Tahukah Anda, hanya ada 10% organisasi di Amerika Serikat yang memiliki rencana strategis dan berhasil mengimplementasikan rencana tersebut dalam operasional bisnis mereka (Kaplan & Norton, 2004). Ram Charan bahkan dalam penelitiannya menemukan bahwa 70% kegagalan strategi yang dimiliki perusahaan bukan karena kurangnya orang-orang pintar atau kurang baiknya strategi, namun karena eksekusi.
Setidaknya terdapat
empat hambatan pokok dalam eksekusi strategi, yaitu hambatan visi dan misi,
hambatan orang, hambatan manajemen, dan hambatan sumberdaya. W. Chan, penulis
buku Ocean Strategy menganalogikan hambatan tadi kedalam empat rintangan, yakni
rintangan kognitif (terjebak status quo), rintangan sumber daya, rintangan
motivasional dan rintangan politik.
Penelitian yang
dilakukan oleh Kaplan dan Norton serta Ram Charan bisa menjadi gambaran lain
seberapa besar eksekusi hasil coaching yang dilakukan coachee?
Sampai saat ini, saya
belum menemukan riset yang menjelaskan berapa banyak hasil coaching dieksekusi oleh coachee
nya. Namun, dari pengalaman saya sebagai seorang coach, coachee mampu
menganalisa masalahnya, membuat keputusan dan action plan sebagai hasil coaching
adalah “one think”, mengeksekusi apa
yang dihasilkan selama sesi coaching adalah “the other think”.
Eksekusi hasil coaching
di kehidupan nyata coachee akan menguji
seberapa gigih dan kuatnya mental coachee.
Saat mengeksekusi apa yang coachee sudah putuskan bisa jadi coachee akan berhubungan dengan
orang-orang yang tidak support dengan
action plan yang dia buat, coachee terjebak dalam status quo,
mendapat rintangan secara politik, atau masalah motivational coachee untuk
mengeksekusi hasil coaching yang
sudah coachee rumuskan sendiri.
Disinilah terlihat jelas kenapa International Coach
Federation mensyaratkan seorang professional
coach harus memiliki competency
managing progress and accountability. Seorang coach diharapkan mampu mempertahankan perhatian pada hal yang penting
bagi coachee, dan memberikan tanggung jawab kepada coachee untuk mengambil
tindakan.
Bagaimana cara melakukan hal
tersebut? Tidak lain dan tidak bukan, caranya adalah dengan memberikan feedback.
Ada dua macam feedback yang bisa diberikan seorang coach. Feedback
pertama berhubungan dengan acknowledgment atau pengakuan atas hal
positif yang dilakukan coachee. Feedback jenis ini disebut sebagai positif
feedback. Feedback kedua berhubungan dengan improvement untuk mengingatkan coachee
saat mulai keluar jalur track yang sudah dibuat. Feedback jenis
ini disebut improvement feedback.
Apapun feedback yang diberikan,
seorang coach perlu mengingat tiga unsur penting dari feedback. Unsur pertama
adalah timely, atau tepat
waktu. Feedback haruslah diberikan secepat mungkin. Jika coachee komit
mengeksekusi action plan hasil coaching ataupun tidak komitmen
mengeksekusi, maka feedback secepat mungkin harus diberikan. Jangan
sampai tindakan yang dilakukan hari ini, feedback yang diberikan satu
atau dua bulan berikutnya. Bisa dibayangkan bisa jadi coachee sudah lupa
dengan peristiwa tersebut. Apalagi feedback yang sifatnya improvement feedback,
bisa-bisa karena durasi feedback nya terlalu lama, coachee berkali-kali
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan action plan hasil coaching. Atau
karena durasinya sudah terlalu lama improvement feedback pun malah menjadi adu
argumentasi, “enggak saya tidak melakukan itu” begitu kata coachee nya
karena sudah lupa.
Unsur
kedua yang harus dimiliki saat
memberikan feedback adalah unsur specific,
artinya feedback yang diberikan harus menggambarkan secara perilaku
spesifik yang diberikan feedback. Tujuannya adalah agar coachee memiliki
kejelasan perilaku mana yang diapresiasi (acknowledgement) dan perilaku
mana yang perlu ditingkatkan. Saat perilaku yang diberi feedback jelas,
maka coachee memiliki kejelasan mana perilaku yang perlu dipertahankan,
ditingkatkan ataupun diperbaiki.
Dan unsur ketiga dari feedback
adalah balance. Maksudnya
adalah feedback yang diberikan haruslah mengandung unsur keseimbangan antara positif
feedback dan improvement feedback. Tentunya Anda bisa membayangkan,
jika seorang coachee hanya mendapatkan positif feedback atas apa yang
dia lakukan. Terlalu banyak memberikan positif feedback menyebabkan standard
yang dimiliki coachee menjadi rendah. Sebaliknya, saat improvement feedback
mendominasi feedback-feedback yang diberikan maka yang terjadi adalah coachee
menjadi frustasi. “Apapun yang saya lakukan kok selalu salah dimata coach saya”,
begitu pikiran coachee kita. Jadi pastikan Anda selalu memberikan feedback
secara seimbang. Jelilah dalam mengobservasi coachee untuk menemukan
perilaku-perilaku mana yang bisa Anda beri positif feedback dan improvement
feedback.
Berkah SelaluN Kuswandi
People & Organization Performance Coach
No comments:
Post a Comment