Satu tahun ini muncul fenomena Jokowi Effect. Berbekal gaya kepemimpinan blusukan nya, Jokowi menjadi leader yang dianggap mampu memimpin Indonesia. Terbukti dari semua hasil survey yang dikeluarkan oleh lembaga survey independen yang menyatakan elektabilitas Jokowi selalu di peringkat pertama. Bukankah ini menandakan, masyarakat Indonesia merindukan gaya kepemimpinan versi Jokowi.
Jika kita melihat sejarah, memang gaya kepemimpinan Jokowi cukup baru dalam sejarah kepemimpinan Indonesia. Mari tengok sejarah, presiden pertama memimpin Indonesia dengan demokrasi terpimpin dengan mengedepankan kharisma. Lain Soekarno, lain pula Soeharto. Presiden kedua ini lebih cenderung memainkan gaya kepemimpinan otoriter. Digulingkan dengan gerakan reformasi, munculah kemudian ilmuwan yang menjadi presiden. BJ Habibie dengan logika nya yang kuat memimpin Indonesia dengan gaya diplomasi. Dilanjutkan dengan presiden yang merakyat, Abdurahman Wahid yang menggunakan kepemimpinan moralis. Megawati yang selalu dibayang-bayangi nama besar Soekarno akhirnya meneruskan gaya kepemimpinan yang diajarkan bapak nya, gaya kharismatik yang malah kelihatan norak. Terakhir sang Presiden SBY menerapkan model diplomasi yang malah terkesan lambat mengambil keputusan. Terpengaruh dengan Jokowi Effect, SBY bahkan pernah mencoba gaya kepemimpinan blusukan yang diganti nama nya dengan "Turba-Turun Kebawah".
Sebenarnya blusukan nya Jokowi bukan hal yang baru dalam dunia management and leadership. Di tahun 1982 gaya kepemimpinan blusukan sebenarnya sudah dikenalkan Hawlet and Pakert, duo CEO pembuat komputer HP. Hawlet dan Pakert menamakan gaya kepemimpinan blusukan dengan istilah "Managing by Wandering Around". Sebelum mereka berdua memberi nama dengan Managing by Wandering Around, sebenarnya gaya kepemimpinan blusukan sudah digunakan oleh banyak pemimpin dunia. Namun, memang kemenangan Adam dari Iblis dan Malaikat karena Adam berhasil memberikan nama pada benda. Artinya walaupun gaya kepemimpinan managing by wandering around sudah dilakukan oleh para pemimpin dunia sebelum Hawlet dan Pakert memperkenalkan, namun karena berhasil memberikan nama, hak cipta itu jatuh di tangan Hawlet dan Pakert.
Salah satu pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan blusukan atau management by wandering around sebelum diperkenalkan Hawlet dan Parket (1982) adalah Muhammad Yunus. Peraih penghargaan nobel perdamaian ini menggunakan blusukan sejak tahun 1974 sudah menggunakan gaya kepemimpinan blusukan. Bank Grameen adalah salah satu hasil blusukan yang membawanya meraih nobel perdamaian. Di tahun 1974, Yunus melakukan blusukan di Joba. Di sana dia bertemu dengan seorang ibu-ibu yang sedang membuat kursi bambu. Dari blusukan yang dilakukan, Yunus mengetahui ibu tadi hanya mendapatkan untung 2 sen dari setiap kursi bambu yang dibuat, karena modal untuk membuat kursi bambu didapat dari rentenir, dengan perjanjian setiap kursi yang dihasilkan harus dijual kepada rentenir dengan harga yang sudah ditentukan oleh rentenir. Keuntungan yang hanya 2 sen tentu saja tidak cukup untuk menghidupi dirinya sendiri, apalagi keluarganya.
Dua hari berikutnya Muhammad Yunus kembali lagi ke Joba membawa mahasiswanya. Mereka melakukan survey, mahasiswanya menemukan ada 42 orang yang bernasib sama dengan ibu pembuat kursi bambu. Yunus dan mahasiswanya kemudian menghitung berapa modal yang dibutuhkan oleh 42 orang tersebut. Ternyata modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha dan membayar hutang kepada rentenir hanya sebesar US $ 27. Di tahun 1976, Yunus kemudian membuat bank untuk para keluarga miskin. Pada tahun 2004, dari modal awal sebesar US $ 27 telah berubah menjadi US $ 4,5 Milyar. Inilah yang dikatakan Muhammad Yunus saat ditanya resep kesuksesan nya "Saya meninggalkan pola pikir seekor burung, yang memungkinkan melihat segala-gala nya dari atas, dari langit. Saya mulai melakukan pandangan seekor cacing, yang berusaha mengetahui apa yang terpapar persis di depan mata saya - mencium baunya, menyentuhnya, dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan". Pandangan seekor cacing adalah kata lain dari blusukan nya Jokowi atau Management by Wandering Around nya Hawlet dan Pakert.
