Monday, March 30, 2015

Memenangkan Negosiasi : Menghipnotis Mitra Negosiasi




Apa yang ada dalam benak Anda, saat ada orang yang mengulurkan tangan? Saya yakin dalam benak Anda, orang yang mengulurkan tangan berarti mengajak Anda salaman. Betul tidak? Bagaimana saat ada orang yang menganggukan kepala kepada Anda, apa reaksi alami Anda? Saya yakin jika Anda normal reaksi alami Anda adalah membalas anggukan kepala.

Padahal, saat orang mengulurkan tangan belum tentu dia mengajak salaman. Bisa jadi, orang menggulurkan tangan untuk mengambil sesuatu di depannya. Coba periksa pengalaman kita, pernah gak kita “kecelek” saat orang mengulurkan tangan, dan secara spontan Anda menyalami orang tadi. Padahal orang tadi mau mengambil sesuatu di depannya, pernah kah Anda mengalami peristiwa canggung seperti ini? Kenapa kita seperti dihipnotis untuk membalas salaman tadi?

Begitu juga dengan peristiwa orang yang menganggukan kepala tadi, bisa jadi dia menganggukan kepala bukan pada Anda. Namun dia sedang meregangkan kepalanya yang kaku. Kenapa Anda secara reflek dan sok kenal membalas anggukan kepala tadi? Kenapa kita seperti dihipnotis untuk membalas anggukan kepala tadi?

Saat Anda melakukan kedua hal tadi, sebenarnya bukan logika Anda lagi yang menggerakan tangan dan kepala Anda. Alam bawah tak sadar Anda yang mengambil alih logika. Kok bisa? Begitulah alam bawah sadar kita, saat kita mengerjakan segala sesuatu secara terus menerus informasi tersebut masuk dalam alam bawah sadar kita. Hingga secara otomatis, tanpa dipikir saat kita menghadapi situasi sama seperti yang diulang-ulang tadi, respon kita pun sama.

Menariknya, dari informasi-informasi yang kita peroleh semenjak kita kecil berkumpul dalam alam bawah tak sadar kita. Hingga 88% tindakan kita sebenarnya dipengaruhi oleh alam bawah tak sadar. Contohnya saja, saat kita ahli mengendarai motor, tanpa berfikir yang mana gas, yang mana rem, dll, kita bisa mengendarai motor. Kemampuan mengendari motor itu diatur oleh alam bawah tak sadar. Bandingkan dengan saat pertama kali berlatih mengendarai motor, saya jamin saat itu Anda akan berfikir mana rem, mana gas, bagaimana cara belok, bagaimana cara memberi klakson, dll.

Karena 88% tindakan manusia dipengaruhi oleh alam bawah tak sadar, dalam bernegosiasi pun orang bisa memanfaatkan alam bawah tak sadar. Sehingga kadang kala untuk memenangkan negosiasi tidak lagi membutuhkan alasan logis atau dicatatan sebelumnya saya menyebutnya sebagai “apa untungnya bagi saya?” atau pain point.

Mungkin Anda pernah punya pengalaman saat bernegosiasi, Anda sudah memberikan berjuta-juta rayuan pain point, namun mitra negosiasi Anda tidak luluh untuk mengikuti Anda. Bisa jadi jawabannya adalah perilaku dan logikanya sudah dibajak oleh alam bawah tak sadar.

Bentuk pembajakannya bisa beraneka ragam, bisa jadi orang yang Anda ajak bernegosiasi pernah punya pengalaman tidak mengenakan dengan orang yang mirip dengan Anda. Sehingga saat melihat Anda, logikanya langsung dibajak oleh alam bawah tak sadar, “heh tak-otak, dulu kamu pernah ditipu sama orang yang wajahnya mirip dengan orang ini lo. Hati-hati jangan-jangan dia juga penipu”.

Pembajakan lain yang dilakukan alam bawah tak sadar bisa berbentuk suku. Contohnya saat Anda sudah berbuih-buih menyampaikan pain point kok gak deal-deal, bisa jadi logika mitra negosiasi Anda sudah dibajak alam bawah tak sadar. “Eh otak, hati-hati lo, ni orang yang ngajak kamu negosiasi orang Batak. Inget Batak itu singkatannya Banyak Taktik. Jangan-jangan dia ngomong A tapi yang dimau sebenarnya B”.

