negara dengan GDP 15 besar dunia. Kebanggaan itu makin terasa saat Indonesia masuk menjadi negara G-20. Padahal di tahun 2008, dunia sedang mengalami krisis ekonomi global. Di dalam gelombang krisis itu, perekonomian Indonesia dibawah pemerintahan SBY  malah bertumbuh 6% dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar no. 2 setelah Tiongkok (7.7%).
Dan tentunya masih banyak lagi prestasi Indonesia selama kepemimpinan SBY yang diakui dunia internasional.
Satu hal yang menurut saya menarik adalah perjuangan SBY untuk melanjutkan cita-cita bung Karno yang menginginkan Indonesia berperan di dunia Internasional. Akhirnya datang lagi Moment saat Indonesia yang diwakili SBY akhirnya bisa berpidato lagi dihadapan negara-negara sedunia (PBB). Pada bulan September kemarin lah, Indonesia ditunjuk sebagai Ketua Komite 1 Majelis Umum PBB untuk sesi ke-67, dalam Sidang Majelis Umum PBB
Tentunya penghargaan dari dunia luar itu juga menuai pro dan kontra, layaknya semua tindakan yang dilakukan SBY.  Ada yang tidak setuju, SBY tidak layak menerima penghargaan itu, dan tentunya ada yang setuju saat SBY dinobatkan menerima penghargaan-penghargaan itu.
Saya meyakini perbedaan pro dan kontra ini berasal dari sudut pandang “ukuran” yang berbeda. Bisa jadi ukuran para pemberi penghargaan adalah dengan membandingkan satu negara dengan negara lain. Sedangkan orang lain mengukur ketidaklayakan itu dari ukuran praktis yang berbeda.
Dibalik pro dan kontra itu yuk kita tarik ke point of view yang lebih tinggi. Bukan atas nama SBY nya yang menerima penghargaan, namun Indonesia nya yang menerima penghargaan. Dan saya yakin atas nama nasionalisme kita terhadap negara ini, siapa yang tidak bangga dengan Indonesia yang semakin di “hargai” di luar negeri? Dan apa yang lebih penting dari pada “Harga Diri”?
 
Berkah selalu
N Kuswandi

Thursday, October 9, 2014

Split : Saat Kekalahan Tidak Membuat Sedih dan Kemenangan Tidak Membuat Senang

 
 
Pep Guardiola, begitu dia sering dipanggil. Semenjak melatih Barcelona B di tahun 2007 hingga menjadi pelatih Barcelona  di tahun 2012, Pep Guardiola menghadiahkan Barcelona (Barca) dengan 14 kemenangan. Di tahun 2009, Pep Guardiola menganugrahkan piala La Liga, Copa Del Ray, Piala Super Spanyol, Piala Super UEFA, dan Piala Dunia Antar Klub FIFA.
 
Prestadi Pep Guardiola tidak hanya berhenti di tahun 2009, satu tahun berikutnya Pep Guardiola juga mempersembahkan 3 piala (La Liga, Piala Super Spanyol, dan Liga Champion UEFA) untuk Barcelona. Kejayaan Pep Guardiola di tahun 2011 juga belum meredup, 4 piala (La Liga, Piala Super Spanyol, Liga Champion UEFA, dan Piala Dunia Antarkluf FIFA). Dan sebelum mundur dari kursi pelatih, satu piala ditinggalkan Pep Guadiola di tahun 2012, Copa del Ray.
 
Setelah begitu banyak kemenangan yang diraih, dan saat dipuncak karir nya sebagai pelatih di Barca, Pep Guardiola memutuskan mengundurkan diri. Sebelum secara resmi mengundurkan diri, Pep Guardiola berkata  “Kemenangan tidak lagi membuat saya senang. Dan Kekalahan tidak lagi membuat saya sedih”. Bisa jadi perasaan yang dirasakan Pep Guardiola juga pernah atau sedang kita rasakan.
 
