Wednesday, July 15, 2015

Intrinsic Rewards Culture : Believe - Ritual - Power & Control - Symbole


Kelly Service pada tahun 2013 membuat sebuah survey survey tentang Employee Retention and Enggagement. Hasilnya orang mereferensikan peluang kerja pada temannya dipengaruhi oleh faktor company culture (26%), personal opportunity to growth (21%), interesting or work challenge (17%), dan work life balance (14%), remuneration (10%). Faktor pertama sampai dengan keempat adalah bentuk intrinsic rewards dan faktor kelima adalah bentuk extrinsic rewards.
 
Menariknya perusahaan lebih tertarik untuk meretain employee dengan cara 10% saja, atau dengan terfokus pada extrisic rewards. Padahal 90% sisanya berbicara tentang intrinsic rewards. Memang intrinsic rewards sendiri adalah bahasan yang cukup menarik, karena kadang kala bintrinsic rewards terasa bedanya saat intrinsic rewards menjadi policy dan menjadi culture.
Pendirian training center contohnya, policy nya pada awal berdirinya training center bisa jadi orang-orang yang diberi kesempatan untuk dididik di training center tersebut merasa mendapat apresiasi atas kinerjanya. Namun setelah training center tersebut sudah berdiri lama, 7 tahun contohnya. Karyawan yang mendapat apresiasi training di training center tidak terasa lagi sebagai sebuah apresiasi, bagi orang tersebut apresiasi adalah saat mendapat training external di luar training center.
Sebaliknya, saat training tersebut "pura-pura" nya sebagai surprice atas achievement yang dilakukan, rasanya akan berbeda. Coba saja rasakan sendiri, "apa perasaan Anda jika mengetahui achievement saya yang bagus akan mendapat bonus yang sudah ditatapkan, dibandingkan dengan tiba-tiba saja ada yang memberi hadiah?" Bagaimana kita membuat surprice-surprice tersebut lah yang sebaiknya dibuat budaya oleh perusahaan.

Bagaimana caranya untuk membudayakan intrinsic rewards tersebut? Salah satu pendekatan yang sering dipakai berasal dari pendekatan psikologis. Agas budaya terjadi setidaknya ada empat unsur yang perlu dibuat, yaitu believe, ritual, symbole, power & control.
 