Seperti mata uang, bisa jadi juga pembajakan oleh otak tadi sifatnya membantu Anda dalam bernegosiasi. Dengan contoh yang sama, wajah dan orang Batak, bisa jadi proses negosiasi Anda berjalan dengan sukses. Bisa jadi orang yang Anda ajak negosiasi punya pengalaman baik yang tersimpan dalam alam bawah sadarnya tentang orang Batak dan orang yang punya wajah mirip dengan Anda. Sehingga alam bawah sadarnya akan berkata “eh tak – otak, ni orang Batak ni, orang nya pandai, apalagi dulu kita sudah pernah kerjasama dengan orang yang wajahnya mirip dengan dia. Udah percaya aja sama dia”.

Karena kita tidak tahu alam bawah sadarnya seseorang, memang menjadi challenging akhirnya untuk bernegosiasi dengan orang lain. Walaupun begitu sebenarnya ada hal yang bisa kita control. Alih-alih mengontrol alam bawah sadarnya orang lain yang tentu saja kita tidak bisa, kenapa kita tidak mengontrol perilaku kita untuk menanamkan informasi tentang kita di alam bawah tak sadar mitra negosiasi kita.

Inilah yang kemudian disebut sebagai tabungan emosi, Anda bisa mempelajari apa itu tabungan emosi di catatan saya berjudul Pembajakan dan Tabungan Emosi. Sederhananya saat Anda diingat oleh alam bawah tak sadar mitra negosiasi kita sebagai orang yang baik, maka proses negosiasi yang akan kita lakukan akan cenderung lebih mudah. Sebaliknya saat Anda diingat oleh alam bawah tak sadar mitra negosiasi kita sebagai orang yang bermasalah, maka proses negosiasi cenderung lebih susah.

 

Berkah selalu
N Kuswandi

Wednesday, March 25, 2015

Memenangkan Negosiasi : Membenarkan



 

Jika Anda kepasar dan ingin mendapatkan harga yang murah, apa yang akan Anda lakukan?

Jika Anda bekerja dan ingin menjual produk Anda dengan harga yang menurut Anda sesuai, apa yang akan Anda lakukan?

Jika Anda ingin membeli sebuah rumah dengan harya yang pantas bagi Anda, apa yang akan Anda lakukan?

Dan jika Anda melamar pekerjaan kemudian ingin mendapatkan gaji terbaik, apa yang akan Anda lakukan?

Yes betul sekali, jawabannya adalah “Bernegosiasi”. Hampir semua aspek kehidupan kita, baik di rumah, di masyarakat, di pasar, ataupun ditempat kerja secara sadar ataupun tidak sadar telah melibatkan “negosiasi”. Dan kita sadari ataupun tidak kita sadari, kemenangan kita dalam hidup ini dipengaruhi oleh kemampuan kita bernegosiasi.

Sayangnya kemampuan bernegosiasi ini tidak diajarkan di sekolah formal. Sehingga orang-orang yang mau meluangkan waktu lebih untuk mendalami kemampuan bernegosiasi ini take every think that he want.

Tulisan ini dan empat tulisan saya berikutnya akan berbagi dengan temen-temen berberapa kasus dan beberapa teknik yang memungkinkan temen-temen bisa memenangkan negosiasi. Kenapa harus berbagi beberapa teknik? Seperti ilmu bela diri, bisa jadi suatu perkelahian bisa dimenangkan dengan teknik Tae Won Do. Beberapa perkelahian lain, ternyata jurus Tae Won Do tidak berhasil dan hanya bisa dimenangkan dengan teknik Silat. Dan perkelahian lain ternyata sangat ampuh jika menggunakan teknik Thai Chi. Begitu juga dengan beberapa teknik negosiasi yang akan saya share, bisa jadi di suatu ketika teknik tertentu berhasil dan disuatu ketika teknik yang lain berhasil.

Let begin our journey. Jika didefinisikan secara sederhana, negosiasi memiliki tiga kata kunci, kata kunci pertama adalah mempengaruhi orang, kata kunci kedua adalah mengubah sikap dan perilaku, dan kata kunci ketiga adalah mencari persamaan. Semua teknik yang akan saya share sebenarnya akan mengarah pada tiga kata kunci tersebut.

