Tentunya PBB menggunakan beberapa kriteria untuk mengukur happiness masing-masing negara. Masih konsisten dengan variable yang digunakan untuk mengukur happiness di tahun 2005 – 2007, PBB menggunakan lima kriteria dalam mengukur happiness suatu bangsa, yaitu Negative affect, Social support, Positive affect, Freedom to make life choices, Donation, Perceptions of corruption, dan Cantril ladder, household income.
Di satu sisi, walaupun tingkat happiness Indonesia menempati posisi ke-76, namun tingkat happiness warga Indonesia sebenarnya mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2005-2007. Dibandingkan tahun tersebut, happiness Indonesia tahun 2007 – 2012 seperti dilaporkan World Happiness Report tahun 2013 naik sebesar 0,329 poin.
Bagaimana Anda akan merespon hasil riset ini? Happy karena kita ternyata tidak buruk-buruk amat, dan jika dilakukan riset lagi tentunya akan meningkatkan posisi happiness Indonesia. Atau harus bersedih, karena Indonesia lebih suram dari pada Vietnam (posisi 63), negara saudara tua Malaysia ysng kadang kala bersikap menyebalkan (posisi 56), dan Thailand (posisi ke 36), yang berarti jika dilakukan riset lagi oleh PBB akan membuat posisi Indonesia lebih rendah lagi untuk survey berikutnya.
Saya akan menempatkan diri sebagai analis dan mempertanyakan hasil survey ini sebelum mempercayai hasil survey ini. Karenanya munculah pertanyaan besar dalam diri saya, bukankah happiness itu persepsi pribadi. Pengukuran kebahagiaan tentu saja berarti mengkuantifikasikan sesuatu yang kualitatif. Manusia adalah makhluk yang bukan hanya rasional namun juga emosional, karena nya pendapat dan persepsi manusia akan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi emosinya saat ini.
Ketika
kondisi kurang menyenangkan maka kita cenderung memberikan penilaian yang
negatif. Jangankan kondisi hidup yang serba sulit, bahkan sakit baru kehilangan
uang yang belum tentu besar saja bisa mempengaruhi penilaian kita. Begitu juga
sebaliknya, ketika seseorang senang dan berbahagia bisa jadi ia melihat hidup
ini lebih indah dan karenanya cenderung memberikan penilaian yang positif.
Penelitian yang dilakukan pakar happines, Ruut Veenhouven dari Den Hag membuktikan hal tersebut. Pertama, manusia senantiasa ingin terlihat bahagia. Sehingga, orang akan cenderung memberikan penilaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai sebenarnya. Lebih menarik lagi, jawaban happiness yang diberikan responden juga lebih tinggi saat dilakukan lewat kuesioner pos dibandingkan dengan menjawab pertanyaan langsung dari peneliti.
Venheuven juga mempublis temuan kedua yang semakin menguatkan happiness sebagai persepsi, para responden cenderung berbicara lebih jujur ketika berhadapan dengan pewawancara berjenis berjenis kelamin sama. Sebaliknya, saat para responden berhadapan dengan pewawancara berjenis kelamin berbeda cenderung tidak berbicara jujur mengenai tingkat kebahagiaan mereka tetapi melebih-lebihkannya. Intinya para responden ingin terlihat bahagia, karena ingin memaerkan kebahagiaan mereka, kebahagiaan itu menarik dan seksi.
Temuan ketiga, jawaban para responden ternyata sangat tergantung dari kondisi terakhir yang ia hadapi. Venheuven bahkan menyampaikan bahwa manusia adalah “makhluk 5 menit”. Artinya jawaban yang diberikan sangat dipengaruhi kondisi emosi dan mood dalam 5 menit terakhir. Venheuven menunjukkan, para responden yang menemukan sejumlah uang dalam 5 menit terakhir cenderung mengatakan dirinya lebih bahagia daripada yang tidak menemukan uang. Dan Tentu saja uang yang ditemukan tadi adalah rekayasa para peneliti yang tidak disadari oleh para responden.
Dengan kata lain, seandainya sebelum penelitian, si responden mendapat pujian maka mereka akan merasa lebih berbahagia. Sehingga para responden akan memberikan angka yang lebih tinggi daripada tingkat kebahagiaan mereka yang sesungguhnya.
Seandainya mengukur kebahagiaan pribadi saja sulit, apalagi mengukur tingkat kebahagiaan sebuah negara. Apalagi mengukur kebahagiaan negara Indonesia yang begitu majemuk.
Sebagai penutup, walaupun kebahagiaan bersifat persepsi personal dan dan tak mudah diukur pihak lain, apalagi diteliti. Namun, kebahagiaan memang tetap perlu diukur, paling tidak secara subjektif oleh masing-masing kita. Karena dengan mengerahui tingkat happiness kita lah yang bisa mendorong kualitas hidup kita semakin meningkat.
Penelitian yang dilakukan pakar happines, Ruut Veenhouven dari Den Hag membuktikan hal tersebut. Pertama, manusia senantiasa ingin terlihat bahagia. Sehingga, orang akan cenderung memberikan penilaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai sebenarnya. Lebih menarik lagi, jawaban happiness yang diberikan responden juga lebih tinggi saat dilakukan lewat kuesioner pos dibandingkan dengan menjawab pertanyaan langsung dari peneliti.
Venheuven juga mempublis temuan kedua yang semakin menguatkan happiness sebagai persepsi, para responden cenderung berbicara lebih jujur ketika berhadapan dengan pewawancara berjenis berjenis kelamin sama. Sebaliknya, saat para responden berhadapan dengan pewawancara berjenis kelamin berbeda cenderung tidak berbicara jujur mengenai tingkat kebahagiaan mereka tetapi melebih-lebihkannya. Intinya para responden ingin terlihat bahagia, karena ingin memaerkan kebahagiaan mereka, kebahagiaan itu menarik dan seksi.
Temuan ketiga, jawaban para responden ternyata sangat tergantung dari kondisi terakhir yang ia hadapi. Venheuven bahkan menyampaikan bahwa manusia adalah “makhluk 5 menit”. Artinya jawaban yang diberikan sangat dipengaruhi kondisi emosi dan mood dalam 5 menit terakhir. Venheuven menunjukkan, para responden yang menemukan sejumlah uang dalam 5 menit terakhir cenderung mengatakan dirinya lebih bahagia daripada yang tidak menemukan uang. Dan Tentu saja uang yang ditemukan tadi adalah rekayasa para peneliti yang tidak disadari oleh para responden.
Dengan kata lain, seandainya sebelum penelitian, si responden mendapat pujian maka mereka akan merasa lebih berbahagia. Sehingga para responden akan memberikan angka yang lebih tinggi daripada tingkat kebahagiaan mereka yang sesungguhnya.
Seandainya mengukur kebahagiaan pribadi saja sulit, apalagi mengukur tingkat kebahagiaan sebuah negara. Apalagi mengukur kebahagiaan negara Indonesia yang begitu majemuk.
Sebagai penutup, walaupun kebahagiaan bersifat persepsi personal dan dan tak mudah diukur pihak lain, apalagi diteliti. Namun, kebahagiaan memang tetap perlu diukur, paling tidak secara subjektif oleh masing-masing kita. Karena dengan mengerahui tingkat happiness kita lah yang bisa mendorong kualitas hidup kita semakin meningkat.
Berkah Selalu
N Kuswandi
No comments:
Post a Comment