Pendekatan tersebut didasari dari dinamika psikologis manusia yang terdiri dari value (dikenal juga sebagai mind set atau believe system), motif, attitude, dan behavior. Dinamika psikologis ini secara sederhana dapat digambarkan dengan sebuah contoh sederhana. Setiap orang memiliki hal yang dipercaya atau lingkaran value, contohnya ada orang yang begitu percaya mencuri itu berdosa, tidak baik dan merugikan orang lain. Suatu ketika anak nya sakit dan tidak memiliki uang. Peristiwa ini mendari dorongan atau lingkaran motif baginya. Pikirannya kemudian menimbang-nimbang (lingkaran attitude), “apa yang akan saya lakukan untuk mengobati anak saya? Apakah saya mencuri atau saya berhutang atau kerja serabutan?” Sebuah penelitian menunjukan probalitas peristiwa tersebut 85% orang tersebut akhirnya tidak mencuri (lingkaran behavior), dan 15% akhirnya bertindak (lingkaran behavior) mencuri.
Penanaman budaya memberikan intrinsic rewards pada dasarnya menyasar lingkaran value, sehingga diharapkan walaupun ada dorongan (lingkaran motif) yang tidak sesuai dengan value, lingkaran attitude nya akan berfikir untuk mengarahkan ke value yang dimiliki dan berperilaku sesuai dengan value yang dimiliki. Sederhananya jika orang sudah tertanam bahwa memberikan intrinsic rewards adalah hal penting, bahkan saat ada dorongan agar tidak memberikan intrinsic rewards yang terjadi tetap saja orang memberikan intrinsic rewatds. Menanamkan budaya tadi dapat dilakukan dari lingkaran paling luar atau behavior dan atau lingkaran paling dalam atau lingkaran value.
Salah satu cara untuk menanamkan budaya dari lingkaran dalam (lingkaran value) adalah dengan menanamkan believe dan menggunakan symbole. Sedangkan menanamkan budaya dari lingkaran luar atau lingkaran behavior adalah dengan ritual, power & control.
Believe adalah membuat orang percaya bahwa yang dilakukan penting dan bermanfaat bagi dirinya. Secara umum orang bergerak saat memahami manfaat yang dilakukan. Sehingga di tahap awal membangun culture intrinsic rewards, perusahaan perlu menanamkan alasan kenapa memberikan intrinsic rewards itu penting. Caranya bisa berbagai macam, contohnya dengan melakukan kampanye melalui spanduk, selebaran, menunjuk change agent, melakukan training, one on one coaching, dan cara-cara lain.
Keberhasilan penanaman believe ini akan ditandai dengan sebuah kalimat “Saya percaya memberi intrinsic rewards akan sangat bermanfaat, namun bagaimana caranya?” Disinilah peran unsur kedua pembentukan budaya - ritual akan terlihat. Ritual adalah menetapkan aktifitas keseharian yang perlu dilakukan. Ada pepatah Jawa “witing tresno jalaran soko kulino – orang jatuh cinta karena terbiasa”, artinya dengan terbiasa melakukan ritual tertentu maka yang pada awalnya tidak suka menjadi suka, dan bahkan jika tidak dilakukan akan terasa ada yang kurang.
Agar employee terbiasa memberikan intrinsic rewards, perusahaan perlu menetapkan ritual atau kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada terciptanya culture intrinsic rewards. Contohnya ritual yang bisa dibuat seperti sebelum atau sesudah meeting ada intrinsic rewards talk. Teknisnya, minta salah satu peserta untuk menceritakan satu hal baik yang dilakukan oleh sub ordinate atau peer nya dan apa yang dilakukan untuk mengapresiasi hal baik tersebut.
Ritual lain yang bisa dibuat yaitu dengan membuat appreciation awards days. Teknisnya setiap department memilih satu orang yang dianggap paling ringan terlibat membangun culture intrinsic rewards. Kemudian perwakilan dari tiap department tersebut dikompetisikan untuk memilih satu orang paling berkontribusi dalam membangun intrinsic rewards.
Pada awalnya, orang yang tidak terbiasa memberikan intrinsic rewards kemudian tiba-tiba diminta untuk memberikan intrinsic rewards pastinya akan ada kecanggungan. Dan bisa jadi para karyawan tersebut tidak melakukan ritual yang ditetapkan. Untuk memastikan ritual ini berjalan, power & control berperan penting. Pada tahap awal membangun culture, memang butuh seorang polisi yang bertugas memastikan ritual-ritual berjalan dengan baik. Jika digambarkan dalam sebuah fase perkembangan, fase awal ini disebut fase dependent, fase berikutnya adalah independent dan fase terakhir adalah interdependent. Ciri-ciri perkembangan internalisasi culture intrinsic rewards tersebut akan terlihat seperti gambar berikut.
 

Tentunya polisi yang mengawal policy tentang membangun culture intrinsic rewards tersebut tidak bisa hadir setiap waktu. Padahal karyawan perlu didampingi agar terbiasa dan terinternalisasi, disinilah peran symbole menjadi penting. Misalnya saja ada orang yang menggunakan peci sebagai symbole agama Islam, ada pengaruh tidak langsung saat kita menggenakan peci terasa ada yang ngawasi sehingga lebih berhati-hati.
Begitu juga dengan symbole yang dipakai sebagai representasi ritual, believe ataupun policy. Secara tidak sadar, alam bawah sadar bekerja mempengaruhi orang yang melihat symbole tersebut untuk mengikuti symbole tersebut. Jika perusahaan Anda memiliki kedekatan dengan budaya local, Anda bisa menggunakan tokoh-tokoh budaya local sebagai symbole. Contohnya saja tokoh Petruk yang mendapat julukan Petruk Kantong Bolong. Julukan tersebut didapatkan Petruk dari sifat nya yang suka berderma.
Perusahaan kemudian bisa memasang animasi Petruk tersebut di tempat-tempat yang mudah dilihat karyawan. Tentu saja agar pesannya tersampaikan, perusahaan bisa membuat ritual dengan blas cerita si Petruk yang suka berderma dan karyawan diminta untuk meniru tokoh si Petruk dengan berderma intrinsic rewards.
Berkah Selalu
N Kuswandi

No comments:

Post a Comment