Kata kunci pertama negosiasi berupa mempengaruhi orang, tentunya sudah sangat clear. Apapun bentuk negosiasi yang akan dilakukan pada dasarnya adalah teknik mempengaruhi orang. Ada beberapa tulisan yang sudah saya share sebelumnya untuk mempengaruhi orang semisal MembujukOrang Terlibat, Influence Tactic for Managing Change, Tipping Factor ChangeAgent, dan Influencer : Menemukan Perilaku Vital. Teknik tersebut bisa temen-temen elaborasi untuk bernegosiasi.

Bagaimana dengan kata kunci kedua, mengubah sikap dan perilaku. Kenapa ada hal yang perlu dirubah, sikap dan perilaku? Karena sikap dan perilaku itu berbeda. Bisa jadi sikapnya setuju dengan negosiasi yang kita lakukan, namun perilaku nya tidak menunjukan kesetujuan. Contohnya ada orang yang tahu, mengerti bahanya merokok. Dan sikap dia setuju bahwa merokok itu bisa merugikan. Namun, ni orang masih tetap saja merokok. Setuju atau tidak setuju bahwa merokok itu merugikan disebut sebagai sikap, sedangkan merokok dan tidak merokok disebut sebagai perilaku.

Kalau dalam kontek negosiasi bisa jadi yang terjadi, sebenarnya mitra yang kita ajak bernegosiasi setuju dengan logika dan sudut pandang kita. Namun, kesetujuan nya akan logika dan sudut pandang kita tidak membuat mitra negosiasi kita melakukan sesuai sudut pandang dan logika kita. Karenanya dalam bernegosiasi challenge nya tidak hanya mengubah sikap saja, namun juga mengubah perilaku.

Kata kunci ketiga adalah mencari kesamaan. Tujuan negosiasi memang mencari persamaan, kalau tidak mencapai kesamaan tentu saja negosiasi tidak akan selesai. Dengan kata kunci ketiga ini, ada satu teknik yang bisa digunakan  untuk bernegosiasi. Teknik ini adalah “membenarkan”.

Mind set kita perlu dichange dulu setiap orang punya sudut pandang nya masing-masing dan sudut pandangnya mereka benar. Ibarat melihat Gajah, ada orang yang melihat dari depan dan mendeskripsikan bahwa gajah itu punya belalai panjang, dst. Namun karena melihat dari depan, bisa jadi ekor nya Gajah tidak kelihatan, sehingga mendeskripsikan Gajah itu hewan yang tidak punya ekor. Begitu juga sebaliknya, ada orang yang melihat Gajah dari Belakang, bisa jadi dia tidak bisa melihat mata, dan mendeskripsikan Gajah itu hewan yang punya mata besar.

Setiap orang punya sudut pandangnya, da nada bagian-bagian yang bisa jadi benar, dan bisa jadi ada yang tidak sesuai dengan sudut pandang kita. Memperdebatkan ketidaksamaan sudut pandang hanya akan memperburuk suasana negosiasi. Masuklah dengan cara membenarkan sudut pandang nya orang tersebut. Jika Anda melihat dari belakang, benarkan lah apa yang dilihat orang dari depan.

Trik nya adalah masuk dengan celah hal yang sama. Gunakan kata-kata ini, “setuju seperti yang disampaikan bapak / ibu tadi bahwa (cari kesamaannya)” dan kemudian tambahi kata-kata Anda dengan menggunakan, “bagaimana kalau ditambahi seperti ini?”

Jangan gunakan kata penghubung “tapi” setelalah Anda membenarkan sebagian sudut pandang mitra negosiasi kita. Penggunaan kata “tapi” sebagai penghubung hanya akan membuat mitra negosiasi kita focus pada kata “tapi”. Sehingga mitra negosiasi kita tidak percaya dengan “kesetujuan” kita.

Membenarkan sudut pandang orang lain juga akan menjaga harga diri mitra negosiator kita. Berbeda ceritanya jika kita focus pada ketidaksamaan, Anda akan masuk dari sisi ketidaksetujuan. Mitra negosiasi akan merasa diserang, “mosok apa yang saya sampaikan  gak ada benernya sama sekali. Sok tahu banget ni orang”. Kalau dengan “membenarkan”, dialog imajiner mitra negosiator kita mungkin akan seperti ini “tu kan bener, saya yang bener. Saya pinter kan”. Ingat orang yang sudah seneng diminta melakukan apapun akan lebih mudah.

