Sunday, November 30, 2014

Decision Making : Sinergi dan Kompromi



Semua orang menginginkan mampu membuat keputusan dengan efektif. Seperti definisi efektif sendiri yang berarti alur input-proses-dan output dilakukan dengan benar. Maka keputusan yang efektif juga ditandai dengan mendapatkan input berupa informasi yang benar, proses melibatkan stakeholder untuk mengambil keputusan dilakukan secara benar dan output keputusan yang dihasilkan sesuai dengan harapan.
 
Dari tiga tahap pengambilan keputusan tadi, pelibatan stakeholder menjadi tahap yang paling challenging. Bagaimana tidak, semakin banyak orang yang terlibat akan semakin banyak sudut pandang.
 
Kadang untuk mempermudah para mengambil keputusan yang dianggap efektif, akhirnya para stakeholder memilih untuk ber"kompromi". Walaupun sebenarnya ada pilihan lain yang bisa dipilih oleh para stakeholder, yaitu "sinergi"
 
Sinergi tidak sama dengan kompromi. Dalam kompromi satu tambah satu sebaik-baiknya hanya menghasilkan satu setengah. Setiap orang kehilangan sesuatu. Sinergi tidak hanya mengatasi konflik, namun melampaui konflik.
 
Mungkin sebuah kompromi bisa membuat para pihak puas, tapi tidak membuat gembira. Hubungan para pihak yang berkompromi menjadi lemah. Dan seringkali, konflik yang diselesaikan lewat kompromi akhirnya muncul kembali.
 
Sebaliknya dengan sinergi, semua stakeholder akan merasakan kepuasan dan kegembiraan. Karena keputusan yang dibuat dengan sinergi biasanya akan melebihi need dan want nya para stakeholder.
 
Tentu saja membangun sinergi dalam pengambilan keputusan cukup challenging. Namun, kita tetap perlu selalu percaya, bahwa Tuhan menyertakan solusi dalam setiap masalah.
 
Sinergi bisa dibentuk dengan dengan menyamakan paradigma para stakeholder. Ini dilakukan sesaat sebelum proses diskusi pengambilan keputusan dilakukan. Para stakeholder diminta menyepakati aturan main berupa menyamakan paradigma.
 
Paradigma pertama yang perlu disamakan adalah "Saya Melihat Diri Saya". Paradigma ini mengajak para stakeholder untuk mengurangi benteng diri, karena semakin kecil bentengnya maka semakin besar peluang untuk meraih sinergi. Paradigma ini bisa dilakukan dengan menjelajahi diri untuk mengenali motif, asumsi, prasangka yang dimiliki terhadap orang lain.
 
Tujuan dari paradigma pertama ini sebenarnya memunculkan penghargaan diri yang tinggi dari tiap stakeholder. Bukti bahwa tujuan paradigma pertama ini tercapai ditandai dengan kemauan menyampaikan sudut pandang yang dimiliki saat sesi diskusi.
 
Sebaliknya, orang-orang berharga diri rendah lebih memilih cara lain, mereka mengganggu proses diskusi dengan membuat kelompok diskusi sendiri dan berdiskusi di dalam diskusi. Atau mereka menyuarakan suaranya sesaat setelah keputusan dibuat. Bukannya berfokus menjalankan hasil keputusan, mereka malah hanya membicarakan keputusan yang telah diputuskan, dan cenderung menyalahkan orang lain atas keputusan yang sudah diambil.
 
Paradigma kedua yang juga perlu disepakati adalah "Penghargaan Positif Tanpa Syarat". Tujuan dari paradigma kedua ini adalah secara bersamaan tidak hanya menghargai diri sendiri, namun juga menghargai orang lain.
 

Jika paradigma pertama memenangkan pertarungan pribadi, maka paradigma kedua saling memenangkan pertarungan. Hasilnya tidak hanya seri atau kompromi, namun saling menang. Tujuan paradigma kedua ini tentunya tidak akan tercapai selama tidak ada keseimbangan penghargaan diri dan penghargaan ke orang lain .
 
Saat penghargaan terhadap diri tinggi dan penghargaan terhadap orang lain rendah yang terjadi "agresifitas". Orang tersebut cenderung memaksakan sudut pandangnya ke orang lain.
 
