Sudah bukan rahasia, jika Nabi Ibrahim semenjak kecil terkenal dengan kekritisannya. Peritiwa pencarian Tuhan menjadi salah satu bukti kekritisannya. Begitu juga dengan peristiwa perusakan berhala-berhala raja Namrud. Alih-alih "memaki" raja Namrud dan pengikutnya, Ibrahim menggunakan "bang" untuk membuka kesesatan berfikir mereka.
Bisa jadi peristiwa Idul Adha adalah jalan lain Allah untuk menunjukan kekritisan Ibrahim. Bukankah Allah memberikan Ibrahim mimpi untuk menyembelih anak nya "Ismail". Kekritisan pertama Ibrahim muncul dengan mempertanyakan, apakah benar mimpi ini berasal dari Allah? Allah kemudian membuktikan kebenaran mimpi itu dengan mimpi yang berulang selama tiga hari.
Kekritisan Ibrahim muncul lagi saat dia berdiskusi dengan anak nya Ismail. "Duh Ismail, apa pendapatmu tentang mimpi bapak?" Begitu mungkin dialog yang terjadi antara bapak dan anak itu. "Wahai bapak ku, jika ini memang perintah Allah lakukanlah?"
Dan cerita pun berujung dengan kegembiraan. Allah menerima korban Ibrahim, dengan simbol digantinya Ismail dengan kambing.
Coba kita tinjau lebih jauh. Berbeda dengan pencarian yang dilakukan ayah nya, Ismail laksana tidak memiliki daya kritis. Atau sebaliknya, Ismail lah yang memiliki kepekaan tajam dengan perintah Allah.
Jika dilihat dari sudut pandang trust dan believe, bisa jadi akan muncul tafsir berbeda yang layaknya kita dengar. Secara harfiah trust dan believe memiliki arti yang sama, yaitu percaya. Namun secara maknawi, kedua istilah tadi memiliki arti yang berbeda.
Ada istilah "Believing is seeing and seeing is believing". "Believing is seeing" adalah gambaran sejati believe, tanpa didahului bukti orang percaya. Sebaliknya istilah "seeing is believing" adalah gambaran trust. Orang perlu bukti dahulu baru kemudian orang baru percaya, itulah trust.
Saat Ibrahim membutuhkan bukti kebenaran mimpi nya, itulah trust. Saat Ibrahim perlu berdiskusi dengan Ismail untuk semakin meyakinkan langkahnya, itulah trust. Sebaliknya saat Ismail tanpa "babibu" menyetujui bapak nya itulah believe. Ismail sudah begitu believe pada bapaknya, dan Ismail juga believe pada Allah yang tidak akan menyia-nyiakannya.
Ibrahim sebenarnya tidak selalu menggunakan trust to the god dalam hidupnya. Peristiwa Siti Hajar dan Ismail yang ditinggalkan di padang pasir Mekah adalah bukti Ibrahim menggunakan believe nya.
Sesuai dengan definisinya, trust yang membutuhkan bukti berarti butuh pengalaman nyata yang diterima oleh logika. Sedangkan believe bisa jadi adalah akumulasi trusts atau kumpulan bukti-bukti logika yang masuk ke dalam pikiran tak sadar manusia.
Dengan kata lain trust yang membutuhkan bukti dikelola lapisan terluar otak bernama neokortek. Dan believe yang masuk ke dalam alam bawah tak sadar diatur oleh lapisan tengah bernama lymbic system.
Selain dari akumulasi trust, believe bisa jadi muncul tanpa didahului akumulasi trust. Peran ini diambil oleh bagian otak yang disinyalir sebagai "hati nurani manusia". Terletak di lapisan terdalam lymbic system, para ahli menamakannya sebagai God Spot.
Pertanyaannya kapan perlu menuntut bukti hingga ketemu trust dan kapan tanpa bukti pun sudah terlahir believe? Sebenarnya menjadi tak penting "when" nya saat "how" nya didahului dengan positive thinking. Dan tentunya buah dari positive thinking adalah positive action. Bukankah itu yang diajarkan Ibrahim dan Ismail?
Berkah Selalu
N Kuswandi