Coba kita perbesar sudut pandang kita, dari pandangan ke dalam diri menuju keluar, ke sebuah organisasi. Dulu sebelum organisasi besar bernama Indonesia ini dibangun oleh para funding father, Indonesia sedang berada dalam posisi dijajah. Dengan value yang sama, parafunding father memutuskan mendirikan Indonesia. Selama 69 tahun berikutnya, perjuangan itu diteruskan oleh anak-anak bangsa.
 
Walaupun masih banyak PR yang perlu dikerjakan oleh anak-anak bangsa, namun tidak bisa dipungkiri secara global kondisi kesejahteraan warga Indonesia semakin baik dari waktu kewaktu. Saya teringat saat kecil dahulu, hanya satu keluarga saja yang memiliki motor di RW saya. Sekarang jumlah motor yang dimiliki tiap keluarga sebanding dengan jumlah orang yang ada di rumah. Dahulu menyebrang jalan di dekat rumah itu menjadi kemewahan saat bisa melihat mobil. Sekarang jalan itu dipenuhi motor dan mobil yang berlalu lalang.
 
Bagi anak-anak bangsa itu, mereka merasa ada yang hilang. “Benar kita semakin sejahtera, namun terasa ada yang hilang”. Rasa yang sama bisa jadi juga sedang kita rasakan, “saya semakin kaya namun ada yang hilang”
 
Sepertinya organisasi bernama Indonesia terlalu besar, mari kita perkecil pandangan kita kedalam organisasi perusahaan kita. Dari tahun 80 an perusahaan ini berdiri, pundi-pundi sudah kita dapatkan. Perusahaan ini semakin besar dan besar, yang awalnya hanya satu plant di Narogong bertambah satu di Cilacap dan bertambah lagi di Tuban. Market share nya pun menjadi besar, 34% market  pasar semen diambil.
 
Namun, kalau mau ditanya in deep of our heart, “Sepertinya ada nilai yang hilang, nilai yang dahulu pernah ada.
 
Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kejayaan kita tidak diikuti dengan kepuasan hati? Rasanya seakan semakin kehilangan “trust” pada perusahaan. Begitu juga dengan anak-anak bangsa, kecintaan mereka kepada negara dihadang ketidakpercayaan pada pemerintah. Bagi anggota team kita, keberhasilan-keberhasilan performance yang mereka capai sepertinya tidak ada rasanya, hambar.

Simon Sinek menggambarkan kondisi tersebut dengan diagram seperti dibawah. Setiap organisasi yang dibangun memiliki dua tujuan utama, mendapatkan untung financial sebanyak-banyaknya dan bertahan dalam waktu yang lama. Pertanyaan “What” yang identic dengan mekanis digunakan untuk mewakili kuadran Financial. Sedangkan, kuadran time diwakili oleh pertanyaan “why” yang identic denganorganization value.
 
 
Kondisi seperti di atas, oleh Simon Sinek disebut fenomena “Split”. Bagi anak-anak bangsa, split itu berupa hilang nya nasionalisme-nilai Pancasila. Di organisasi kita, bisa jadi nilai yang hilang itu berupa “Care” – saling peduli. Dulu kita guyub, namun lama-lama kita menjadi egois. Atau bisa jadi nilai itu berupa “performance”, atau nilai yang hilang berupa “passion”.

Tidak heran, organisasi saat ini sedang berfokus tidak hanya mengejar performance, namun juga memasukan hati dalam proses mencapai hasil terbaiknya.

Berkah selalu
N Kuswandi

Tuesday, October 7, 2014

Alcoa – Performance Safety Menuju Performance Organisasi


 

Dua kali berada didalam organisasi dengan situasi performance perusahaan yang sedang turun. Menariknya di dua perusahaan tersebut, walaupun berbeda core business nya namun ada strategi organisasi yang sama, yaitu urusan Safety.

Timbul pertanyaan dalam diri saya, apa ini kenapa safety menjadi part of strategy menaikan performance perusahaan? Padahal kalau dipikir-pikir tidak ada hubungan langsung antara safety performance dengan performance perusahaan. Safety performance  sering diukur dengan no incident, sedangkan performance perusahaan sering kali diukur dengan EBITDA.

