Kelly Service pada tahun 2013 membuat sebuah survey survey tentang Employee Retention and Enggagement. Hasilnya orang mereferensikan peluang kerja
pada temannya dipengaruhi oleh faktor company
culture (26%), personal opportunity
to growth (21%), interesting or work
challenge (17%), dan work life
balance (14%), remuneration
(10%). Faktor pertama sampai dengan keempat adalah bentuk intrinsic rewards dan faktor kelima adalah bentuk extrinsic rewards.
Menariknya perusahaan lebih tertarik untuk meretain employee dengan cara 10% saja, atau dengan terfokus pada extrisic rewards. Padahal 90% sisanya berbicara tentang intrinsic rewards. Memang intrinsic rewards sendiri adalah bahasan yang cukup menarik, karena kadang kala bintrinsic rewards terasa bedanya saat intrinsic rewards menjadi policy dan menjadi culture.
Pendirian training center contohnya, policy nya pada awal
berdirinya training center bisa jadi
orang-orang yang diberi kesempatan untuk dididik di training center tersebut merasa mendapat apresiasi atas kinerjanya.
Namun setelah training center
tersebut sudah berdiri lama, 7 tahun contohnya. Karyawan yang mendapat apresiasi training di training center tidak terasa lagi sebagai sebuah apresiasi, bagi
orang tersebut apresiasi adalah saat mendapat training external di luar training center.
Sebaliknya, saat training tersebut "pura-pura" nya sebagai surprice atas achievement yang dilakukan, rasanya akan berbeda. Coba saja rasakan sendiri, "apa perasaan Anda jika mengetahui achievement saya yang bagus akan mendapat bonus yang sudah ditatapkan, dibandingkan dengan tiba-tiba saja ada yang memberi hadiah?" Bagaimana kita membuat surprice-surprice tersebut lah yang sebaiknya dibuat budaya oleh perusahaan.
Bagaimana
caranya untuk membudayakan intrinsic
rewards tersebut? Salah satu pendekatan yang sering dipakai berasal dari
pendekatan psikologis. Agas budaya terjadi setidaknya ada empat unsur yang
perlu dibuat, yaitu believe, ritual, symbole,
power & control.
Pendekatan
tersebut didasari dari dinamika psikologis manusia yang terdiri dari value (dikenal juga sebagai mind set atau believe system), motif,
attitude, dan behavior. Dinamika
psikologis ini secara sederhana dapat digambarkan dengan sebuah contoh
sederhana. Setiap orang memiliki hal yang dipercaya atau lingkaran value, contohnya ada orang yang begitu
percaya mencuri itu berdosa, tidak baik dan merugikan orang lain. Suatu ketika anak
nya sakit dan tidak memiliki uang. Peristiwa ini mendari dorongan atau lingkaran
motif baginya. Pikirannya kemudian menimbang-nimbang (lingkaran attitude), “apa yang akan saya lakukan
untuk mengobati anak saya? Apakah saya mencuri atau saya berhutang atau kerja
serabutan?” Sebuah penelitian menunjukan probalitas peristiwa tersebut 85%
orang tersebut akhirnya tidak mencuri (lingkaran behavior), dan 15% akhirnya bertindak (lingkaran behavior) mencuri.
Penanaman budaya
memberikan intrinsic rewards pada
dasarnya menyasar lingkaran value,
sehingga diharapkan walaupun ada dorongan (lingkaran motif) yang tidak sesuai dengan value,
lingkaran attitude nya akan berfikir
untuk mengarahkan ke value yang
dimiliki dan berperilaku sesuai dengan value
yang dimiliki. Sederhananya jika orang sudah tertanam bahwa memberikan intrinsic rewards adalah hal penting, bahkan
saat ada dorongan agar tidak memberikan intrinsic
rewards yang terjadi tetap saja orang memberikan intrinsic rewatds. Menanamkan budaya tadi dapat dilakukan dari
lingkaran paling luar atau behavior
dan atau lingkaran paling dalam atau lingkaran value.
Salah satu cara
untuk menanamkan budaya dari lingkaran dalam (lingkaran value) adalah dengan menanamkan believe
dan menggunakan symbole. Sedangkan
menanamkan budaya dari lingkaran luar atau lingkaran behavior adalah dengan ritual,
power & control.
