Semua perusahaan yang berbasis laba, baik perusahaan multinasional
maupun bisnis rumahan, pasti menginginkan dua hal: revenue yang semakin naik dan cost
yang semakin menurun. Sebuah paradoks yang mungkin susah sekali untuk
diwujudkan. Bagaimana tidak, cost
produksi yang semakin tahun semakin naik tidaklah secepat pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Sehingga, jika tidak ingin ditinggal konsumen, pelaku bisnis tidak
bisa serta merta menaikkan harga produknya, walaupun cost produksi mengalami kenaikan. Salah satu cara yang bisa
digunakan oleh pelaku bisnis untuk mengatasi permasalah ini adalah dengan
ide-ide kreaktif untuk mengefisiensikan proses produksi.
Toyota adalah salah satu perusahaan yang bisa memujudkan
kemustahilan tadi. Perusahaan yang didirikan pada tahun 1933 ini terus
berkembang menerjang semua gelombang perubahan. Asetnya semakin bertambah tiap
tahun dan menjadi perusahaan otomotif penghasil mobil palling banyak di dunia di tahun 2012. Geliatnya
semakin terasa setelah mengambil sebagian besar proporsi saham di perusahaan
mobil Daihatsu dan Hino, ditambah sebagian kecil proporsi saham di Subaru dan
Isuzu. Melihat kesuksesan Toyota, Liker J (2004) melakukan penelitian dan
mencatat ada 14 prinsip yang digunakan oleh Toyota untuk memperbesar
perusahaannya. Keempat belas prinsip tadi oleh Lliker dikenal sebagai The Toyota Ways.
Salah satu system yang dikembangkan dalam 14 prinsip Toyota Ways adalah prinsip Kaizen atau perbaikan terus menerus. Di
Toyota, prinsip Kaizen ini kemudian
dikawinkan dengan prinsip Teian Seido
(menggali ide dari bawah). Karyawan diminta untuk selalu menyumbangkan ide-ide
untuk mempercepat proses, menghemat biaya, dan meningkatkan produktifitas.
Perkawinan kedua prinsip melahirkan 60.0000-an ide tiap tahun. Dari setiap ide
yang disampaikan, Toyota memberikan reward
sebesar 500 yen sampai 200.000 yen, tergantung dari impact gagasan yang diberikan.
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apa yang mendorong atau memotivasi karyawan Toyota sehingg mampu mengeluarkan ide-ide kreatif? Banyak kajian tentang dinamika munculnya kreativitas dari aliran-aliran psikologi. Salah satu aliran psikologi yang membahas dinamika kreativitas adalah psikologi positif.
Sebagai salah satu tokoh yang mempopolerkan psikologi
positif, Seligman (2005) dalam jurnal berjudul Positive Psychology Progress : Empirical Validation of Interventions
mendefinisikan psikologi positif sebagai istilah yang memayungi studi-studi
terhadap emosi-emosi positif, sifat-sifat dasar positif, dan pemberdayaan
institusi atau komunitas. Coplan (2009) dalam penelitiannya tentang emosi
positif atau happiness menunjukkan
bahwa emosi positif mampu meningkatkan kreativitas, kemampuan pemecahan masalah
serta membantu dalam melawan stress. Sederhananya, saat seorang tidak
senang, tidak memiliki emosi positif, atau tidak merasa memiliki perusahaan (engagement) maka seorang karyawan tidak
akan bersedia menyumbangkan ide nya, walaupun sebenarnya karyawan tersebut
memiliki ide.
Organisasi yang berbasis aplikasi psikologi positif menurut
Coplan (2009) dan Scherer (2008) dapat dimunculkan dengan lima langkah. Langkah
pertama yang direkomendasikan adalah (1) mencari kekuatan pribadi karyawan. Dasar
proses people development sebenarnya
adalah mengembangkan potensi karyawan. Namun dalam organisasi yang mengenal
konsep kompetensi, sering kali people
development lebih terfokus untuk mengurangi jarak antara kemampuan yang
secara riil dimiliki dengan kompetensi yang dituntut harus dimiliki, daripada fokus
pada potensi karyawan. Akibatnya organisasi mengeluarkan effort yang cukup besar dengan hasil yang tidak terlalu memuaskan. Istilah
yang sering muncul adalah daripada melatih ikan terbang, lebih baik melatih
ikan menjadi perenang hebat.
Organisasi yang berbasis psikologi positif melakukan cara
yang berbeda. Selain menutup gap
kompetensi, organisasi juga akan terfokus untuk mengembangkan potensi yang
dimiliki oleh karyawannya. Kesalahan terbesar organisasi yang menghambat
kreaktifitas karyawan dimulai dari salah menempatkan orang diposisi atau team, yang dilanjutkan dengan kesalahan
memandang seseorang.
