Generasi yang
lahir di periode tertentu sering kali memiliki ciri khas yang berbeda. Kondisi
sosial, ekonomi, budaya yang tengah mewabah menjadi penyebab nya. Demi
memudahkan menscreaning periode kelahiran dan ciri khas nya, para ahli membuat
cluster periode kelahiran dengan istilah tertentu.
Generasi yang
lahir di tahun 1946 – 1964 sering kali di namakan generasi Baby Boomer. Maju ke
tahun 1965 – 1980, generasi yang lahir di tahun ini disebut generasi X. Kemudian
generasi yang lahir di tahun 1981 – 1984
dikenal dengan generasi Y. Ada juga sebutan untuk generasi Z yang lahir pada
tahun 1995 – 2009 dan generasi Alpha yang lahir di atas tahun 2009.
Ciri khas tiap
generasi sebenarnya menjadi kekuatan bagi masing-masing generasi. Sayangnya,
ciri khas tersebut kadang kala menjadi masalah saat tidak mampu mengikuti daan
beradaptasi dengan ciri khas generasi lain.
Mereka membawa
ciri khas nya, tanpa memahami ciri khas generasi lain. Sehingga yang terjadi
adalah motivation error, culture error,
maupun senioritas error. Dengan kata
yang lebih sederhana terjadi ketidakharmonisan. Tak heran jika ada sebuah
nasehat “Janganlah didik anak mu dengan cara mu dididik. Karena anak bukan anak
itu bukan anakmu, anak itu adalah anak zaman”.
Error motivation sebagai akibat belum
bertransformasi dan beradaptasi dengan generasi lain pernah saya temukan pada
sebuah peristiwa. Ada orang yang termasuk generasi generasi X (1965-1980), sedang
memotivasi subordinatnya. Seperti orang-orang era 1965-1980 mencari menantu,
tak peduli berapa kaya nya, seberapa tampan atau cantiknya, kalau tidak PNS,
bisa-bisa hanya masuk nominasi nomer dua. Begitu juga cara orang ini memotivasi
subordinatnya, "Kalau Anda menunjukkan performance
yang bagus nanti Anda akan saya promosikan".
Bagi generasi X, title adalah reward. Sehingga orang-orang yang lahir di era 1965-1980 lebih
senang mempunyai menantu ber title
PNS, atau sarjana. Dengan stereotype
yang sama, bos-bos dari generasi X sering kali juga memotivasi bawahannya
dengan mengiming-imingi title
(jabatan). Padahal tidak semua orang bisa termotivasi dengan jabatan.
Memotivasi sub
ordinat dengan jabatan tentunya juga bukan pilihan yang bijak. Sebagai mana
kita ketahui jabatan itu seperti piramida, semakin ke atas semakin kecil.
Apakah dengan begitu banyak karyawan yang ada harus berebut posisi yang semakin
ke atas semakin sedikit? Memotivasi dengan jabatan juga menjadi hal yang
berbahaya. Karyawan dengan motivasi menggebu untuk menduduki jabatan, bisa jadi
melegalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Lebih parahnya lagi, jika
karyawan hanya termotivasi mendapatkan jabatan, bisa jadi performance nya menurun saat sudah menempati jabatan yang menjadi
tujuannya.
Bagi generasi Y
(lahir tahun 1980-1995), sebenarnya mereka bisa dimotivasi dengan menempatkan
karyawan pada pekerjaan panggilan hatinya. Rekan kerja saya seorang Supervisor
Plant bisa menjadi contoh nyata. Jam kerja normalnya harusnya jam 07.00-17.30.
Namun karena kecintaannya terhadap mesin, dia bekerja dari jam 07.00 sampai jam
23.00 bahkan lebih. Bukan satu-dua kali rekan saya ini bekerja melebihi jam
normal, namun hampir setiap hari. Dan dia tidak menuntut ditambah gajinya atau
dinaikkan pangkatnya.
Karyawan yang
bekerja karena panggilan hatinya (passionnya)
akan menunjukkan sifat pengorbanan (sacrifice).
Mereka lebih memilih purpose
dibandingkan posisi, lebih memilih nilai-nilai (values) dibandingkan kekayaan (numbers).
Ini sangat berhubungan dengan keyakinan karyawan pada Tuhan yang maha Esa. Coba
saja perhatikan Abdi Dalem Kraton Kasunanan Surakarta, meraka sudah bekerja
puluhan tahun. Karir mereka mentok menjadi Abdi Dalem, gaji mereka bahkan tidak
cukup membeli kebutuhan sehari-hari. Namun mereka masih bertahan bekerja dan
memiliki performance yang bagus. Value mereka menjadi pedoman untuk
bekerja.
N Kuswandi
No comments:
Post a Comment