Management by Wandering Around "Blusukan" |
Gaya
kepemimpinan managing by wandering around
diperkenalkan oleh Hawlet and Packard (1970 an). Pada tahun 1980 an, konsep
dari Hawlet and Packard dikembangkan dan dipopulerkan oleh Tom Peter dan Robert
Waterman melalui bukunya yang berjudul “In
Search of Excellence”. Managing by
wandering around sendiri sering kali diartikan sebagai gaya kepemimpinan
yang lebih banyak mengandalkan human touching.
Prinsip ini memungkinkan seorang leader melakukan unstructured approad. Jika dalam struktur organisasi seorang middle
manager meminta report dari first manager maka dengan managing by wandering around, structure
itu ditiadakan. Seorang middle manager
juga bisa meminta report dari para front line.
Di
Indonesia, walaupun dipopulerkan oleh Jokowi, sebenarnya gaya kepemimpinan ini sudah
dipakai dalam organisasi. Jika kita perhatikan dalam job description layer leader managerial organisasi secara umum akan
ditemukan keharusan untuk menggunakan gaya kepemimpinan managing by wandering around. Pada first line manager keharusan menggunakan gaya kepemimpinan managing by wandering around biasanya
distate dalam job description, bahwa
mereka harus menghabiskan 70% - 80% waktu kerjanya untuk berada di lapangan
melakukan managing by wandering around,
dan 30% - 20% sisanya digunakan untuk mengerjakan pekerjaan managerial di
kantor. Artinya jika dalam sehari jam kerja anda dari jam 08.00 – 17.00 (8 jam),
maka 70% x 8 jam atau 5,6 jam harus dihabiskan untuk melakukan managing by wandering around, dan
sisanya atau 2,4 jam baru mengerjakan pekerjaan managerial di kantor.
Porsi
melakukan managing by wandering around
antara first manager dengan middle manager tentunya berbeda. Semakin
keatas posisi managerialnya maka semakin sedikit proporsi waktu yang dituangkan
di job description untuk melakukan managing by wandering around. Bagi middle manager pada umumnya dalam job description nya dituliskan 50%
waktunya harus digunakan untuk melakukan managing
by wandering around di lapangan dan 50% waktu sisanya untuk melakukan managerial di kantor. Dan top manager di
dalam job description nya biasanya dituliskan untuk menghabiskan 30% - 20%
waktunya untuk melakukan managing by
wandering around dan 70% - 80% waktunya untuk melakukan pekerjaan
managerial di kantor. Jika kita melihat proporsi job description maka sebenarnya semua orang diminta untuk melakukan
proses managerial di kantor (formal) dan melakukan proses managerial
di lapangan (informal)
Sebagai
salah satu tool managerial yang mengedepankan human touching (informal)
tentunya akan berbeda dengan gaya kepemimpinan yang mengedepankan structural (formal). Perbedaan
pendekatan tadi akan sangat terlihat pada proses managerial mulai dari proses plan, do, check, action (PDCA). Saat leader menggunakan dan menempatkan diri untuk melakukan gaya
kepemimpinan formal maka tool untuk
membuat PDCA akan dilakukan melalui meeting.
Data untuk merencanakan, memonitor pelaksanaan dan mengevaluasi pelaksanaan
didapat dari bawahan langsung, padahal peserta meeting yang terbatas dan kadang kala tidak malah terlibat langsung
dalam pekerjaan bisa jadi memberikan data ABS (Asal Bos Senang).
Sedangkan
saat leader menggunakan pendekatan managing
by wandering around yang mengedepankan human
touching tool yang akan digunakan pun menjadi tool informal. Dengan menggunakan pendekatan managing by wandering around data PDCA didapat dari mengecek
langsung di tempat pekerjaan dan bertemu langsung dengan orang yang mengerjakan
pekerjaan. Data yang didapatkan pun menjadi lebih factual.
Yagegtuoze Matthew Skaggs click
ReplyDeletecostenspurpe