Akhirnya pertanyaan saya terjawab saat bertemu dengan buku “The Habit”. Salah satu kisah di buku itu menjawab pencarian yang saya lakukan.

Sebuah perusahaan yang nyaris seabad berdiri, Aluminum Company of America (Alcoa) telah memproduksi beragam barang dari kertas alumunium sampai bungkus coklat Hershey' Kissess, kaleng Coca Cola, sekrup yang mempertahankan keutuhan satelit

Begitu menggiurkannya bisnis Alcoa membuat banyak orang yg berinvestasi ke Alcoa. Namun beberapa tahun terakhir (era awal 1980) Management Alcoa berkali-kali salah langkah, karena secara gegabah mencoba berekspansi membuat product baru, sementara pesaing mencuri pelanggan dan keuntungan mereka

Para komisiaris perusahaan pada akhirnya di bulan Oktober 1987 memilih CEO baru. Paul O' Neill dipilih untuk mengatasi keadaan. Seperti layaknya CEO baru, para pemegang saham dominan ingin tahu strategi Sang CEO.

Selama meeting, O'Neill sama sekali tidak menyinggung strategi soal memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. O'Neill hanya menyampaikan, "Dengan logam sepanas 1.500 derajat dan mesin-mesin yang bisa merenggut nyama. Saya berniat menjadikan Alcoa menjadi perusahaan paling aman. Saya berniat untuk mengejar nol cedera".

Sesi tanya jawab pun berlangsung, ada yang bertanya tentang inventaris di divisi antariksa. Seorang lagi menanyakan rasio modal perusahaan. O'Neil menjawab "Bila Anda ingin mendengar kabar dari Alcoa, Anda perlu melihat angka keselamatan di Alcoa. Keselamatan akan menjadi tanda bahwa kita membuat kemajuan dalam mengubah kebiasaan di seluruh tempat kerja"

Para investor setelah pertemuan bergegas keluar ruang meeting dan buru-buru menjual saham mereka.

Cerita terus berlanjut, O'Neill sangat komitmen dengan strateginya. Setiap kali ada yang cedera, presiden unit harus melaporkan ke O'Neill dan dalam 24 jam harus mempresentasikan rencana perbaikan. O'Neill juga memberikan reward and punishment, orang yang akan dipromosi hanya yang mengikuti sistem tersebut. Saking komitmen nya dengan keselamatan kerja, bahkan O’Neill memecat tiga orang talent perusahaan yang diproyeksi menjadi direktur Alcoa.

Nampaknya para investor yang buru-buru menjual saham mereka telah membuat keputusan terburuk selama karir nya sebagai investor.

Dalam setahun setelah pidato O'Neil, laba Alcoa mencetak rekor paling tinggi. Ketika O'Neil pensiun tahun 2000, pendapatan tahunan bersih perusahaan lima kali lebih besar daripada saat O'Neil pertama kali memimpin. Kapitalis pasar naik sebesar $27 Miliar. Orang yang berinvestasi $1 juta mendapatkan $1 juta dolar lagi dalam bentuk deviden. Dan nilai saham mereka lima kali lebih besar sewaktu O'Neil pensiun.

Apa yang terjadi sebenarnya, kenapa dengan fokus pada safety menghasilkan profit yang begitu tinggi? Jawabannya sederhana, "Setiap kebiasaan memiliki kekuatan untuk memulai reaksi berantai".

Mungkin sadar dengan kekuatan safety ini, Arutmin memiliki sebuah moto “Safety Fist – Production Will Follow”.

Rantai yang paling terlihat dari pada membudayakan kebiasaan safety berefek pada disiplin baik dari sisi administratif sampai dengan eksekusi. Dengan budaya disiplin tadi bukan lagi kuantitas saja yang dikejar, namun perusahaan akan mengejar kualitas.

Menurut Anda rantai apa lagi yang akan terimbas dari perubahan kebiasaan safety?

Berkah Selalu
N Kuswandi