Friday, October 10, 2014

Nabi Dimusuhi Di Negeri nya Sendiri


Maka Yesus berkata kepada mereka: Seorang nabi dihormati dimana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya. Markus 6:4
Dengan tafsir yang bebas, Nabi bisa diartikan sebagai orang-orang yang hebat, orang-orang yang memiliki mimpi dan orang-orang yang diakui memiliki prestasi. Kata-kata itu sedikit banyak masuk akal juga. Tidak sedikit orang-orang berprestasi dari Indonesia yang lebih memilih berhijrah ke luar negeri, ke tempat orang-orang lebih menghargai prestasinya.
Sebut saja Sehat Sutardja, pria berusia 49 Tahun ini memilih berhijrah ke Amerika Serikat dan menjadi orang terkaya sedunia no. 300 versi Majalah Forbes. Anak bangsa lain yang diakui di luar negeri namun di caci di Indonesia adalah Sri Mulyani. Di hina karena kebijaksanaan nya di kasus century, namun di luar negeri diakui sebagai menteri terbaik yang dimiliki dunia. Bahkan, Sri Mulyani diangkat sebagai direktur pelaksana, karena prestasinya menangani krisis ekonomi, menerapkan reformasi, dan memperoleh respek dari kolega-koleganya dari berbagai penjuru dunia.
Begitu juga dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dibalik begitu banyak nya dukungan di pemilu presiden 2004 (69.266.350 orang) dan 2009 (73,874,562 orang), SBY banyak dikecam oleh media. Dari media lah kemudian rakyat mendapatkan sikap nasionalisme nya terhadap pemerintahan SBY, dimusuhi di negara nya sendiri.
Padahal sebuah kejadian yang sama selalu bisa dilihat dari sisi-sisi yang berbeda. Saat SBY sebagai Ketua Umum Demokrat yang memosisikan diri ditengah diantara koalisi. Bergerak secara isu, tidak memihak pada koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat. Bisa saja kita melihat dari sisi negative sebagai ketidaktegasan SBY menempatkan idealismenya. Padahal disisi yang lain, kita bisa melihat keputusan itu sebagai kekuatan penyeimbang yang baik untuk kedua koalisi.
Atau sikap SBY saat memutuskan sesuatu, layaknya kasus yang sedang hangat tentang kenaikan BBM yang diminta presiden terpilih, Jokowi. Jika dilihat dari satu sisi orang akan melihat SBY menghindar mengambil keputusan (decision dogging) untuk menaikan BBM di era pemerintahannya. Atau jika kita ingin membuka pandangan kita lebih lebar lagi, sebenarnya SBY tidak ingin meninggalkan beban eksekusi bidang strategic di tengah jalan.
Sayangnya, media kita lebih senang hanya memandang sebuah kejadian dari satu sudut pandang saja. Netralitas jurnalisme yang menjadi kode etik pun entah hilang kemana. Bahkan kita sering kali mendengar istilah “menggoreng berita”, berita yang sederhana bisa menjadi luar biasa ditangan jurnalis yang hebat. Pada akhirnya, bukan logika murni yang ditangkap masyarakat, namun persepsi yang menimbulkan bibit-bibit kekecewaan. Tak heran kemudian jurnalis senior semisal Andy F Nova sempat memilih menggantung pena nya, menghindari dunia yang dicintai nya, karena hanya berisi berita-berita negative tentang Indonesia. Beruntung masih ada orang yang memahami Andy F Noya dengan memberikan fasilitas acara sendiri untuk bisa memberitakan berita secara netral lewat acara Kick Andy.
Nampaknya benar perkataan Benedict Anderson, bahwa nasionalisme kita sekarang lahir dari berita media massa. Benedict Anderson menyebutnya sebagai printed nationalism.
Berbeda dengan cara pandang jurnalisme yang melihat di satu sisi, layaknya mengguatkan ayat Al Kitab, bahwa nabi tidak dihormati di negeri nya sendiri, organisasi dan negara diluar negeri berlomba-lomba memberikan penghargaan pada SBY. Sebut saja penghargaan dari Appeal of Conscience Fondation (AFC) dengan penghargaan World Statesman Award. Sebuah pencapaian atas penciptaan iklim kerukunan antar umat.
Dunia juga mengakui pencapaian Indonesia dibidang pertumbuhan ekonomi. Selama tahun 2004 sampai tahun 2014, Indonesia tumbuh menjadi negara dengan GDP 15 besar dunia. Kebanggaan itu makin terasa saat Indonesia masuk menjadi negara G-20. Padahal di tahun 2008, dunia sedang mengalami krisis ekonomi global. Di dalam gelombang krisis itu, perekonomian Indonesia dibawah pemerintahan SBY  malah bertumbuh 6% dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar no. 2 setelah Tiongkok (7.7%).
Dan tentunya masih banyak lagi prestasi Indonesia selama kepemimpinan SBY yang diakui dunia internasional.
Satu hal yang menurut saya menarik adalah perjuangan SBY untuk melanjutkan cita-cita bung Karno yang menginginkan Indonesia berperan di dunia Internasional. Akhirnya datang lagi Moment saat Indonesia yang diwakili SBY akhirnya bisa berpidato lagi dihadapan negara-negara sedunia (PBB). Pada bulan September kemarin lah, Indonesia ditunjuk sebagai Ketua Komite 1 Majelis Umum PBB untuk sesi ke-67, dalam Sidang Majelis Umum PBB
Tentunya penghargaan dari dunia luar itu juga menuai pro dan kontra, layaknya semua tindakan yang dilakukan SBY.  Ada yang tidak setuju, SBY tidak layak menerima penghargaan itu, dan tentunya ada yang setuju saat SBY dinobatkan menerima penghargaan-penghargaan itu.
Saya meyakini perbedaan pro dan kontra ini berasal dari sudut pandang “ukuran” yang berbeda. Bisa jadi ukuran para pemberi penghargaan adalah dengan membandingkan satu negara dengan negara lain. Sedangkan orang lain mengukur ketidaklayakan itu dari ukuran praktis yang berbeda.
Dibalik pro dan kontra itu yuk kita tarik ke point of view yang lebih tinggi. Bukan atas nama SBY nya yang menerima penghargaan, namun Indonesia nya yang menerima penghargaan. Dan saya yakin atas nama nasionalisme kita terhadap negara ini, siapa yang tidak bangga dengan Indonesia yang semakin di “hargai” di luar negeri? Dan apa yang lebih penting dari pada “Harga Diri”?
 
Berkah selalu
N Kuswandi

No comments:

Post a Comment