Sebaliknya saat penghargaan terhadap orang lain terlalu tinggi dibandingkan penghargaan terhadap diri sendiri yang terjadi adalah sikap "pasif". Ngikut saja yang sudut pandang orang lain, tanpa memiliki sudut pandang pribadi. Kasarnya, orang-orang seperti ini ibarat Kambing Congek, yang ditarik kemana pun akan ikut, tanpa punya pendirian.
 
Dan seandainya penghargaan terhadap diri dan orang lain rendah yang terjadi adalah manipulatif. Ini lebih parah, tidak punya sudut pandang, saat berdiskusi pura-pura setuju. Saat keputusan hendak dieksekusi, orang nya menghilang dan tidak mengambil tanggung jawab atas keputusan yang dibuat.
 
Agar paradigma kedua bisa muncul yang perlu dilakukan hanya satu "berempati". Artinya memahami sungguh-sungguh perasaan orang lain. Penghargaan yang diberikan untuk menyelidiki, memahami hati, pikiran, dan jiwa, bukan untuk menghakimi.

Lepaskan semua sterotype, dan empati keunikan tiap orang. Maka sinergi mengambil keputusan akan terbentuk.

 
Berkah selalu
N Kuswandi



Thursday, November 27, 2014

Rukun Islam dan Decision Making




Sedang mencoba ilmu saktinya orang Jawa, ilmu “gotak-gatik-gatuk”. Dapat inspirasi di hari Jum’at mubarok. Masih tentang making effective decision dan di “gotak-gatik-gatuk” dengan rukun islam.

 
Sebagai umat Islam, rukun Islam adalah pedoman pertama dalam berislam. Kita mengenal rukun Islam terdiri dari lima hal. Rukun Islam pertama adalah syahadar, dilanjutkan sholat, puasa, zakat dan Haji.
 

Coba kita terjemahkan rukun Islam ini sebagai rukun mengambil keputusan. Inti syahadat adalah pengakuan Allah dan Rosul sebagai tujuan. Layaknya rukun Islam pertama, pengambilan keputusan yang effective selalu diawali dengan tujuan yang ingin dicapai dari keputusan yang hendak dicapai. Salah menentukan kriteria tujuan adalah langkah awal untuk terjebak dalam pengambilan keputusan yang tidak effective.

 
Jika rukun Islam kedua adalah sholat, walaupun bisa dilakukan sendiri, sholat secara berjamaah memiliki nilai yang lebih tinggi. Ini menunjukan dalam pengambilan keputusan sebenarnya bisa dilakukan secara sendiri, namun jika dilakukan secara berjamaah tentunya akan lebih baik. Diartikel sebelumnya (Carl Roger : Keputusan Kuat), saya sempat bercerita tentang manfaat pelibatan stakeholder dalam pengambilan keputusan.

 
Setelah rukun decision making pertama dan kedua memutuskan tujuan dan berjamaah mengambil keputusan, maka rukun ketiga adalah berpuasa. Layaknya inti dari puasa yang menahan, maka dalam pengambilan keputusan pun orang perlu menahan diri.

 
Ingat ada empat jebakan dalam pengambilan keputusan. Tahan diri agar tidak terjebak dalam keempat jebakan tersebut. Tahan diri untuk terhindar dari jebakan Hastiness (terburu-buru mengambil keputusan). Tahan diri untuk terhindar dari jebakan Going Solo (mengambil keputusan sendiri). Tahan diri untuk terhindar dari jebakan Decision Dogging (menghindari mengambil keputusan). Dan Tahan diri untuk terhindar dari jebakan Analysis Paralysis (tenggelam dalam analisa)

 
Setelah bisa menahan diri rukun berikutnya adalah berzakat. Inti dari berzakat adalah memberi agar semua jamaah bisa merasakan kemerataan. Bukannya membuat yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Namun membuat yang berkekurangan pun merasakan rezeki atas kekurangnya.

 
Begitu juga dengan pengambilan keputusan, semangat pengambilan keputusan secara berjamaah adalah memberi. Bukan menerima orang agar sesuai dengan keinginan kita, namun memberikan diri kita untuk bisa memahami kriteria tujuan dari jamaah lain. Bukan memenangkan tujuan kita, namun memanangkan tujuan bersama. Membuat orang lain merasa “merata” kemenangannya.