Sejarah telah banyak membuktikan hal tersebut. Pertanyaan-pertanyaan
Thomas Alfa Edison yang membuat jengkel gurunya membuatnya dicap bodoh dan
dikeluarkan dari sekolah, karena salah dimengerti. Padahal bagi penganut
psikologi positif akan melihat sisi lain
Edison sebagai orang yang selalu ingin tahu. Begitu juga dalam
organisasi, organisasi yang menganut psikologi positif akan lebih memilih untuk
berfokus pada sisi positif dari pada sisi negatif. Dan bukankah segala sesuatu
terdiri dari dua sisi, tergantung cara kita memandangnya?
Setelah organisasi mampu melihat kekuatan karyawan maka
langkah kedua bagi organisasi yang ingin mengaplikasikan psikologi positif
adalah (2) menggunakan kekuatan dengan cara-cara baru. Di sinilah proses people development dilakukan. Organisasi
bisa menggunakan tiga jenis development
untuk membantu karyawannya mengembangkan potensi yang dimiliki, cara pertama
adalah dengan formal training seperti
in class training, workshop, seminar,
dan lain-lain. Cara
pertama ini memberikan dampak 10% terhadap proses belajar karyawan. Cara kedua
yang memiliki dampak lebih besar, yaitu dengan learning from other, seperti
coaching, mentoring, dan budies. Cara kedua ini memberikan dampak sebesar 20%
terhadap proses pembelajaran. Dan untuk mendapatkan impact 70% sisanya, proses
development bisa dilakukan dengan on the job training, seperti delegation, job
assignment, rotation, dan lain-lain
Selain berfokus pada karyawan, Coplan (2009) dan Scherer
(2008) juga memberikan rekomendasi langkah ketiga dengan berfokus pada leader, yaitu (3) bagaimana seorang
pemimpin membangun relasi positif dengan bawahannya. Sehebat apapun seorarang employee, mereka tidak akan memberikan
idenya jika merasa leader-nya tidak
layak untuk disumbangkan ide. Jika diibaratkan, seorang yang memiliki ikatan
emosional positif akan lebih mudah dipinjami dan meminjami uang dibandingkan
dengan orang yang tidak dikenal atau bahkan dimusuhi.
Setelah proses pengembangan dilakukan dan hubungan baik
dibina, langkah keempat yang direkomendasikan Coplan (2009) dan Scherer (2008)
adalah (4) mengukur hasil. Menurut Seligman (2005), langkah inilah yang
membedakan psikologi humanistis dengan psikologi positif. Psikologi humanistik
cenderung tidak menggunakan pendekatan empiris dalam penelitian dan
aplikasinya, sedangkan psikologi kognitif berbasis pada data empiris. Pengukuran
ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah mengukur dan memperbaiki
efektifitas aplikasi psikologi kognitif.
Hasil pengukuran ini akan menjadi acuan untuk melangkah ke rekomendasi
Seligman (2005) yang ke lima, yaitu (5) melakukan pengaturan diri (self regulation) termasuk disiplin diri
untuk terus menemukan dan menciptakan efek positif. Sebaik atau seburuk apapun
hasil evaluasi yang dilakukan menjadi dasar untuk terus menemukan dan
menciptakan efek positif. Saat ditemukan aplikasi psikologi positif yang masih
kurang, maka perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan aplikasi psikologi
positif. Dan saat hasil pengukuran menunjukkan bahwa hasil aplikasi psikologi
positif sudah bagus maka perlu dilakukan improvement
agar proses aplikasi psikologi positif lebih efektif.
Sumber yang dipakai:
- Coplan, J.H. 2009. How Positive Psychology Can Boost Your Business. WWW.Businessweek.Com/magazine/content/09_62/s0902044518985.htm?campaign_id=rss_smlbz
- Liker, J. 2004.The 14 Principles of The Toyota Way: 14 Management Principles from The Word’s Greatest Manufacturer. McGraw-Hill
- Seligman, M.E.P, Steen, T.A, & Peterson, C. 2005. Positive Psychology Progress : Empirical Validation of Interventions. The American Psychologist,
60, 410-421
Berkah selalu
N. Kuswandi
Tulisan bagus!
ReplyDeleteMau tau lebih jauh tentang psikologi positif? Kunjungi Facebook Page: https://facebook.com/membangunpositivity . Berkat berbagai penelitian psikologi positif atau neuroscience di seluruh dunia, maka kita sekarang bisa memaksimalkan fungsi otak hanya dalam hitungan hari. Kunjungi juga: https://membangunpositivity.com