Berkah selalu
N Kuswandi

Friday, March 20, 2015

Maleficent dan Sleeping Beauty

 
Bagi para pecinta film, pasti familiar dengan film Maleficent. Kalau Anda tidak familiar dengan Maleficent, mungkin Anda familiar dengan cerita Sleeping Beauty. Nah film ini bercerita tentang kejadian sebelum Sang Penyihir mengutuk Sleeping Beauty untuk tertidur selamanya. Dibintangi oleh Angelina Jolie, membuat film ini begitu menarik untuk ditonton.
Kalau Anda mengingat cerita Sleeping Beauty, siapa orang jahat yang ada di cerita tadi? Yes, penyihirnya lah yang jahat. Bahkan sosok penyihir digambarkan dengan mengeringkan
 
Film Maleficent seakan memutar balik persepsi kita terhadap siapa sebenarnya yang menjadi orang jahat. Menceritakan kejadian sebelum Sang Penyihir mengutuk Sleeping Beauty, Maleficent yang seorang penyihir saling jatuh cinta dengan seorang pangeran (bapaknya Sleeping Beauty saat masih muda dan jomblo). Sayangnya, Sang Pangeran berkhianat pada Maleficent. Bahkan, sampai memotong sayap Maleficent. Hingga membuat Maleficent menjadi marah dan ingin membalas sakit hatinya melalui kutukan pada Sleeping Beauty.
 
Kalau melihat sebab kemarahannya Sang Penyihir hingga mengutuk Sleeping Beauty, menurut Anda siapakah sekarang yang jahat?
 
Cerita sejenis Maleficent yang memutar balik apa yang sudah kita percayai tentang siapa yang jahat sebenarnya mulai banyak bermunculan. Sebut saja, jika cerita zaman dahulu seperti The Loard of The Ring menggambarkan Naga sebagai mahluk yang buas. Cerita tentang Eragon malah menggambarkan yang sebaliknya. Begitu juga dengan film How To Train Your Dragon.
 
Ada lagi, kisah Hansel dan Gretel. Jika kita ingat cerita saat kita kecil, tokoh jahat pada cerita itu adalah Sang Ibu. Persepsi kita pun diputar balik dengan film terbaru Hansel dan Gretel yang ternyata ibunya adalah seorang Penyihir putih yang berusaha menyelamatkan mereka berdua dari kejaran penyihir jahat.
 
Begitu juga dengan cerita tentang Manusia Srigala dan Drakula. Dulu dua mahluk ini digambarkan sebagai dua sosok jahat. Lagi lagi persepsi kita diputar balik dengan film Twilight.
 
Ada trend apa ini sebenarnya?
 
Saya melihatnya sebagai semakin dewasa nya kita untuk melihat tidak hanya dari satu sudut saja. Karena memang bisa jadi apa yg kita anggap tidak baik, sebenarnya baik. Sebaliknya apa yg kita anggap baik bisa jadi sebenarnya tidak baik.
 
Kalau bahasa orang NLP, "Your Map Is Not Your Territory", kejadian yang kita tangkap dihakimi oleh filter ketidaksadaran. Ada orang yang berniat berbuat baik pada kita, namun karena kita pernah punya pengalaman buruk dengan orang tersebut. Niat baik nya difilter oleh ketidaksadaran kita dan diterjemahkan sebagai "ah pasti ada udang dibalik batu".
 
Padahal kedewasaan kita bukan ditandai dari seberapa tua usia kita, namun dari Behavior Flexibility atau kemampuan melihat sebuah kejadian dari sudut yang beraneka ragam. Semakin dewasa seseorang akan mampu melihat sebuah kejadian bukan hanya sebagai tantangan, namun di saat yang bersamaan melihat kejadian yang sama sebagai peluang. Semakin dewasa seseorang akan melihat orang lain secara lebih proposional, bukan hanya melihat keburukan namun juga bisa melihat kebaikan.
 
Benar jika Nabi tercinta kita akhirnya berkata "cintailah seseorang sekedarnya saja. Karena bisa jadi yang kamu cintai tidak sebaik yang kamu sangka. Dan bencilah orang sekenanya saja. Karena bisa jadi orang yang kamu benci tidak sejahat yang kamu kira".
 
Yuk semakin dewasa dengan berperilaku Behavior Flexibility, dan temukan manfaat luar biasa nya.
 