 
Dan setelah menetapkan rukun decision making dengan menetepkan tujuan, dilakukan secara berjamaah, menahan diri, dan memberi kemenangan untuk semua orang, maka rukun kelima adalah berhaji. Allah mensyaratkan berhaji itu dengan “jika mampu” segeralah haji. Ini menandakan jika keputusan yang dibuat sudah dianggap mampu menjawab tujuan maka segeralah lakukan. Jangan menunda-nunda lagi, saat keputusan yang dibuat sudah dinyatakan mampu dilakukan.

 
Memang mengambil keputusan itu lebih mudah dibandingkan dengan mengeksekusi keputusan. Bahkan jika berbicara tentang eksekusi ada penelitian yang menarik, bahwa tingkat eksekusi strategi yang sudah diputuskan di Indonesia, rata-rata hanya mencapai 6% saja dari total keputusan strategi yang disetujui.

 

Berkah selalu
N Kuswandi

Tuesday, November 25, 2014

Tongkat Bicara Elang Botak Chereokee


 
 
 
 
 
Dahulu kala di abad ke-12, suku-suku asli Amerika yang sering dikenal sebagai suku Indian sering kali berperang. Suku-suku besar seperti Mohawk, Oneida, Onodaga, Cayuga, dan Seneca selalu memiliki alasan untuk bertempur merebutkan sesuatu. Suku yang kalah akan menjadi budak.

 
Terkisahlah seorang pejuang bernama Hiawatha yang juga ikut berjuang secara intelektual dan spiritual. Bukan untuk mengalahkan kelima suku lain, namun menyatukan mereka.

 
Selama melakukan "perang" intelektual dan spiritual, Hiawata hanya memiliki satu senjata sakti bernama "Elang Botak". Bentuknya berupa tongkat yang diatasnya diikat bulu elang sebagai simbol keberanian dan kebijaksanaan untuk berbicara kejujuran dan kebijaksanaan.

 
Bulu kelinci di ujung tongkat mengingatkan bahwa kata yang terucap harus dari hati dan kata-kata yang lembut dan hangat. Batu biru yang tergantung dibawah tongkat akan mengingatkan bahwa Roh Besar mendengar pesan hati dan kata-kata yang diucapkan.

 
Kulit warna-warni yang menyelimuti tongkat menandakan bertindak secara flexsible untuk menerima orang lain. Keempat manik-mani yang berwarna-warni sebagai lambang kekuatan semesta yang ada di tangannya. Pada tongkat juga tertempel rambut kerbau besar, kekuatan dan tenaga hewan besar ini akan membantu orang saat berbicara.

 
Di waktu-waktu khusus, Hiawata selalu mengumpulkan para tetua suku untuk "berperang". Hiawata memainkan perannya sebagai pemegang senjata sakti. Elang Botak yang sebenarnya adalah tongkat bicara yang membuat orang berbicara tanpa disela. Sang Pemegang Tongkat wajib didengarkan dan dipahami.

 
Tongkat bicara tidak berhubungan dengan memenangkan argumentasi, namun lebih pada mendengarkan cerita seseorang dan memahami hatinya.

 
Selama para tetua berkumpul, mereka masing-masing memiliki hak untuk secara bergantian memegang Tongkat Elang Botak. Setiap tetua menyuarakan kebenaran mereka. Tidak ada tetua yang lebih penting daripada orang lain, semuanya sama, tidak ada awal maupun akhir. Semua orang ucapannya diterima dan dihormati dengan perlakuan yang sama.

 
Setelah beberapa kali bertemu, terciptalah keputusan efektif yang merekat semua suku untuk saling berdamai. Kelima suku pun tidak pernah lagi berperang.

 
Pertemuan para tetua itu kemudian diabadikan para sejarawan dengan nama konfederasi Iroquois. Sistem ini disebut sebagai Hukum Besar Perdamaian. Setiap kali ada perselisihan diantara para suku, para wakil suku akan berkumpul dan dilibatkan dengan suara yang sama untuk bermusyawarah mufakat.

 
Apa yang bisa kita pelajari dari cerita Hiawata yang berhasil mendamaikan suku-suku Indian?

