Jika dicatatan sebelumnya, saya sempat menulis tentang “Why Asking
– Not Tellling”? Garry Yukl sebagai tokoh influence dunia telah menunjukan dari
hasil penelitiannya yang dikenal dengan IBQ – Influence Behavior Question bahwa
asking adalah salah satu taktif influence terdahsyat yang disebut inspirational tactic.
Sadar ataupun tidak sadar, sebenarnya kita seringkali menggunakan asking sebagai inspirational tactic. Banyak kisah baik dari pengalaman kita sendiri ataupun pengalaman
para tokoh dunia yang memperlihatkan bahwa asking
menjadi kunci mereka saat mempengaruhi orang. Salah satu kisah favorit saya
adalah tentang Steve Job saat mempengaruhi John Sculley. Sebelum bergabung
dengan Apple, John Scully adalah salah satu CEO terbaik PepsiCo. Di usia 30
tahun John Sculley sudah menjadi CEO termuda dalam sejarah Pepsi Cola.
Pencapaian
John Sculley dimulai dari
keberhasilannya mengalahkan raksasa Coca Cola. Rahasia keberhasilannya berasal
dari strategi Pepsi Challenge. Strateginya
sederhana, dia membuat team yang dilatih
khusus untuk datang ke kerumunan masa dan men-challange seseorang dengan menutup mata untuk merasakan mana yang
lebih enak, Pepsi atau Coca Cola? Tentu saja saat orang ditutup matanya, dia
tidak bisa membedakan mana produk Pepsi dan Coca Cola. Sehingga, orang tersebut
tidak akan terpengaruh dengan brand.
Memang saat
itu satu-satunya pesaing Pepsi untuk menduduki pangsa pasar penjualan minuman
ringan di seantero negeri Amerika hanyalah Coca-Cola saja. Strategi itupun bergema
di seantero negeri, Pepsi Challenge berhasil
meningkatkan angka penjualan hingga menyaingi Sang Pemimpin Pasar, Coca Cola. Orang-orang
yang di-challenge lebih menyenangi
Pepsi dibanding Coca Cola.
Dan John Sculley
adalah nahkoda kemenangan Pepsi. Keberkasilan strategi Pepsi Challenge membuat nya dijuluki “The Best and The Brightest Man in
The Industry”. Prestasi dan reputasi yang dimiliki membuat Steve Job
melirik John Sculley untuk menjadi salah satu bagian dari Apple.
Jika Anda
berada diposisi Jhon Sculley, mana yang akan Anda pilih? Bertahan di Pepsi, dihormati
sebagai seorang CEO dengan prestasi terbaik, berada diperusahaan nomer satu seantero
Amerika dibidang minuman. Atau berpindah ke Apple, perusahaan yang baru saja
berdiri, belum ketahuan akan menjadi sebesar apa. Jika dianalogikan, Anda akan
sama-sama menjadi Hiu namun di kolam yang berbeda. Kolam pertama penuh dengan
kenikmatan, dan kolam kedua penuh perjuangan. Dan Jhon Sculley ternyata lebih
memilih untuk bertahan di kolam pertama.
Steve Job
tentu saja tidak berputus asa, entah dengan kebetulan atau sudah menguasai
insipirational tactic, Steve Job membuat pertanyaan kepada Jhon Sculley “Apa
kamu ingin menghabiskan seluruh waktumu untuk berjualan Pepsi Cola? Atau kamu
ingin mendapat kesempatan untuk merubah dunia?” Bagitu lah pertanyaan Steve Job
kepada John Sculley. Pertanyaan Steve Job tepat sasaran, begitu mengena di
harga diri Sculley. Dan akhirnya orang terbaik Pepsi melepaskan posisi nya sebagai
CEO PepsiCo dan bergabung dengan Apple.
Begitu powerful nya asking
sangat membantu saya dalam melakukan coaching. Kondisi agak unik, dialami para leader yang akan melakukan coaching di organisasi. Karena idealnya,
coaching dilakukan mau sama mau, coachee nya mau mengajukan diri di-coach, dan
coach nya bersedir meng-coach. Objective coaching nya pun ditentukan oleh
seorang coachee. Namun, saat leader
menjadi coach di organisasi, kadang kala, coachee nya tidak mau di coach, padahal leader memiliki objective yang harus didiskusikan melalui coaching.
Kondisi tersebut sering kali saya temui di organisasi.
Saat menghadapi kondisi seperti di
atas maka powerful question sering
kali membantu saya. Sebelum memulai coaching untuk membangun trust dari
coachee, satu rapal sakti saya ucapkan. Dan rapal itu adalah :
“Apakah
Anda bersedia mencari solusi yang lebih baik daripada yang terpikir saat ini
oleh saya dan Anda?”
Satu powerful question ini dapat meredakan sikap curiga dan meningkatkan level of trust untuk memulai coaching. Dengan pertanyaan ini, coachee
tidak diminta untuk mengenyahkan gagasan dan sudut pandang yang dimiliki. Namun
meminta coachee untuk mencari alternative sudut
pandang lain yang lebih baik dari pada gagasan saya ataupun gagasan Anda. Jadi objective
yang dibawa oleh seorang leader melebur menjadi bukan hanya kepentingan coach
namun juga kepentingan coachee
Pertanyaan ini juga pas
menujuk di harga diri seseorang. Tentunya setiap orang tidak ingin dikatakan
keras kepala. Dengan menanyakan powerful
question di atas, jika menjawab “tidak” tentunya akan dipandang sebagai
orang yang keras kepala. Sehingga orang akan cenderung menjawab “iya, tentu
saja”.
Berkah
selalu
N
Kuswandi
No comments:
Post a Comment