Berkah Selalu
N Kuswandi

Sunday, March 15, 2015

Be x Do


Jika saya rumuskan dengan sederhana, pentingnya tujuan bisa dituliskan dengan rumus :

Be x Do = Success
 

Be adalah tujuan
Do adalah melakukan
Jika dimasukan dengan angka maka :
1 x 10 = 10
1 x 100 = 100
1 x 1000 = 1000
 
Dan jika angkanya dibalik maka

10 x 1 = 10
100 x 1 = 100
1000 x 1 = 1000


Pada perkalian pertama Be yang merupakan tujuan digambarkan sebagai 1 atau tujuan tidak jelas, sedangkan Do digambarkan dengan angka 10, 100, 1000 yang menggambarkan kerja keras untuk mengambil keputusan terbaik. Sebaliknya diperkalian kedua, Be atau tujuan digambarkan dengan angka yang lebih besar sedangkan Do digambarkan dengan angka yang sama, yaitu satu.

Perhatikan bahwa hasil perkalian dari perkalian pertama dan kedua sama hasilnya. Ini menandakan saat tujuan yang dibuat sangat jelas, walaupun dengan kerja yang minimal untuk mencapai sesuatu hasilnya akan tetap luar biasa. Bandingkan dengan perkalian pertama, dengan tujuan yang tidak jelas untuk sama-sama menghasilkan hasil 1000, orang perlu melakukan aksi 1000 kali.
Begitu juga dengan sebuah keputusan yang akan dibuat. Saat keputusan akhir yang akan dibuat tidak jelas maka setiap orang akan melakukan segala usaha atau resources yang berlebihan atau uneffective dari yang seharusnya perlu dilakukan. Sebaliknya dengan kejelasan tujuan akan berdampak positif dengan lebih sedikit mengeluarkan usaha ataupun resources untuk menghasilkan keputusan yang effective
Periksa saja pengalaman kita, pernahkah Anda diundang meeting untuk memutuskan sesuatu namun Anda tidak tahu kenapa Anda yang diundang, apa yang akan dibabas dan apa tujuan meeting? Bisa saya pastikan bahwa meeting nya akan ngalor – ngidul tidak jelas ujung dan pangkalnya. Waktu Anda yang berharga pun terbuang cuma-cuma, hasil dari meeting nya pun juga tidak jelas keputusannya.
Mengetahui tujuan dan parameter pertemuan juga memungkinkan Anda untuk mempertimbangkan dan memilih elemen yang paling penting untuk mewujudkan keputusan yang effective. Masih ingat tiga elemen pengambilan keputusan yang tergambar pada definisi effective decision, input – proses – output. Input digambarkan sebagai data informasi yang benar, proses digambarkan sebagai stakeholder, dan output digambarkan sebagai keputusan yang ingin dibuat.
Dengan memulai menetapkan kontek atau tujuan maka Anda akan memiliki gambaran informasi apa saja yang akan dibutuhkan dalam mengambil keputusan. Sebaliknya tanpa tanpa tujuan yang jelas, Anda hanya akan membuang-buang waktu untuk mengumpulkan informasi.
Berkah Selalu
N Kuswandi