 
Senjata "Tongkat Elang Botak" sepertinya bisa kita adopsi untuk melibatkan stakeholder untuk mencapai keputusan yang efektif.

 
Ajak semua stakeholder untuk menyuarakan kebenaran disisi mereka. Tugas stakeholder yang lain adalah mendengarkan dengan empati, tidak menghakimi, tidak mendengarkan untuk menjawab, namun merasakan kebenaran dari pihak lain.

 
Gilir semua stakeholder untuk menyampaikan kebenarannya. Dan akhirnya putuskan sebuah keputusan yang efektif. Sebuah keputusan yang sesuai dengan outcome yang ingin dituju, dan semua stakeholder bersemangat menjalankan keputusan tersebut.

 
Proses Tongkat Elang Botak akan sangat efektif saat semua stakeholder memiliki paradigma empati yang sama.

 
Berkah Selalu
N Kuswandi



Sunday, November 23, 2014

Carl Roger : Keputusan Kuat

 
Setelah beberapa kali mendapat kesempatan untuk delivery training "Making Effective Decision", rasanya semakin tertarik untuk mendalami pengambilan keputusan yang terbaik. Bukan dari sisi tool pengambilan keputusannya, namun dari sisi psikologisnya.
 
Layaknya kata effective sendiri yang berarti benar input nya - benar proses nya dan benar hasilnya maka seringkali kemarin-kemarin saya mendefinisikan effective decision dengan mendapatkan informasi yang benar, didiskusikan dengan orang yang benar dan menghasilkan kesepakatan yang diterima semua stakeholder. Dari tiga tahap, input-proses-output, yang sering kali dilupakan oleh para pengambil keputusan adalah tahap proses, yaitu mendiskusikan dengan orang yang benar. Ada dua jenis "orang benar" yang perlu dilibatkan dalam proses, yaitu orang yang akan terkena dampak keputusan dan orang yang akan menjalani keputusan.
 
Setelah membaca A Way of Being, salah satu karya seorang psikolog besar bernama Carl Roger. Keputusan kuat, begitulah Roger memberikan nama untuk mengambilan keputusan yang effective. Roger menjelaskan bahwa keputusan kuat adalah pilihan yang terbaik yang mungkin, dan ditetapkan dengan cara menghilangkan semua keraguan. dan ketidakpastian. Menariknya, Roger menjelaskan hanya ada satu cara untuk meminimalkan semua keraguan dan ketidakpastian, dengan mendengarkan orang lain.
 
Beberapa tahun yang lalu para pemimpin sebuah perusahaan makanan multinasional memutuskan untuk memangkas produksi dengan membeli konsentrat jus apel dari pemasok baru yang menawarkan harga rendah. Para eksekutif hanya melibatkan orang-orang keuangan dalam mengambil keputusan.
 
Sayangnya seorang stakeholder yang bertanggungjawab atas pengembangan produk, yaitu direktur R&D tidak disertakan. Sang Direktur R&D terperanjat dengan keputusan direksi. Dia kemudian menyampaikan ke direksi bahwa konsentrat yang mereka beli sama sekali tidak mengandung jus apel, konsentrat yang dibeli hanya mengandung air gula saja.
 
Sayangnya dewan direksi sudah terlanjur senang bisa menghemat $250.000 setahun, dan menertawakan direktur R&D sebagai orang naif. Akhirnya tiba hari ketika para eksekutif masuk penjara dan membayar $25 juta. Jumlah yang sama dengan jumlah dolar yang konon akan mereka hebat.
 
Berbeda ceritanya jika sang Direksi mau melibatkan seluruh stakeholder termasuk direktur R&D.
 
Tentusaja semakin banyak stakeholder yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan akan membuat semakin susah untuk merumuskan keputusan kuat. Penyebabnya karena tiap stakeholder punya sudut pandangnya masing-masing.
 
Namun, yuk kita rubah paradigma kita. Waktu yang kita luangkan untuk memahami pikiran dan hati semua stakeholder tidak seberapa banyak dibandingkan waktu dan sumberdaya yang akan kita buang jika stakeholder saling berselisih. Di Amerika Serikat saja, 1,2 juta pengacara menagih $71 miliar setahun untuk jasa menangani perselisihan akibat dari keputusan. Dan nilai $71 miliar tadi belum mencakup fee keputusan financial yang mereka menangkan dipengadilan.