Jika kita melihat sejarah, memang gaya kepemimpinan Jokowi cukup baru dalam sejarah kepemimpinan Indonesia. Mari tengok sejarah, presiden pertama memimpin Indonesia dengan demokrasi terpimpin dengan mengedepankan kharisma. Lain Soekarno, lain pula Soeharto. Presiden kedua ini lebih cenderung memainkan gaya kepemimpinan otoriter. Digulingkan dengan gerakan reformasi, munculah kemudian ilmuwan yang menjadi presiden. BJ Habibie dengan logika nya yang kuat memimpin Indonesia dengan gaya diplomasi. Dilanjutkan dengan presiden yang merakyat, Abdurahman Wahid yang menggunakan kepemimpinan moralis. Megawati yang selalu dibayang-bayangi nama besar Soekarno akhirnya meneruskan gaya kepemimpinan yang diajarkan bapak nya, gaya kharismatik yang malah kelihatan norak. Terakhir sang Presiden SBY menerapkan model diplomasi yang malah terkesan lambat mengambil keputusan. Terpengaruh dengan Jokowi Effect, SBY bahkan pernah mencoba gaya kepemimpinan blusukan yang diganti nama nya dengan "Turba-Turun Kebawah".
Sebenarnya blusukan nya Jokowi bukan hal yang baru dalam dunia management and leadership. Di tahun 1982 gaya kepemimpinan blusukan sebenarnya sudah dikenalkan Hawlet and Pakert, duo CEO pembuat komputer HP. Hawlet dan Pakert menamakan gaya kepemimpinan blusukan dengan istilah "Managing by Wandering Around". Sebelum mereka berdua memberi nama dengan Managing by Wandering Around, sebenarnya gaya kepemimpinan blusukan sudah digunakan oleh banyak pemimpin dunia. Namun, memang kemenangan Adam dari Iblis dan Malaikat karena Adam berhasil memberikan nama pada benda. Artinya walaupun gaya kepemimpinan managing by wandering around sudah dilakukan oleh para pemimpin dunia sebelum Hawlet dan Pakert memperkenalkan, namun karena berhasil memberikan nama, hak cipta itu jatuh di tangan Hawlet dan Pakert.
Salah satu pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan blusukan atau management by wandering around sebelum diperkenalkan Hawlet dan Parket (1982) adalah Muhammad Yunus. Peraih penghargaan nobel perdamaian ini menggunakan blusukan sejak tahun 1974 sudah menggunakan gaya kepemimpinan blusukan. Bank Grameen adalah salah satu hasil blusukan yang membawanya meraih nobel perdamaian. Di tahun 1974, Yunus melakukan blusukan di Joba. Di sana dia bertemu dengan seorang ibu-ibu yang sedang membuat kursi bambu. Dari blusukan yang dilakukan, Yunus mengetahui ibu tadi hanya mendapatkan untung 2 sen dari setiap kursi bambu yang dibuat, karena modal untuk membuat kursi bambu didapat dari rentenir, dengan perjanjian setiap kursi yang dihasilkan harus dijual kepada rentenir dengan harga yang sudah ditentukan oleh rentenir. Keuntungan yang hanya 2 sen tentu saja tidak cukup untuk menghidupi dirinya sendiri, apalagi keluarganya.
Dua hari berikutnya Muhammad Yunus kembali lagi ke Joba membawa mahasiswanya. Mereka melakukan survey, mahasiswanya menemukan ada 42 orang yang bernasib sama dengan ibu pembuat kursi bambu. Yunus dan mahasiswanya kemudian menghitung berapa modal yang dibutuhkan oleh 42 orang tersebut. Ternyata modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha dan membayar hutang kepada rentenir hanya sebesar US $ 27. Di tahun 1976, Yunus kemudian membuat bank untuk para keluarga miskin. Pada tahun 2004, dari modal awal sebesar US $ 27 telah berubah menjadi US $ 4,5 Milyar. Inilah yang dikatakan Muhammad Yunus saat ditanya resep kesuksesan nya "Saya meninggalkan pola pikir seekor burung, yang memungkinkan melihat segala-gala nya dari atas, dari langit. Saya mulai melakukan pandangan seekor cacing, yang berusaha mengetahui apa yang terpapar persis di depan mata saya - mencium baunya, menyentuhnya, dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan". Pandangan seekor cacing adalah kata lain dari blusukan nya Jokowi atau Management by Wandering Around nya Hawlet dan Pakert.
No comments:
Post a Comment