Tuesday, March 10, 2015

Tongkat Musa

 
Tadi malam secara kebetulan, saya membuka laptop dan menemukan file audiobook lama tentang cerita Nabi Musa. Sebuah cerita yang saya yakin sudah hafal diluar kepala temen-temen. Dalam perenungan di dinginnya udara Cisarua, tiba-tiba ada bisikan gaib tentang cerita Musa ini.
Nabi yang begitu perkasa, dalam kehidupannya dijanjikan Tuhan akan “The Promise Land”. Percaya dengan janji itu, Musa mengajak semua kaumnya bermigrasi menuju The Promise Land. Dalam usahanya mengejar mimpi, Musa dan kaumnya dikejar oleh semua Bala Kurawa Fir’aun, hingga mereka terpojok di tepian laut Merah. Musa pun berdoa pada Tuhan “Ya Tuhan apa yang harus aku perbuat?” Tuhan menjawab “Pukulkan tongkatmu ke laut hai Musa”. Musa pun mengikuti perintah Tuhannya, dan akhirnya laut terbelah. Selamatlah Musa dan kaumnya dari kejaran Fir’aun.
Cerita ini ibarat perjalanan hidup kita, suatu saat kita dijanjikan oleh Tuhan, hingga kita berani bermimpi menuju The Promise Land. Tuhan memang sudah menghamparkan segala sesuatu di dunia ini untuk dikhalifahi. Dan janji itu disabdakan dengan “uzd ‘uni astajib lakum - berdoalah kepada Ku, akan kuberi”
Hingga saking yakinnya kita, The Promise Land itu maujud dalam To Be dan To Have, Keinginan menjadi sesuatu ataupun keinginan memiliki sesuatu. To Be nya bisa jadi apa saja, bermimpi untuk menjadi CEO, keinginan menjadi entrepreneur, ataupun keinginan untuk menjadi apapun. Dan To Have nya bisa jadi maujud dalam keinginan memiliki mobil Camry, keinginan memiliki apapun.
Layaknya Musa yang berjuang mencapai mimpi The Promise Land, kadang kala kita dikejar oleh Fir’aun, dan terjebak oleh laut. Fir’aun adalah gambaran tantangan yang akan mengejar usaha kita mencapai mimpi. Dan Laut adalah gambaran hambatan yang akan kita temui saat menuju The Promise Land.
Menariknya, ternyata Tuhan memberikan solusi yang paling mudah kepada Musa. Tuhan tidak meminta Musa untuk mengukir tongkatnya menjadi kapal dan meminjam senter pembesar Doraemon, hingga semua kaumnya bisa naik dalam kapal. No, solusi Tuhan hanya sederhana, “pukulkan tongkat yang sudah ada ditangan mu hai Musa”.
Solusi ini menandakan, sebenarnya solusi atas tantangan dan hambatan yang menghalangi kita menuju The Promise Land sudah ada ditangan kita sendiri, sudah ada didekat kita sendiri. Jika Anda jualan property contohnya, dari cerita teman-teman ternyata yang membeli adalah orang disekitar tempat property tadi dijual. Saat Anda membutuhkan dana untuk mengejar mimpi Anda, jangan remehkan ATM didekat Anda. “Kalau Cuma ngambil di ATM mah semua bisa bro”. Maksudnya ATM itu Anggota Keluarga, Teman dan Mertua. Begiju juga saat mimpi untuk menjadi pengusaha tertantang gak ada yang beli. Solusi Tuhan itu dekat, manfaatkan kedekatan pertemanan. Berdayakan teman-teman, tetangga-tetangga sekitar untuk meramaikan.
Kadang kita merasa susah mencari solusi atas kejaran Fir’aun dan jebakan Laut padahal solusi itu begitu dekat. Sayangnya seperti sebuah pepatah, “Gajah dilupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan nampak”. Padahal kuman yang diseberang lautan tadi hanyalah solusi kecil atas tantangan dan hambatan kita untuk menuju The Promise Land. Kenapa memilih kuman seandainya ada solusi besar yang dijanjikan Tuhan? Kenapa mencari yang jauh seandainya yang dekat sudah disediakan?
Berkah selalu
N Kuswandi

