Semua orang menginginkan mampu membuat
keputusan dengan efektif. Seperti definisi efektif sendiri yang berarti
alur input-proses-dan output dilakukan dengan benar. Maka keputusan yang efektif juga ditandai dengan mendapatkan input berupa informasi yang benar, proses melibatkan stakeholder untuk mengambil keputusan dilakukan secara benar dan output keputusan yang dihasilkan sesuai dengan harapan.
Dari tiga tahap pengambilan keputusan tadi,
pelibatan stakeholder menjadi tahap yang paling challenging. Bagaimana tidak,
semakin banyak orang yang terlibat akan semakin banyak sudut pandang.
Kadang untuk mempermudah para mengambil
keputusan yang dianggap efektif, akhirnya para stakeholder memilih untuk
ber"kompromi". Walaupun sebenarnya ada pilihan lain yang bisa dipilih
oleh para stakeholder, yaitu "sinergi"
Sinergi tidak sama dengan kompromi. Dalam
kompromi satu tambah satu sebaik-baiknya hanya menghasilkan satu setengah.
Setiap orang kehilangan sesuatu. Sinergi tidak hanya mengatasi konflik, namun
melampaui konflik.
Mungkin sebuah kompromi bisa membuat para pihak
puas, tapi tidak membuat gembira. Hubungan para pihak yang berkompromi menjadi lemah. Dan
seringkali, konflik yang diselesaikan lewat kompromi akhirnya muncul kembali.
Sebaliknya dengan sinergi, semua stakeholder
akan merasakan kepuasan dan kegembiraan. Karena keputusan yang dibuat dengan
sinergi biasanya akan melebihi need dan want nya para stakeholder.
Tentu saja membangun sinergi dalam pengambilan
keputusan cukup challenging. Namun, kita tetap perlu selalu percaya, bahwa
Tuhan menyertakan solusi dalam setiap masalah.
Sinergi bisa dibentuk dengan dengan menyamakan paradigma para stakeholder. Ini dilakukan sesaat sebelum proses diskusi
pengambilan keputusan dilakukan. Para stakeholder diminta menyepakati aturan
main berupa menyamakan paradigma.
Paradigma pertama yang perlu disamakan adalah
"Saya Melihat Diri Saya". Paradigma ini mengajak para stakeholder untuk mengurangi benteng diri,
karena semakin kecil bentengnya maka semakin besar peluang untuk meraih sinergi. Paradigma ini bisa dilakukan dengan menjelajahi diri untuk
mengenali motif, asumsi, prasangka yang dimiliki terhadap orang lain.
Tujuan dari paradigma pertama ini sebenarnya memunculkan penghargaan diri yang tinggi dari tiap stakeholder. Bukti bahwa
tujuan paradigma pertama ini tercapai ditandai dengan kemauan menyampaikan sudut pandang
yang dimiliki saat sesi diskusi.
Sebaliknya, orang-orang berharga diri rendah
lebih memilih cara lain, mereka mengganggu proses diskusi dengan membuat kelompok diskusi sendiri dan berdiskusi di dalam diskusi. Atau mereka menyuarakan suaranya
sesaat setelah keputusan dibuat. Bukannya berfokus menjalankan hasil keputusan, mereka malah hanya membicarakan keputusan yang telah diputuskan, dan cenderung menyalahkan orang lain atas keputusan yang sudah diambil.
Paradigma kedua yang juga perlu disepakati adalah "Penghargaan
Positif Tanpa Syarat". Tujuan dari paradigma kedua ini adalah secara
bersamaan tidak hanya menghargai diri sendiri, namun juga menghargai orang lain.
Jika paradigma pertama memenangkan pertarungan
pribadi, maka paradigma kedua saling memenangkan pertarungan. Hasilnya tidak
hanya seri atau kompromi, namun saling menang. Tujuan paradigma kedua ini tentunya tidak akan tercapai selama tidak ada keseimbangan penghargaan diri dan
penghargaan ke orang lain .
Saat penghargaan terhadap diri tinggi dan
penghargaan terhadap orang lain rendah yang terjadi "agresifitas".
Orang tersebut cenderung memaksakan sudut pandangnya ke orang lain.
Sebaliknya saat penghargaan terhadap orang lain
terlalu tinggi dibandingkan penghargaan terhadap diri sendiri yang terjadi
adalah sikap "pasif". Ngikut saja yang sudut pandang orang lain,
tanpa memiliki sudut pandang pribadi. Kasarnya, orang-orang seperti ini ibarat Kambing Congek, yang ditarik kemana pun akan ikut, tanpa punya pendirian.
Dan seandainya penghargaan terhadap diri dan
orang lain rendah yang terjadi adalah manipulatif. Ini lebih parah, tidak punya
sudut pandang, saat berdiskusi pura-pura setuju. Saat keputusan hendak dieksekusi, orang nya menghilang dan tidak mengambil tanggung jawab atas keputusan yang dibuat.
Agar paradigma kedua bisa muncul yang perlu
dilakukan hanya satu "berempati". Artinya memahami sungguh-sungguh
perasaan orang lain. Penghargaan yang diberikan untuk menyelidiki, memahami
hati, pikiran, dan jiwa, bukan untuk menghakimi.
Lepaskan semua sterotype, dan empati keunikan tiap orang. Maka sinergi mengambil keputusan akan terbentuk.
Berkah
selalu
N
Kuswandi