Believe adalah membuat
orang percaya bahwa yang dilakukan penting dan bermanfaat bagi dirinya. Secara
umum orang bergerak saat memahami manfaat yang dilakukan. Sehingga di tahap
awal membangun culture intrinsic rewards,
perusahaan perlu menanamkan alasan kenapa memberikan intrinsic rewards itu penting. Caranya bisa berbagai macam,
contohnya dengan melakukan kampanye melalui spanduk, selebaran, menunjuk change agent, melakukan training, one on one coaching, dan cara-cara lain.
Keberhasilan
penanaman believe ini akan ditandai
dengan sebuah kalimat “Saya percaya memberi intrinsic
rewards akan sangat bermanfaat, namun bagaimana caranya?” Disinilah peran
unsur kedua pembentukan budaya - ritual
akan terlihat. Ritual adalah menetapkan aktifitas keseharian yang perlu
dilakukan. Ada pepatah Jawa “witing
tresno jalaran soko kulino – orang jatuh cinta karena terbiasa”, artinya
dengan terbiasa melakukan ritual tertentu
maka yang pada awalnya tidak suka menjadi suka, dan bahkan jika tidak dilakukan
akan terasa ada yang kurang.
Agar employee terbiasa memberikan intrinsic rewards, perusahaan perlu
menetapkan ritual atau kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada terciptanya culture intrinsic rewards. Contohnya ritual
yang bisa dibuat seperti sebelum atau sesudah meeting ada intrinsic rewards
talk. Teknisnya, minta salah satu peserta untuk menceritakan satu hal baik
yang dilakukan oleh sub ordinate atau
peer nya dan apa yang dilakukan untuk
mengapresiasi hal baik tersebut.
Ritual lain yang
bisa dibuat yaitu dengan membuat appreciation
awards days. Teknisnya setiap department
memilih satu orang yang dianggap paling ringan terlibat membangun culture intrinsic rewards. Kemudian perwakilan dari tiap department tersebut dikompetisikan untuk
memilih satu orang paling berkontribusi dalam membangun intrinsic rewards.
Pada awalnya,
orang yang tidak terbiasa memberikan intrinsic
rewards kemudian tiba-tiba diminta untuk memberikan intrinsic rewards pastinya akan ada kecanggungan. Dan bisa jadi
para karyawan tersebut tidak melakukan ritual yang ditetapkan. Untuk memastikan
ritual ini berjalan, power & control berperan penting. Pada tahap awal
membangun culture, memang butuh
seorang polisi yang bertugas memastikan ritual-ritual berjalan dengan baik.
Jika digambarkan dalam sebuah fase perkembangan, fase awal ini disebut fase dependent, fase berikutnya adalah independent dan fase terakhir adalah interdependent. Ciri-ciri perkembangan
internalisasi culture
intrinsic rewards tersebut akan
terlihat seperti gambar berikut.
Tentunya polisi
yang mengawal policy tentang
membangun culture intrinsic rewards
tersebut tidak bisa hadir setiap waktu. Padahal karyawan perlu didampingi agar
terbiasa dan terinternalisasi, disinilah peran symbole menjadi penting. Misalnya saja ada orang yang menggunakan
peci sebagai symbole agama Islam, ada
pengaruh tidak langsung saat kita menggenakan peci terasa ada yang ngawasi
sehingga lebih berhati-hati.
Begitu juga
dengan symbole yang dipakai sebagai representasi ritual, believe ataupun policy. Secara tidak sadar, alam bawah
sadar bekerja mempengaruhi orang yang melihat symbole tersebut untuk mengikuti symbole tersebut. Jika perusahaan Anda memiliki kedekatan dengan
budaya local, Anda bisa menggunakan tokoh-tokoh budaya local sebagai symbole.
Contohnya saja tokoh Petruk yang mendapat julukan Petruk Kantong Bolong.
Julukan tersebut didapatkan Petruk dari sifat nya yang suka berderma.
Perusahaan
kemudian bisa memasang animasi Petruk tersebut di tempat-tempat yang mudah
dilihat karyawan. Tentu saja agar pesannya tersampaikan, perusahaan bisa
membuat ritual dengan blas cerita si Petruk yang suka berderma dan karyawan
diminta untuk meniru tokoh si Petruk dengan berderma intrinsic rewards.
Berkah Selalu
N Kuswandi