Berkah selalu
N Kuswandi

Wednesday, November 5, 2014

Influencer : Menemukan Perilaku Vital





Masih ingat catatan saya tentang “"Alcoa : From Safety Performance to Production Performance". Cerita Paul O’Neil seorang CEO Alcoa yang merubah Alcoa dari perusahaan yang nyaris bangkrut menjadi perusahaan dengan pendapatan tahunan bersih sebesar lima kali lebih besar daripada saat O'Neil pertama kali memimpin. Kapitalis pasar naik sebesar $27 Miliar. Orang yang berinvestasi $1 juta mendapatkan $1 juta dolar lagi dalam bentuk deviden. Dan nilai saham para pemegang saham lima kali lebih besar sewaktu O'Neil pensiun

Ada perkataan CEO Alcoa yang saya rasa menarik untuk digaris bawahi, "Setiap kebiasaan memiliki kekuatan untuk memulai reaksi berantai".

Entah kenapa tiba-tiba Allah merecall ingatan saya saat masih menjadi James Bond (Jaga Masjid Jaga Kebon) dan setia menjadi pendengar pengajian. Salah satu pembelajaran sakti yang saya terima adalah hadis yang diriwayatkan oleh Luqman Hakim. Pada suatu hari, seorang pemuda yang ingin memeluk agama Islam mendatangi Rasulullah. Sesudah mengucapkan dua kalimah syahadat, lelaki itu lalu berkata : “Ya Rasulullah. Sebenarnya hamba ini selalu berbuat dosa dan berat untuk meninggalkannya.” Rasulullah s.a.w. menjawab : “Mahukah engkau berjanji, engkau meninggalkan berkata bohong?”. Pemuda tadi pun berjandi “Ya, saya berjanji” jawab lelaki itu singkat.

Nabi memang seorang influencer sejati, dengan meminta janji tidak berbohong maka Nabi telah mengunci perilaku kunci pemuda tadi. Perilaku tersebuut akhirnya membuat reaksi berantai, janji pemuda tadi mengubah hidup Sang Pemuda. Setiap kali hatinya terdorong berbuat jahat, hati kecilnya terus berkat, “Apakah jawabanmu nanti apabila ditanya oleh Rasulullah s.a.w. Sanggupkah engkau berbohong kepadanya”. Menurut hadis itu lagi, sejak dari hari itu Sang Pemuda telah berhijrah dari kejahatan kepada kemuliaan hidup.

Maha besar Allah yang menganugrahkan ilham pada Nabi Nya.

Setelah mempelajari temuan Garry Yukl tentang 9 teknik menginfluence orang, dan Tipping Point nya Gadwell nampaknya “menemukan perilaku kunci” menjadi tambahan seni untuk mempengaruhi orang.

Dengan “menemukan perilaku kunci” tugas kita sebagai leader untuk mendevelop team akan semakin mudah. Tidak perlu lagi mengirim anggota team untuk training berulang kali, tinggal menemukan satu perilaku kunci dan menembak tepat sasaran. Satu training yang berefek domino merubah perilaku-perilaku lain.

Dany Meyer, pemilik restoran yang semua restorannya masuk daftar peringkat 40-teratas pilihan pelanggan versi Zagat membantu karyawannya menemukan perilaku kunci dengan akronim ABCD atau “Always Be Collecting Dots (selalu mengumpulkan titik)”. Tujuan besar dari Dany adalah memberikan service excellence kepada customer nya. Alih-alih memberikan training yang berulang-ulang, Dany hanya meminta karyawannya mengingat dan mempraktekan ABCD secara berulang-ulang.

Dots yang dimaksud Dany dalam ABCD adalah dots (informasi) kebutuhan dan keinginan customer nya. Semua dots yang dikumpulkan kemudian dicari polanya untuk saling dihubungkan. Dany menemukan karyawan yang bagus mengumpulkan dot ternyata juga yang paling bisa menggabungkan dots.

Sepertinya teknik yang digunakan Dany agak mirip dengan cara terapi yang dipopulerkan Sigmund Freud (penggagas aliran psikoanalisa). Dengan teknik nya yang disebut Asosiasi Bebas, Freud meminta semua klien nya untuk menceritakan semua pengalaman nya tanpa dipotong oleh Freud.