Thursday, March 5, 2015

Membujuk Orang Terlibat





Kadang kala sebagai manusia, walaupun diawal sudah dibuat role untuk menyamakan paradigma dan menggunakan system Tongkat Bicara Chereokee masih saja ada yang stakeholder yang terlupa untuk membangun sinergi. Ditengah jalan komitmen yang dibentuk diawal proses pengambilan keputusan berlahan-lahan mulai luntur.
Para stakeholder mulai lupa tujuan keberadaan mereka di proses pengambilan keputusan adalah membuat effective decision. Bukannya mencari sinergi untuk menciptakan effective decision, namun malah memperjuangkan sudut pandangnya sampai darah penghabisan.
Sebelum terjadi kejadian seperti ini akan sangat baik jika proses sinergi pengambilan keputusan diganjal dengan tool bernama pertanyaan instrospektif.
Introspektif bersinonim dengan reflektif. Sehingga pertanyaan instrospektif mengajak orang berefleksi kenapa mereka dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan? Mengajak orang sadar akan keberadaan mereka dalam proses.
Ilmu pengetahuan, kebenaran, kesadaran selalu dimulai dari pertanyaan introspektif. Dalam metodologi penelitian pertanyaan itu muncul dalam rumusan masalah. Cabang pertama ilmu pengetahuan, filsafat, juga membangun cabang-cabang ilmu lain dengan metodologi bertanya.
Steve Job pun sering kali menggunakan pertanyaan introspektif untuk membujuk dan mempengaruhi orang. Begitu juga saat Steve Job membujuk John Sculley untuk meninggalkan PepsiCo. "Apa kamu ingin menghabiskan seluruh waktumu untuk berjualan Pepsi Cola? Atau kamu ingin mendapat kesempatan untuk merubah dunia?”
Dr. William Miller dalam penelitiannya menunjukan bahwa pertanyaan yang tepat mampu mempengaruhi orang untuk berubah. Penemu teknik wawancara motivasi ini memulai penelitiannya dengan sebuah pertanyaan, “Mana yang lebih baik bagi pecandu, lebih banyak terapi atau lebih sedikit terapi?” Setelah mencocokan data, Dr. William Miller menemukan tidak ada relevansi antara lamanya terapi dengan perubahan perilaku.
Dr. William Miller juga menemukan mengadili para pecandu dengan ceramah dan hukuman social justru meningkatkan kecanduan. Dr. William Miller kemudian mulai meneliti dari sudut sebaliknya. Bagaimana jika terapis tidak menceramahi dan melakukan hukuman social, namun memahami apa yang sebenarnya pecandu inginkan.
Penelitiannya membuahkan hasil yang menggembirakan. Lewat pertanyaan introspektif, terapis membantu orang untuk menarik kesimpulan tentang nilai-nilai yang paling penting untuk para pecandu. Lusinan penelitian lain juga menuntukan pendekatan Dr. William Miller dalam membantu orang merubah perilaku nya.
Menyadari pentingnya pertanyaan introspektif tak heran jika sering kali orang-orang hebat menggunakan nya untuk merubah perilaku. Tak terkecuali Mario Teguh, perhatikan bagaimana Mario Teguh seringkali menutup motivational session nya denga pertanyaan introspektif.
Dalam otak manusia peran introspektif ini diteliti oleh Prof Geraint Rees dari University College London. Volume materi abu-abu di korteks prefrontal anterior dari otak, yang terletak tepat di belakang mata kita, merupakan indikator kuat seseorang memiliki kemampuan introspektif. Selain itu, Prof Geraint Rees mengatakan bahwa struktur materi putih yang tersambung ke daerah ini juga terkait dengan proses introspeksi.
Semakin orang memiliki kemampuan introspektif akan membuat orang semakin sadar untuk membuat keputusan yang effective.
Pertanyaan introspektif yang bisa Anda gunakan untuk mengganjal kesadaran peran tiap stakeholder dalam pengambilan keputusan bisa berupa :
“Apakah Anda bersedia mencari solusi yang lebih baik daripada yang terpikir saat ini oleh saya dan Anda?”
Satu pertanyaan introspektif ini dapat meredakan sikap defensive, karena setiap stakeholder tidak diminta untuk mengenyahkan gagasan dan sudut pandang yang dimiliki. Namun meminta setiap stakeholder untuk mencari alternative sudut pandang lain yang lebih baik dari pada gagasan saya ataupun gagasan Anda.
Pertanyaan ini juga pas menujuk di harga diri seseorang. Tentunya setiap orang tidak ingin dikatakan keras kepala. Dengan menanyakan pertanyaan introspektif di atas, jika menjawab “tidak” tentunya akan dipandang sebagai orang yang keras kepala. Sehingga orang akan cenderung menjawab “iya, tentu saja”.
Sebelum Anda menanyakan pertanyaan introspektif ini pastikan dalam hati Anda terlebih dahulu bahwa Anda sudah menjawab “tentu saja saya mau”. Anda tidak boleh lagi melihat diri Anda sebagai segala sumber kearifan, dan bahwa sudut pandang Anda adalah alternative terbaik yang dimiliki oleh para stakeholder. Anda bukan lah segala-galanya di dalam kelompok diskusi tersebut.
Jika Anda belum bisa menjawab “tentu saja saya mau” sudah bisa dipastikan pertanyaan introspektif ini tidak akan mempan bagi orang lain. Hal ini menandakan, paradigma kedua Anda untuk menghormati orang lain belum dilakukan. Dengan arti lain posisi Anda adalah Self Respect tinggi, dan Other Respect rendah, Anda berada di kuadran II, kuadran agresif.

Berkah Selalu
N Kuswandi