Freud kemudian membuat pola dan menghubungkan tiap pengalaman klien nya menjadi hanya beberapa kalimat saja. Kesimpulan pun akan dibuat Freud, bahwa perilaku kunci yang perlu dirubah oleh klien nya adalah dari beberapa kalimat yang dihubungkan dari pegalaman-pengalaman Sang Klien.

Berkah Selalu
N Kuswandi

Sunday, November 2, 2014

Fixed Mindset

Fixed Mindset and Growth Mindset
Beberapa waktu yang lalu saya melakukan program reinforcement untuk mengukur evaluasi level 3 Kirk Patrick (Behavior Change) dengan individual coaching. Dari 20 peserta yang mengikuti individual coaching, saya merasa ada tiga orang yang “pantat nya sudah lebih besar dari pada kursi yang diduduki”. Tentunya istilah saya tadi bukanlah sebenarnya, namun hanya analogi saja. Arti sebenarnya, kemampuan yang dimiliki sudah melebihi posisi nya saat ini.

Tentunya ini berbahaya, kita sendiri saja kalau duduk di kursi yang kecil, tidak sesuai dengan pantat kita rasanya tidak enak sekali. Saking tidak enaknya, tentu saja harus cepat-cepat untuk segera mencari kursi lain yang pas dengan ukuran pantat nya, atau dalam bahasa lain adalah pindah perusahaan. Efeknya akan timbul biaya untuk menyeleksi dan mendevelop karyawan baru sebagai pengganti. Kalau soal biaya sebenarnya tidak ada artinya dibandingkan dengan waktu yang hilang untuk mendevelop, productivity yang bisa jadi tiba-tiba turun dratis, dst

Andaipun karyawan tadi tidak resign, ini juga berdampak tidak baik. Dengan kompetensi yang dimiliki dibandingkan dengan pekerjaan yang dikerjakan, sudah bisa dipastikan tidak akan men challenge  lagi bagi karyawan tersebut. Pekerjaan yang dilakukannya pun menjadi terlalu mudah dikerjakan oleh nya.

Bagi karyawan yang mengerjakan hal-hal yang mudah bisa dipastikan otak dan jiwa nya tidak bertumbuh. Carol Dweck seorang psikolog yang menemukan cara baru dalam proses berfikir memberikan tendensi tersebut dengan sebutan Fixed Mindset. Istilah ini dipopulerkan Dweck lewat hasil penelitiannya pada anak-anak yang mengerjakan sesuatu dengan mudah atau mendapatkan kemudahan di sekolah atau cepat mendapatkan nilai A di kelasnya.

Fixed Mindset sendiri adalah cara berfikir yang terbentuk saat seseorang mendapatkan kemudaan yang membuatnya ingin berlindung dalam kemudahan.

Akibatnya, mereka akan terpatri dalam pikiran bahwa hidup akan selalu mudah. Mereka akan duduk di kursi penumpang dan kurang menghargai proses belajar yang harus dilewati dengan kerja keras dan perjuangan. Parahnya, orang-orang dengan fixed mindset akan cenderung memiliki character high self monitors. Perhatian utama mereka adalah “terlihat hebat dan cerdas”, sehingga mereka sangat anti dengan development feedback.

Temuan dari Dweck tadi juga menjadi anjuran bagi para orang tua agar tidak memberikan apresiasi terlalu cepat pada anak-anak. Kondisi seperti ini akan membuat anak-anak menyamakan cerdas dengan quick dan easy process. Dan mereka kelak akan takut menghadapi tantangan-tantangan baru.

Memaintance karyawan yang pantat nya sudah terlalu besar dibandingkan dengan tempat duduknya sebenarnya bisa dilakukan dengan gampang-gampang susah. Salah satu caranya adalah dengan membuatnya tetap sibuk untuk menggunakan kompetensi nya. Jika pekerjaan bukan lagi wadah yang pas untuk menyalurkan kompetensinya, dengan memberikan assignment menghandle project-project initiative bisa jadi adalah satu cara yang bisa dilakukan.

Tentu saja, ini adalah solusi sementara sampai benar-benar ada kursi yang pas untuk mendudukan pantat yang sudah terlanjur besar.

Berkah selalu
N Kuswandi